BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Oleh: Denni Meilizon
ADA
suara kebenaran dari luar diri manusia yang menuntut untuk hidup sesuai arah
jalan yang lurus. Suara itu menggema dalam kitab-kitab suci agama, bukan
monopoli satu agama saja tetapi ayat-ayat penuntun jalan itu bisa ditemukan
oleh orang-orang yang mencari dari berbagai penganut agama dan keyakinan di
dalam kitab suci masing-masing.
Ada
banyak sekali ayat-ayat tersebut, dan tidak pula dapat dinafikan bahwa kitab
suci milik agama manapun memang dimaksudkan sebagai penuntun, pegangan dan peta
kehidupan yang harus diamalkan oleh penganut agama jika ingin hidup yang benar
dan diberkahi cinta, kasih sayang, pengampunan, kebahagiaan serta memperoleh rahmat
dari Tuhan semesta alam.
Namun,
praktiknya dalam keseharian manusia tidaklah semudah saat membaca ayat-ayat
dalam kitab suci. Kehidupan manusia merupakan dinamika, medan perjuangan antara
kasih sayang, cinta, amarah, kebencian, persahabatan, pengorbanan, ego,
kerelaan, kesombongan, keikhlasan, rakus, tamak, serakah, dermawan, ramah, baik
budi dan lain sebagainya yang merupakan wujud dari emosi dan sifat dasar
manusia sendiri.
Manusia,
umumnya telah mendapatkan nilai dan norma sejak kanak-kanak bahwa mementingkan
diri sendiri itu merupakan sifat yang jelek. Namun anehnya, semakin tua usia
kita niscaya akan semakin keras pula kita berkutat menyuburkan kepentingan diri
sendiri. Kita bukannya tidak tahu bahwa di luar diri kita ini ada kepentingan
orang lain, tetapi pikiran kita yang dikuasai oleh ego akan menafikan hal itu,
diri kita diajak untuk lupa kalau setiap manusia nyatanya memiliki kepentingan,
kebutuhan dan keinginan yang sama dengan kita. Ego manusia menuntut untuk
memenangkan pertarungan, bahkan jika perlu bertengkar, saling tindas,
musuh-memusuhi dan salin tikung sesama kawan dan saudara. Jika demikian, dalam
pandangan mata terpampanglah hidup yang penuh dengan perang kepentingan yang
bakal jatuh korban sebagai konsekuensi dari sebuah peperangan atau persaingan.
Betapa menderitanya manusia ini.
Bahwa
semua hal yang merupakan wujud emosi maupun sifat diri manusia, selalu saja
akan terus berhadap-hadapan satu dengan yang lainnya, hingga kematian menjemput
jiwa-jiwa. Bak sebuah magnet, kutub positif dan kutub negatif akan terus
melingkupi kehidupan manusia. Kedua kutub ini akan terus saling tarik menarik. Kutub
yang saling berlawanan itu jika tidak ada dalam diri sendiri maka akan mewujud
dalam diri orang lain. Dan demikianlah kemudian terus dan terus berjibaku
mengambil posisi dominan. Bagi sebagian manusia yang mencoba untuk bijak, menyikapi
anomali kehidupan mereka berpendapat dengan mengatakan bahwa begitulah proses dari
sempurnanya tatanan kehidupan ini diberikan Tuhan, pertarungan kedua kutub
itulah yang membuat kehidupan ini bisa berjalan menuju kesempurnaan nan hakiki.
Tetapi, betulkah manusia mampu menjalaninya?
Tentu
saja, walau dipaksa-paksakan, manusia bakal mampu menjalani semua medan perang
kehidupannya. Manusia, ditubuhkan dengan DNA pejuang dan hadir ke muka bumi
untuk menjadi dominan di antara makhluk lainnya. Jika membaca tuntunan yang
diajarkan beberapa agama kepada pengikutnya, maka kita bisa melimpahi
pengetahuan kita dengan satu hal yang agaknya mendapat pemahaman yang sama
dalam rangka mengelaborasi emosi manusia yang meletup, yang bisa bersifat
melampaui kodrat manusia, menyebabkan kerusakan, kebencian yang meruyak,
kesakitan dan penderitaan ataupun kegilaan bagi jiwa-jiwa yang gelisah dan
tidak tenang. Manusia niscaya akan terus akan saling menyakiti satu sama lain.
Pertumpahan darah akan selalu ada seperti kutukan abadi bagi sejarah panjang
kemanusiaan. Kebencian ditumbuhkan dengan sadar seperti sengaja memasukkan
monster ke dalam diri manusia. Ia dipelihara dan diperbesar. Kita biarkan
kebencian menguasai diri hingga sampai kepada titik di mana kita tak mampu lagi
menanggungnya. Sungguhlah, jika sekiranya tidak ada sebuah lembaga yang bisa
meredam itu semua, maka habislah peradaban manusia ini. Jatuhlah kita kepada
derajat hina yang lebih binatang daripada binatang. Bersyukurlah kita bahwa ternyata
lembaga itu tersedia dan nyata. Lembaga itu menjadikan seorang manusia menjadi
manusia melalui tawaran untuk maaf dan menerima maaf, atau dalam istilah lain disebut mengampuni
dan diampuni. Banyak sekali kemuliaan dan keutamaan bagi orang yang pemaaf dan
pengampun itu.
Bersabdalah
Rasulullah Muhammad
SAW kepada Uqbah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Uqbah bin Amir
Al-Juhani, bahwa akhlak penghuni dunia akhirat yang paling utama itu manakala
manusia mampu menghubungi orang yang memutuskan hubungan, memberi orang yang
menahan pemberiannya serta memberi maaf kepada orang-orang yang pernah
menganiaya kita. Hadits Nabi SAW itu, terutama pada bagian memberi maaf
kepada orang-orang yang menganiaya kita
itu sungguh amat berat untuk dilaksanakan. Anda dikhianati suami, diselingkuhi
istri, orang-orang membakar rumah kita, membakar rumah ibadah kita atau akankah
kita mengampuni orang-orang yang membunuh anak-anak kita?
Berterimakasihlah kepada kehadiran cinta kasih di tengah-tengah hidup
kita. Cinta kasihlah yang melumuri tubuh dan jiwa manusia yang fana dengan
cahaya ilahiah, nilai universal ketuhanan. Dan dengan adanya pancaran cahaya
ilahi itu betapapun hanya sebiji pasir bahkan lebih kecil dari itu maka itulah
yang berperan menjadi rem, penyaring dan karet peredam bagi hidup berinteraksi seorang
manusia di tengah keramaian.
Sudah
jamak dalam kehidupan kita, meminta maaf dan memaafkan adalah pekerjaan yang
maha berat. Meski sudah menyadari kesalahan namun meminta maaf kepada mereka
yang telah kadung kita zalimi dan mungkin kita sakiti bukanlah perkara yang
mudah. Ada semacam ego atau gengsi yang mencegah seseorang untuk mengatakan,
“Aku minta maaf, aku telah bersalah.” Bukan hanya anda bahkan saya sendiripun
mungkin begitu pula.
Terkadang,
daripada meminta maaf, orang lebih suka melakukan sesuatu yang lebih sulit. Ini
realitas. Makanya, ketika tidak mau meminta maaf, langsung saja di-judge merupakan salah satu bentuk
kesombongan karena ia merasa sedemikian mulia sehingga malu dan tidak bersedia
untuk minta maaf. Sebaliknya, meski bisa menahan sakit akibat kezaliman orang
lain, memberi maaf juga bukan perkara yang mudah. Ada semacam rasa sakit yang
tergores yang seakan-akan tidak bisa lepas dari ingatan dan akan senantiasa
membekas. Orang menyebutnya dengan dendam. Dan, tak ada hal baik dan berkah
jika sudah berkelumun dendam. Dendam tak akan sudah-sudah. Percayalah.
Maafkanlah setiap hal kecil yang mungkin menyinggung perasaan kita,
Kenapa tidak kita akui saja bahwa mungkin kitalah
yang terlalu cepat tersinggung, alih-alih cepat berkesimpulan dalam pikiran
bahwa orang lain telah bersalah terhadap kita? Lihatlah sosok seorang Ibu yang
tidak akan pernah membenci anaknya sendiri.
Resapi cintanya seorang Ibu dengan pengampunan sepanjang tak berujung
kepada anak-anaknya. Dengarkan bisikan doanya di tengah munajat kepada Tuhan.
Itulah cinta, itulah kasih sayang. Cinta kasih yang membuahkan sifat pemaaf.
Rumah cinta yang menyungaikan air pengampunan.
Begitu pula Tuhan, Allah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Berlimpah Kasih Sayang-Nya, Ia yang Maha Luas dan Maha Perkasa dapat
kita dekati dengan cinta. Mencintai-Nya berarti menyiapkan diri menerima
sifat-sifat-Nya. Tak ada dosa yang tidak diampuni jika sebenar-benarnya
bertaubat, mengaku berdosa, menyesali kesalahan dan menjadi insan yang lebih
baik.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.