Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

PADA SEBUAH TULANG




Oleh: Denni Meilizon

LAKI-LAKI itu berdebu. Diterpa badai, dingin malam yang menusuk dan kesenyapan jazirah. Perjalanannya dari Mesir, merupakan perjalanan yang sangat penting. Perjalanan yang harus ia lakukan, demi harga diri keluarganya. Keluarga yang dibangun bahkan sejak orang-orang Muslim belum berkuasa di negeri Mesir.  Ia akan ke Madinah, tempat Khalifah penguasa kaum Muslim bertahta. Di Mesir, orang-orang Muslim menzalimi keluarganya. Dan ia tak tahu lagi kepada siapa akan mengadukan rusuh hati. Kepada Gubernur tentu tidak mungkin. Gubernur itulah yang merampas kebahagiaan keluarganya.

Berhari-hari ia berjalan. Kerasnya gurun pasir hampir saja menghabisi semangat dan jiwanya. Ia belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini. Kalaulah tidak disebabkan harga diri yang telah terhinakan, tak kan ia tempuh perjalanan ini. Tetapi, ia telah mendengar tentang kebijaksanaan Khalifah. Karena itu ia yakin, keadilan atas dirinya akan tertegakkan. Walau ia bukan seorang Muslim.

Di batas kota Madinah ia kini. Badannya penat dan letih, namun air mukanya tampak berseri. Tiba-tiba rasa ragu menyergap. Ia Yahudi dan kini sedang berada di dalam kota yang dipenuhi orang-orang Muslim.
            “Jangan-jangan Khalifah tidak mau menerimaku,” bisiknya cemas. Matahari makin condong ke barat. Malam pekat akan tiba. Ia harus cepat. Namun bagaimana mengusir ragu yang datang?
            Ia merenung. Menimbang. Perjalanannya yang jauh. Harga dirinya yang layak untuk diperjuangkan.
            “Apa boleh buat. Langkah telah terayun. Aku harus menemui Khalifah. Terserah bagaimana sajalah nanti,” tekadnya dalam hati. Semilir angin yang hangat menggoyang dedaun  kurma. Meniup daging pipinya yang kering.
Kota Madinah tenang dan hening. Satu-satunya suara yang terdengar lantang adalah suara seseorang mengajak untuk salat. Untuk meraih kemenangan. Ia termangu.
            “Biarlah kutunggu sebentar,” batinnya lagi. Ia duduk, bersandar pada pohon kurma di depan sebuah rumah kecil. Setitik lampu terlihat mengerlip dari dalam. Selebihnya sunyi dan malam.
            Terkantuk-kantuk ia menunggu. Kantuk mengantar tidur. Dingin malam yang datang membalut tubuh letihnya. Kota Madinah tiba-tiba hidup kembali. Salat Magrib di Mesjid Nabi baru saja selesai. Dan ia telah menarik perhatian seseorang.
            “Bangunlah Saudaraku. Bangunlah!” kata orang itu sembari menepuk lembut bahunya.
            Ia terbangun. Tadi ia dibawa mimpi. Ke negeri Mesir, kepada anak isterinya. Rumahnya di tepian Nil. Dan kini, ia bangun dengan wajah terkejut. Seseorang berbaju gamis dengan selilit sorban di kepala berjongkok di hadapannya.
            “Maaf, aku tertidur rupanya,” ujarnya. Ia mencoba mengumpulkan kesadaran.
            “Anda pasti bukan orang Madinah. Apakah datang dari perjalanan jauh?” tanya orang itu.
            “Iya. Saya dari Mesir. Saya ingin bertemu dengan Khalifah. Apakah Saudara mau memberitahuku di mana saya dapat menemui beliau. Di mana istananya berada?”
            “Ada keperluan apa bertemu dengan Khalifah?”
            “Ada sebuah perkara yang mesti aku sampaikan kepadanya. Namun, maaf! Tidak bisa kuberitahukan kepadamu. Tolonglah! Bawalah aku kepada beliau. Semoga itu mendatangkan kebaikan kepadamu.”
            Orang itu berdiri. Lalu meraih tangannya.
            “Ayo berdirilah!” orang itu mengajak. “Sebelum kubawa engkau kepada Khalifah, sebaiknya singgah dulu di rumahku. Bukankah Saudara belum makan? Perjalanan jauh tentu membuat Anda kehilangan banyak tenaga. Mari singgah dulu, aku menjamu engkau.”
            Ia tidak mungkin menolak. Ia tahu adat. Di seantero jazirah, menolak tawaran seseorang untuk bertamu merupakan sesuatu yang sangat ditabukan.
            “Baiklah, Saudaraku. Tawaranmu itu tidak mungkin kutolak, bukan?” katanya sembari berdiri, menyambut uluran tangan orang itu Pepasir dan debu sedikit mengotori pakaiannya. Bukankah tadi ia tertidur beralaskan debu dan pasir?
            Laki-laki Yahudi itu terkejut. Ternyata rumah kecil tadi rupanya rumah orang bergamis ini.
            “Silakan, Saudara,” kata orang itu sembari membuka pintu.
            Ia hanya mengangguk dan masuk.
            Tidak berapa lama, makanan pun terhidang. Orang itu menjamu tamunya, laki-laki Yahudi dari Mesir dengan aneka makanan. Malam semakin senyap menyelimuti kota Madinah. Sebentar saja, Isya sudah membayang.
 Setelah jamuan, tuan rumah pun berkata kepada tamunya itu.
“Saudaraku dari negeri Mesir. Khalifah yang engkau cari ada di hadapanmu sekarang. Akulah Umar bin Khattab. Silakan utarakan keperluanmu. Semoga Allah menolongku untuk mencari jalan keluarnya,” kata tuan rumah dengan wibawa. Ruang kecil, Ah, sudut sempit di rumah kecil itu hening. Laki-laki Yahudi itu tercengang. Ia masih tidak percaya.
Bagaimana mungkin? Khalifah harusnya bertahta di istana. Bukankah sekarang mereka sedang makan, minum dan berbincang dalam rumah yang kecil? Bahkan rumahnya di Mesir sana jauh lebih besar dari rumah ini!
“Jangan mengada-ngada, Saudara!” ucapnya. Ia terkekeh. “Mana mungkin engkau Khalifah, pemimpin ratusan ribu pasukan yang telah menguasai jazirah dan negeri-negeri terdekatnya?”
“Baiklah. Ikuti aku ke Mesjid Nabi. Saya mau salat Isya. Nanti insya Allah Saudara akan percaya,” ujar orang itu.
Mereka segera berangkat. Namun, sepanjang perjalanan ke Mesjid Nabi, tanda tanya besar masih bergelayut. Ia ingat cerita orang-orang kalau Khalifah itu adalah orang yang sederhana dan sangat menghormati tamu. Begitu pulalah yang ia dengar tentang ajaran Islam.
Setelah salat Isya usai, barulah ia betul-betul percaya kalau orang yang telah menjamunya memang Khalifah yang ia cari. Maksud perjalanan yang ia tempuh. Ia malu. Sangat malu. Dan Khalifah memanggilnya sekarang.
“Nah, apakah Saudara sudah yakin bahwa saya Khalifah?”
“Sudah Yang Mulia,” jawabnya dengan takzim. “Maafkanlah saya sebab tadi meragukan Anda.”
“Oh, tidak apa-apa, Saudara. Silakan utarakan keperluan Saudara. Maksud apa gerangan Saudara berjalan jauh dari negeri Mesir ke Madinah ini? Tentu ada hal yang sangat penting. Nah, silakan Saudara. Silakan! Jangan simpan dalam hati. Agar nanti engkau pulang dengan hati lapang. Semoga Allah menolongku menjawab persoalanmu itu.”
Orang banyak berkerumun. Maklumlah salat Isya baru usai ditegakkan. Ia menyampaikan maksudnya.
 “Wahai pemimpin kaum Muslim, saya ini orang miskin,” ia memulai pembicaraan. Khalifah menyimak. “Di Mesir, kami punya sebidang tanah,” lanjutnya.
            “Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama keluarga. Tapi Gubernur mau membangun Mesjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu…” tuturnya sedih, berkaca-kaca. Terdengar bisik-bisik lirih.
            “Jika semua milik kami digusur oleh Gubernur, kami yang miskin ini mau pindah ke mana? Tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan.”
 “Oh, begitu ya? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh Gubernurku,” kata Khalifah. Ia mengangguk paham. Merenung sejenak. Berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi ini.
“Kau tidak bermaksud menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi?” tanya Khalifah.
“Tidak!” ia menggelengkan kepalanya. “Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun.”
“Baik! Aku akan membantumu,” ujar Khalifah. Mendengar itu laki-laki Yahudi itu merasa lega. Kesusahannya seakan terangkat.
“Hei, Yahudi!” Khalifah bersabda. “Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu!” perintahnya.
“Maaf? Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu?” tanyanya ragu. Namun, ia menurut juga.
“Ini tulangnya, Tuan.”
Khalifah Umar menerima lalu membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.
“Serahkan tulang ini pada Gubernur Mesir!” perintahnya.
Ia menatap tulang itu. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia tidak puas.
Kedatangannya untuk mendapat keadilan, tetapi Khalifah hanya memberinya tulang yang di garis dengan ujung pedang?
“Wahai, Khalifah! Jauh-jauh saya datang hendak meminta agar Tuan membereskan masalah saya, tapi Tuan malah menyuruh saya memberikan tulang ini kepada Gubernur?”
“Sudah! Jangan bertanya lagi. Saudara serahkan saja tulang itu kepada Gubernur!” jawab Khalifah.
            Ia tidak bertanya lagi. Esok paginya, kembali ia mendapati dirinya menembus gurun pasir. Ia harus cepat. Urusan harus diselesaikan. Sepanjang perjalanan ia masih membatin. Tulang inikah yang akan menyelesaikan masalahnya? Penebus harga diri itu?
Setibanya di Mesir, ia bergegas menuju kediaman Gubernur.
“Wahai Tuan Gubernur, saya orang Yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu.”
“Oh kau rupanya, ada apa lagi?!” tanya Gubernur.
“Saya baru saja pulang dari Kota Madinah.”
“Lantas?!”
“Saya disuruh Khalifah untuk menyampaikan tulang ini,” ujarnya. Tulang itu ia serahkan kepada Gubernur.
Gubernur memeriksa tulang itu dengan teliti. Lalu, saat menatap garis lurus yang tergores pada tulang tersebut berubahlah wajah sang Gubernur. Pucat. Menatap gambar pedang membuat tubuhnya gemetaran. Keringat dingin mengucur.
“Hei, pengawal!” tiba-tiba ia berteriak keras.
“Serahkan tanah orang Yahudi ini sekarang juga! Batalkan rencana penggusuran rumah dan tanahnya! Kita cari tempat lain untuk membangun Mesjid!” perintahnya.
Laki-laki Yahudi itu terperanjat. Ia tidak menyangka urusannya selesai secepat itu. Dengan tulang?
“Tuan Gubernur ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?! Kenapa Tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu?”
“Hai, Yahudi! Tahukah kau? Tulang yang engkau bawa itu sudah menebas batang leherku dengan amat keras. Seakan Khalifah sedang berdiri di depanku dengan murka,” jawab sang Gubernur.
“Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah meminta agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka Khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku menjadi tulang belulang seperti ini,” jelas Gubernur lagi. Ia menatap takzim tulang busuk di genggamannya.
***
Padang, Juni 2015
Cerita ini digubah dengan penceritaan yang berbeda dari buku “30 Kisah Teladan” (K.H Abdurrahman Arroisi, 1994)
BIODATA PENULIS
Denni Meilizon lahir 6 Mei 1983 di Silaping Pasaman Barat. Menulis sajak, cerita pendek dan essai. Bergiat di FAM Indonesia. Berdomisili di Lubuk Minturun Kota Padang.
                                                           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.