Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

TRAVELLING TO MINANGKABAU:Bagaua Band, SAR Band dan Lucy Band Jazz dan Rock Metal Musik Minang






Oleh: Denni Meilizon

Upaya mengenalkan musik Minang kepada dunia internasional selalu menjadi perhatian bagi seniman musik Sumatera Barat. Apalagi pembauran kebudayaan selalu dibutuhkan untuk memperkaya khazanah perbendaharaan budaya itu. Sebagai sebuah komunitas etnik yang unik, Minangkabau memiliki potensi yang kaya untuk lebih digali dari berbagai sisi. Jadi, ketika gaung kunjungan pariwisata di Sumatera Barat ditabuh oleh Pemerintah, musik Minang juga semestinya harus dilirik dan kalau perlu dilakukan pemolesan ulang oleh tangan-tangan dingin seniman Minang. Tidak dapat dipungkiri, lagu-lagu Minang terutama versi lawas kini, setelah melewati tiga dekade telah menjadi legenda dan abadi. Disukai banyak orang bahkan oleh masyarakat bukan Minang. Yang tidak paham tuturan bahasa Minang. Alhasil, sesungguhnya disamping bahasa, batang tubuh musik dan lagu itulah yang menarik untuk didengar dan dikaji.
Tantangan sebetulnya adalah pola pikir yang tertanam selama ini bahwa musik Minang itu tidak dapat diubah. Penggantian musik pengiring misalnya, menghilangkan salah satu unsur tradisi langsung saja divonis bukan Minang. Padahal dunia berubah. Teknologi semakin canggih. Ragam alat pengiring semakin kaya pilihan. Menurut Soni Maryanto, pengajar seni musik di SMKN 7 Padang yang juga pemilik Soni Audeo Record - Padang yang dilakukan sebetulnya memberi warna baru pada musik pengiring sedangkan lagu dan cara melagukan harus tetap sebab itu merupakan budaya. Cara melagukan itu adalah budaya. Dan itu tidak boleh dirubah.
Sebuah proyek daur ulang lagu-lagu Minang lawas telah mulai dilakukan beberapa kalangan seniman Sumatera Barat. Tiga kelompok musik yang saat ini fokus mengolah hal tersebut Bagaua Band, SAR Band dan Lucy Band, binaan Soni Audeo Record bekerjasama dengan Diatunes Artist Management untuk mempromosikannya, yang sebagian personilnya merupakan alumni dan siswa SMKN 7 Padang. Musik Jazz dan Rock Metal menjadi pilihan. Sampai saat ini ada enam lagu yang digarap. Lagu Si Nona, Dorak Dorei dan Ayam Den Lapeh merupakan beberapa lagu yang dipilih untuk diarransement ulang. Ayam Den Lapeh, Travelling to Minangkabau dan Morning in My Village termasuk di dalamnya. Berikut para personil tiga kelompok band tersebut; Bagua Band digawangi oleh Soni Maryanto, Heru Erlangga, Ferdy Nanda, Vivaldi, Erwin dan Mutia. Sedangkan SAR Band terdiri dari Vivaldi, Heru Erlangga, Ferdy Nanda, dan Harfisa. Dan terakhir, Lucy Band dibesarkan oleh Ferdy Nanda, Hafiz, Dewi, dan Yoga.
Konsep proyek eksentrik ini bertema “Travelling to Minangkabau” dan “Morning in My Village” sebagai tagline pemasarannya. Dari situlah mereka memulai. Menurut penjelasan Soni Maryanto yang merupakan tungganai dan pelopor pekerjaan ini, secara holistik dan keseluruhan warna musik akan menggambarkan alam dan wisata Sumatera Barat seutuhnya. Maka dari itu, walau ia dibalut Jazz atau Metal, musik pengiring tradisi tetap dipakai. Bansi, saluang, rebab dan talempong diselang selingi betotan bass, saksofon, biola atau petikan garang gitar berirama keras. Soni sendiri merupakan Drummer terbaik yang dimiliki Sumatera Barat saat ini.

Upaya ini amat patutlah kiranya didukung bersama. Secara tidak langsung sebetulnya sekelompok seniman ini ingin memberikan informasi kepada dunia internasional lewat Jazz yang tradisi Afro America itu bahwa inilah Minangkabau, datanglah. Atau lewat balutan Rock Metal pun begitu pula. Lirik lagu Minang yang berpola mantra semacam Dorak Dorei seperti menemukan ruasnya bila dibentuk kembali dalam Rock Metal yang diracik bagus, enak didengar dan apik dibawakan. Pemilihan warna Jazz maupun Rock Metal jelas merupakan strategi yang cerdik. Mendekatkan pendengar dengan apa yang biasa ia dengar. Ini sedikit mirip dengan apa yang dilakukan oleh grup Kiai Kanjeng menggubah Eva Maria dengan memasukkan lirik islami seperti shalawat nabi dengan memakai pengiring gending dan perkusi Jawa.
Tentu saja setiap lagu itu akan diperkuat dengan video visualisasi. Soni Audeo Record memiliki sumber daya untuk menghadirkan visual demikian. Filosofi bermusik akan dikawinkan pula dengan seni fotografi.
Maka nanti, kepada kita maupun dunia Internasional akan disajikan menu andalan berupa hentakan musik Minang dan seliweran objek wisata di Sumatera Barat. Beberapa contoh hasil proyek ini ternyata sudah dapat kita tonton di channel berbagi video Youtube.
Dunia berubah sebab itu selera masyarakat juga berubah. Termasuk yang berubah, cara kita menikmati lagu dan musik sebagai bagian budaya. Dan itu merupakan jalan lapang untuk mendongkrak kunjungan dan ketenaran destinasi wisata Sumatera Barat.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.