Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Jika Orang Berdusta Tentulah Kami tak Serta


foto: Amigos Travellers


KETIKA kecil saya merupakan murid sekolah dasar yang banyak tanya soal agama, begitu menurut tuturan guru-guru sekolah dikemudian hari. Pertanyaan saya kata mereka, sering bikin kening guru agama berlipat untuk kemudian ia memilih menunda memberi jawaban. Barangkali saya  kemudian tidak ambil pusing jika kemudian dijawab atau tidak. Barangkali, jawaban bagi anak kecil tidaklah penting karena anak kecil tidak paham betul apa yang ia tanyakan. Saya bertanya karena dijejali oleh buku bacaan sejak kecil. Bacaanlah yang memantik pertanyaan dalam pikiran saya.
Dan hari ini, walaupun bukan seorang penganut agama yang baik lagi taat tetapi saya kadang agak tidak enak hati juga manakala membaca atau melihat materi yang dibaluti embel-embel keberimanan, mengayak-ayak narasinya dengan bahasa agamais namun tidak dilengkapi dengan sumber bacaan dan referensi, disebarkan pula oleh orang yang tidak dapat dijadikan rujukan.
Perkara agama bukan gampangan. Ia perkara serius. Menyampaikan materi agama bukan remeh temeh. Ia memiliki konsekuensi akhirat, penunjuk jalan Kebenaran bagi umat. Melihatlah berlama-lama kepada orang-orang bijak zaman dahulu, betapa berhati-hatinya mereka dalam perkara agama ini. Satu soal agama, rujukan kitabnya harus lengkap. Tidak hanya asal jawab saja, tapi juga dapat mereka pertangungjawabkan. Lautan ilmu merekalah yang jadi rujukan kita. Ulama-ulama tawadhu, ikhlas, luas pengetahuannya lagi menguasai bidang keilmuannya. Kepada orang yang mempelajari ilmu merekalah kita memetiki ilmu dan ajaran, menjadi rujukan sumber kalau hati ingin membagi pengetahuan dengan orang lain.  
Hari ini betapa mudah orang menjadi seolah-olah paham agama. Seolah paham apa yang bukan kompetensinya. Media sosiallah tempat “seolah-olah” itu berkembang biak dan mesin pencarian internet penyedia materinya. Tiga pekerjaan mudah yang menjadi prosesnya, salin (copy), tempel (paste) dan bagikan (share). Menyebarlah ia ke seantero dunia maya, ke dalam gawai dalam genggaman tangan. Dalam kerumunan massa, susah benar untuk mencari siapa yang bertanggungjawab. Ini sama seperti pengantar si tukang kaba jika hendak mementaskan sebuah Kaba, yang tak hendak mendaku diri sebagai sumber pertama dari Kaba. Kab urang kami kabakan, duto urang kami tak sato. Nah, karena sifat sebuah Kaba adalah menghibur pendengarnya, maka ungkapan demikian dapatlah dibenarkan. Tetapi sekali lagi, ini soal sesuatu yang paling terhormat dan sensitif di jagat raya, agama. Bicara perkara agama tidak segampang itu. Harus serius dan bukan main-main.
Tak ada larangan untuk menebarkan kebaikan. Dianjurkan pula untuk mengajarkan agama walaupun yang diketahui “hanya satu ayat”. Namun, masalahnya adalah pada saat ini, ketika zaman semua orang sepertinya memahami ayat kitab suci, terpampanglah di hadapan kita masalah lain, terjadinya proses kasat mata berupa pengerdilan agama. Bisa jadi tidak semua orang dapat melihat maraknya ajang pengerdilan nilai agama dari sifatnya yang universal, kini direnggut sepipih mungkin untuk legitimasi kepentingan pribadi, golongan, jaringan dan komunitas belaka. Perlakuan yang menyakiti ketaatan kita tersebut terjadi di hadapan kita, saban kali membuka mata dan manakala kita larut dalam tidur. Simbol agama dialihkan dengan identik menjadi penempel identitas kelompok, beriring sepantun pula dengan penyematan ancaman rasa takut untuk tidaksetuju, berbeda paham ataupun gagasan dengan kelompok atau orang lain. Agama yang kasih sayang dan rahmat seru semesta alam ini dijadikan alat untuk menakut-nakuti manusia.
Dogma agama kemudian dicari dan diplintir untuk kepentingan pribadi. Betapa pekerjaan ini, melalui sejarah umat-umat masa lalu, kita baca dalam kitab suci, disampaikan para tuan guru kepada kita terus dan terus saja berulang. Mereka memuntir lidah mereka saat membaca ayat dan ajaran agama, lalu ditasbihkan untuk kepentingan kelompok, dinasti, keluarga dan diri sendiri.
Dogmata adalah kepercayaan yang dipegang secara otoritatif. Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin tidak, tergantung penggunaan. Dalam bingkai dogma, ide-ide manusia tidak dianggap penting bahkan bukan sebuah referensi. Dogma agama bagaikan menu makanan yang dihidangkan di atas meja dan boleh dimakan siapa saja namun dengan syarat dan ketentuan berlaku berupa keharusan untuk mengabaikan pikiran soal rasa hambar, rasa basi, kelat, kekurangan bahan, atau nanti bisa saja menemukan sehelai dua helai rambut si tukang masak, dan jika semua itu ada maka tidak dibenarkan untuk disebut-sebut apabila jamuan sedang berlangsung. Dogma itu harus kau kunyah dan telan, seandainya terasa ingin muntah sebab mual maka kau harus meminum bergelas air agar tertelan. Kau boleh membuangnya kemudian ketika sudah di toilet dalam bentuk ampas yang tetap saja tidak akan mau kau ungkap kepada keramaian sebab sebagaimana telah digariskan dengan tebal, bau busuk hasil produksi tubuhmu adalah aibmu sendiri. Perkara kau makan apa sebelum itu juga adalah urusanmu sendiri. Yang pasti, sekali lagi, dogma sebagaimana sesuatu jika telah menjadi makanan bagimu, maka itu harus kau telan dengan takzim dan khusyuk.
Betapa berbahayanya dogma jika sudah diplintir, lalu dihidangkan kepada orang awam, lemah iman, miskin ilmu agama dan keras kepala serta enggan belajar. Disampaikan oleh orang yang tidak punya kompetensi ilmu yang diakui. Belum pula jika dirunut ternyata ilmunya masih ilmu yang telah diajarkan ketika masa ia kanak-kanak, setelah itu tidak ada atau tidak mau meningkatkan pemahaman agama ketika dewasa.
Ruang publik, kerumunan manusia saat ini sudah semakin kasat mata. Tidak jelas dinding pembatas jika ia disebut ruang, pun tidak jelas batas penanda jika ia disebut waktu. Berselancar di ruang tak berhingga itu sangat dibutuhkan sikap bijak dan upaya tahu kapan harus menahan diri. Ajakan baik untuk tahu dan pandai menempatkan diri agaknya masih berlaku hingga saat ini. Bicaralah di hadapan publik sesuai kapasitas diri. Jika bukan wewenang kita, lebih baik diam.
Sikap diam itulah yang menunjukkan bahwa kita masih lemah imannya sehingga harus terus belajar. Karena merasa iman masih lemah itu maka kita tahu diri, menahan diri dan berbicara berdasar kepada sumber yang terpercaya serta dapat dipertanggungjawabkan. Sikap ikut-ikutan, tidaklah sikap yang baik. Sedikit belajar tapi banyak bicara adalah berbahaya. Maka lebih bermanfaat jika ilmunya dipelajari lebih dulu sampai paham. Jangan sampai kita termasuk bagaikan ibarat seekor keledai yang memanggul buku-buku di punggungnya.
Mungkin, agar kelak ikut dalam daftar orang yang akan masuk surga, salah satu yang dapat dikerjakan oleh orang-orang yang imannya ngepas seperti saya adalah berkhayal tentang beberapa cara yang tepat untuk bisa membebaskan agama yang menempeli lapak dagangan di pasar-pasar kerumunan manusia yang sedang menjual dirinya sendiri, di dalam bingkai sebuah Negara, konon paling beragama di muka bumi ini.[]

    Penulis adalah pegiat media sosial dan pembaca buku.
DIMUAT PERTAMA KALI OLEH SKH HALUAN PADANG,     14 OKTOBER 2018   





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.