Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Aroma Bunga Tubuh Nek Ipah




Oleh: Denni Meilizon
http://www.imgrum.org/user/ragungabe/1833346664

                                                                                                                                     
LANGIT masih meneteskan hujan. Akan tetapi pada penghujung malam ini hujan itu tinggal gerimis. Dedaunan dan tanah benar-benar basah. Selokan penuh dengan air mengilir hingga ke saluran yang mengairi persawahan. Tentu saja tak ada burung yang terbang atau setidaknya belum ada. Bahkan jangkrik pun tak berbunyi. Hanya dengking suara kodok bagaikan memanterai hujan agar segera berhenti.
Bohlam pijar sepuluh watt di beranda tidak cukup menerangi penglihatan. Dalam kerumunan orang-orang, suara Ketua Rukun Warga yang paling sering terdengar. Sambil berbincang dengan serius, ia terus saja asyik dengan telepon genggamnya. Ia menelepon seseorang, katanya ia menelepon Pak Lurah.
“Kalau perginya sudah sejak pagi kemarin dan belum pulang sampai saat ini maka secara hukum sudah harus segera kita cari. Tadi saya sudah mendapat info dari Pak Lurah bahwa beliau juga akan menghubungi tim SAR Kota. Begitu hari terang kita langsung melakukan pencarian,” kata Ketua RW kepada semua yang hadir. “Bagaimana, siapa nanti dari pihak keluarga yang bersedia menerangkan kronologisnya kepada polisi dan Tim SAR?” lanjutnya lagi sambil memalingkan wajah kepada keluarga yang duduk berkerumun di ruang tengah. Beberapa perempuan terdengar masih terisak. Beberapa orang terlihat menguap malu-malu.
“Si Win saja, Pak. Kemarin  dia yang mengantar Nek Ipah ke ladang,” ujar Marni, cucu perempuan tertua Nek Ipah.
“Iya. Betul saya yang mengantar tetapi setelah itu saya pergi. Kata Nenek biar dia sendirian saja sebab saya juga harus mengantarkan anak-anak ke sekolah,” jawab si Win tak mau disalahkan.
“Sudah! Sudah! Tak ada lagi perbantahan. Kamu Win dengarkanlah ini!
Tak ada yang menyalahkan kamu. Nanti tugasmu hanya menerangkan hal yang sama kepada Pak Lurah, polisi dan Tim SAR. Tak usah kau tambah kurangi agar pekerjaan kita selanjutnya menjadi jelas bahwa mulai pagi ini kita akan mencari keberadaan Nek Ipah sampai beliau ditemukan. Kamu yang paham seluk beluk jalan ke ladang di bukit itu, nah kamu jugalah nanti yang akan menjadi penunjuk jalan,” tegas Ketua RW. “Bapak-bapak saya minta untuk ikut membantu petugas, sebab Bapak-bapak yang tahu medan pencarian. Polisi maupun Tim SAR nanti hanya menyediakan tambahan personil dan juga peralatan. Sebab itu marilah kita bersiap-siap. Silakan kembali ke rumah masing-masing dahulu dan pukul enam kita berkumpul lagi. Ibu-ibu sebaiknya berembuk guna menyiapkan dapur umum,” lanjutnya kepada khalayak yang sudah semakin ramai seiring datangnya pagi.
Kabar Nek Ipah belum pulang sebenarnya sudah tersebar. Namun malam itu hujan turun sangat deras, membuat rumah-rumah sunyi lebih cepat. Beristirahat di buai hujan merupakan kenikmatan tersendiri apalagi pada siang hari sudah lelah bekerja membanting tulang. Semua orang tahu siapa Nek Ipah itu, perempuan yang sudah sepuh itu. Termasuk juga tentang cerita lima tahun lalu ketika putra bungsunya dinyatakan hilang di bukit yang sama dan sampai saat ini tidak pernah pulang.
Tepat pukul enam atau barangkali sudah lewat sekian menit rumah di pinggiran sawah itu kembali ramai. Kali ini ditambah dengan datangnya personil dari kepolisian dan Tim SAR kota. Sebuah mobil pemadam kebakaran juga nampak parkir di pinggir jalan entah untuk apa karena tak ada yang kebakaran. Tapi saat ini tak ada orang yang ambil pusing akan keberadaan mobil berwarna merah itu. Selain itu ada mobil-mobil lainnya seperti mobil patroli dari kepolisian dan dua buah truk pengangkut milik Tim SAR kota. Berselang kemudian satu unit mobil patroli datang mengangkut satu peleton personil Polisi Pamong Praja menambah bantuan rombongan pencari Nek Ipah. Kesibukan nampak di mana-mana. Ibu-ibu menggelar dapur umum. Beberapa orang mengelilingi sebuah peta. Mereka berembuk dan membagi jalur pencarian. Sebagian sibuk berkomunikasi dengan radio panggil. Hujan sudah benar-benar berhenti dan matahari sudah naik sepenggalahan.
Si Win yang merupakan orang terakhir bersama Nek Ipah menjadi penunjuk jalan setelah dicecar pertanyaan ini itu oleh Lurah dan aparat. Setelah sarapan pagi, rombongan pencari itu berangkat menurut jalur-jalur yang sudah disepakati. Perbekalan berupa ransum makan siang juga tak lupa untuk dibawa. Siang hari, berita hilangnya Nek Ipah berikut kesibukan orang-orang untuk mencarinya menjadi salah satu berita yang ditayangkan sebuah televisi. Ternyata ditengah hiruk pikuk pagi itu ada juga wartawan media yang ikut bergabung mengabadikan kejadian tersebut.
Ketika magrib menjelang dan rombongan pencari sudah kembali, sadarlah mereka bahwa pencarian Nek Ipah ternyata tidak semudah dugaan semula. Hingga dua hari kemudian hasil tetap nihil. Nek Ipah bak raib ditelan bumi. Ladang tempat ia terakhir dinyatakan hilang, hutan dan ladang lainnya atau sampai kepada gua dan celah bebatuan semua sudah dirambah telusuri. Tetapi media massa sudah tidak menayangkan berita pencarian itu lagi sebab sudah tidak menarik lagi. Beberapa orang, terutama masyarakat mulai undur satu persatu sebab ada urusan penting lain yang perlu diselesaikan. Namun pada hari keempat, Walikota memutuskan untuk ikut serta mencari Nek Ipah. Alhasil pada keesokan harinya media massa kembali memberitakan hilangnya Nek Ipah berikut memuat foto Walikota berpakaian seragam Tim SAR sedang memberikan briefing dengan latar bukit berbatu. Melalui berita pula dapat diketahui bahwa upaya pencarian yang melibatkan Walikota itu ternyata nihil juga. Walau hasilnya nol besar, aneka pujian tetap saja diberikan masyarakat kepada Walikota, ditengah kesibukannya mengurus kota, ia masih peduli perkara tetek bengek seperti ini.
Lebih sepekan kemudian, mendapati kabar Nek Ipah belum juga ditemukan maka merebaklah cerita spekulasi dan isu yang ditambah kurangi di tengah masyarakat. Konspirasi kata orang-orang. Dukun-dukun turun gunung. Kiyai dan ustadz membantu doa. Orang-orang ingat kembali kejadian serupa lima tahun silam ketika anak lelaki Nek Ipah hilang di lokasi yang sama.
“Barangkali Nek Ipah dibawa oleh anaknya itu ke negeri orang bunian,” cetus seseorang setengah berbisik kepada beberapa orang di lepau kopi.
“Bisa jadi. Ya, bisa jadi. Tetapi apakah hal demikian masih bisa dipercaya?” sahut rekannya ragu.
“Ya bisa saja. Bukankah kita semua sudah tahu kalau bukit yang menjadi peladangan kita selama ini sesungguhnya bersebelahan dengan negeri bunian?” kata seseorang, agaknya lelaki paling tua di lepau itu, kelihatan sudah sepuh.
“Jadi kalau begitu Nek Ipah kini sudah menghuni negeri bunian dan menjadi bagian orang bunian, begitu Nyiak?” tanya yang lain, kali ini kepada lelaki sepuh itu yang duduk bersandar mengembuskan asap rokok.
Orang yang dipanggil Inyiak – kakek – itu mendehem lalu memperbaiki duduknya.
Wallahu’alam, Sutan. Kita cuma bisa menduga-duga. Allah yang tahu. Di bumi Allah ini apa yang tak bisa terjadi? Ah… sudahlah. Kita semua sudah berusaha. Lihatlah Pak Wali juga sudah ikut mencari. Aparat juga begitu. Sepekan ini kita sudah tidak ke sawah, bukan? Nah, saya pikir besok sebaiknya kita urus urusan kita dulu. Cukup sepekan ini pesta burung dan tikus mengurangi panen kita. Belum lagi hujan dan banjir yang kita hadapi.”
Malam semakin merambat. Lepau kopi semakin lengang. Tak ada hujan turun pada malam itu. Langit cerah berbintang. Angin bertiup tenang walau dingin menusuk tulang.
Pagi harinya ketika matahari sudah naik sepenggalahan, Nek Ipah akhirnya ditemukan. Ia didapati sedang duduk kebingungan di atas sebuah batu di puncak bukit. Tikuluknya basah tetapi tubuhnya berbau bunga. Tangan kanannya memegangi kantong kresek. Ketika melihat orang-orang datang, Nek Ipah ketakutan, memeluk bungkusan itu lebih erat. Ia mencoba bangkit akan tetapi malah badan ringkih itu jatuh berguling-guling, mendarat di punggung bukit. Anehnya ia tidak terluka, tidak ada kesakitan. Tim SAR yang kaget karena melihat Nek Ipah jatuh berhasil menyelamatkannya.
Sayangnya, tidak ada media massa yang memberitakannya. Tetapi jangan sangka cerita akan terhenti begitu saja. Rumor kembali merebak dari mulut ke mulut. Kali ini tentang bungkusan kresek dan aroma bunga tubuh Nek Ipah.
“Betulkan kataku bahwa Nek Ipah dibawa orang bunian,” kata seseorang kepada beberapa orang lainnya.
“Ah , bukan katamu saja. Semua orang juga berpikir begitu,” jawab yang lain.
“Tahukah kalian apa isi kantong kresek itu? Habis akal polisi dan keluarga meminta kantong itu, namun Nek Ipah tidak mau menyerahkan. Katanya, kantong itu berisi uang yang diberikan anaknya.”
“Uang?”
“Katanya begitu. Sudah kutanyakan ke si Marni dan katanya, bukan uang tetapi dedaunan dan kertas-kertas koran saja. Entahlah.”
“Eh, satu hal lagi, Nek Ipah sampai hari ini tidak mau masuk ke dalam rumah. Ia hanya mau duduk dan tidur di beranda saja.”
“Oh iya, saya juga sudah lihat. Malah sejak ditemukan hingga hari ini Nek Ipah tak pernah mandi namun tubuhnya masih harum juga.”
“Lalu apakah ia salat?”
“Tidak tahu juga. Ndak mandi-mandi bagaimana sah salat?”
“Nah!”
Orang-orang terdiam. Mereka bergelut dengan pikiran masing-masing.

Padang, 2016


Cerpen ini dimuat oleh SKH Singgalang edisi Minggu, 23 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.