Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Ami ingin Pulang ke Masa Lalu



Oleh: Denni Meilizon


DIA SUDAH terbiasa menunggu. Dulu, beberapa tahun sebelum hari ini, ia terbiasa menunggu lelaki itu di dalam kamar. Ia akan duduk di pinggir ranjang dekat dengan jendela. Ia hapal benar, jika lewat tengah malam, setelah lampu-lampu rumah dimatikan, lelaki itu akan datang berkunjung dan berdiri di balik jendela. Berdiri? Ya, setelah melalui proses yang tidak biasa.  Lelaki itu datang mengendap-ngendap bagai pencuri. Tetapi ia sudah hapal letak kamar gadis itu. Gadis di dalam kamar, seperti biasa dapat merasakan debar jantungnya berdetak lebih kencang. Kadang ia merasa mendengar degup jantung sendiri. Biasanya pada degup yang keseratus sekian, sebuah ketukan halus pada jendela akan menghipnotisnya untuk mendekat. Menempelkan badan ke jendela. Melekatkan telinga rapat-rapat. Ia tahu jika di luar, lelaki itu sedang menempelkan bibirnya ke jendela pula. Ah, Lelaki itu, setelah mengetuk jendela sepelan mungkin biasanya ia akan menutupi kepalanya dengan kain sarung. Ia menyembunyikan diri dari malam seperti kura-kura yang membenamkan kepala ke dalam cangkang saat ketakutan.
Dalam keheningan malam, di antara gemerisik dedaun kelapa. Di balut dingin yang turun perlahan. Suara lirih sepasang kekasih seakan disesap oleh dinding papan rumah itu.
“Belum tidur, Dik?” bisik si lelaki sambil menghalau nyamuk yang menyerbu kedua kakinya. Sebuah pengantar basa basi yang garing.
Dari dalam kamar, si gadis biasanya akan menjawab, “belum. Adik kan menunggu Abang.”
Begitulah saban malam mereka membuka percakapan. Tentu saja harus berbisik-bisik. Selirih mungkin. 
“Bolehkah aku menciummu?”
“Boleh, Bang.”
Lelaki itu dengan pelan mendekatkan bibirnya ke jendela. Si gadis di dalam kamar juga merapatkan wajahnya  ke jendela.
“Adik, mimpikan Abang dalam tidurmu ya. Kautahu, Abang sangat mencintai kamu. Abang sudah sangat rindu bertemu Adik.”
Di dalam kamarnya, gadis itu diam sejenak. Kau bisa lihat, wajahnya tiba-tiba memerah. Ia berusaha menekan rasa malu di dalam dada.
“Iya, Bang. Adik akan memimpikan Abang. Tetapi  dengan apa Adik dapat mengobati rindu Abang itu sedangkan Adik juga dikungkung rindu yang sama?”
Di luar, sebagaimana biasanya terjadi, lelaki itu akan merasa gemetar tak karuan. Seandainya, ya seandainya ia punya ilmu penembus dinding. Seandainya ia adalah angin yang leluasa menyusup dari celah papan rumah itu.
“Kita lari saja, Dik. Ya, kita lari saja,” begitu bisiknya dari balik jendela. Sama seperti malam-malam sebelumnya.
Pada malam-malam sebelumnya, gadis di dalam kamar akan menjawab begini, “aduh Abang, jangan sekarang. Iya betul Adik ingin sekali bersama Abang, tetapi bla…bla..bla.” Atau begini, “ Ngg… Abang sayang rindu hatiku, Ayah akan marah besar apabila tahu kita mau kawin lari. Kenapa tidak Abang coba saja melamarku kepada Ayah?”
Namun pada malam itu, setelah mendengar permintaan yang sama berulang lagi, gadis itu rupanya memilih untuk diam. Ia akan menjawab, tetapi kali ini ia pikirkan betul jawaban yang tepat untuk lelaki di balik jendela. Setelah mendengar hal yang sama pada malam-malam lalu, sejak itu ia semakin sering merenung. Apa sih bedanya dilamar baik-baik atau kawin lari? Ayahnya sudah pasti tidak akan setuju akan kedua pilihan itu. Bagi Ayahnya, bagaimanapun cara lelaki di balik jendela itu memperistri anak gadisnya maka jawabannya akan tetap sama: tidak setuju. Kini gadis itu kembali berpikir keras, sibuk menganalisa dan menarik berbagai kesimpulan taktis.
“Bagaimana, Adik sayang? Aku siap, bahkan kalau kau mau kita bisa lari malam ini,” tegas si lelaki masih dengan berbisik.
Beberapa hal kautahu kadang akan mendatangkan rasa muak seperti mendapati bahasa digunakan untuk mendesakkan keinginan berkali-kali, tak peduli sudah ditolak berkali-kali pula. Boleh saja mengatasnamakan rindu atau juga cinta, gadis itu akan mau saja diajak untuk melakukan apa pun. Tetapi, ia masih memegang teguh ajaran orangtuanya, agar selalu mempertimbangkan langkah dengan pikiran yang masak. Sebagai perempuan, ajakan untuk menikah merupakan sebuah langkah yang butuh kehati-hatian. Sudah lama ia membayangkan keinginan untuk bisa menjalani ritual perkawinan dengan normal layaknya orang lain. Ia ingin terlihat cantik memakai gaun pengantin dan duduk bersanding di pelaminan pada sebuah pesta yang dihelat untuknya dengan meriah. Kenapa ia tidak bisa seperti gadis lainnya? Kenapa ia kini dihadapkan kepada pilihan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan dahulu?
Kawin lari…
“Adik, Abang masih di sini. Kenapa diam?”
Gadis itu meletakkan kedua telapak tangannya kepada daun jendela. Daging kayu jendela itu ia rasakan begitu kering dan berkerak. Sebelum ia memutuskan untuk mematikan lampu kamarnya, ia masih mencium daun jendela itu dengan lembut. Ia tak ingin menjawab. Semoga lelaki di luar itu bisa memahami gejolak dalam dadanya.
Menyadari lampu kamar tiba-tiba dipadamkan dan pertanyaannya tak kunjung dijawab, lelaki itu terhenyak. Sebuah pukulan kecil refleks melayang ke daun jendela. Tiba-tiba ia bagaikan berada di tempat yang begitu sunyi.
“Maafkan aku, Adik. Maafkan aku. Aih… Janganlah marah. Jangan.. Ah,” bisiknya dengan gelisah.
Dengan demikianlah gadis di dalam kamar mengakhiri. Kegelapan di dalam tak akan menjawab pertanyaan itu. Namun, kegelapan itu mungkin telah memberikan jawaban. Lelaki itu harusnya paham bahasa perempuan walaupun untuk itu ia harus melolosi tulang belulangnya dari tubuh, dari cangkang seperti kura-kura.
Bunyi desing mesin las memenuhi ruang sebuah bengkel. Bengkel itu, jika dilihat dari jauh dipenuhi bunga-bunga api. Bunga-bunga api itu bagaikan kembang api yang acapkali dimainkan oleh anak-anak saban malam bulan puasa.
Sabda sejenak menghentikan aktifitas mengelas besi tadi ketika sebuah getar ritmik ia rasakan meronta di dalam saku celananya. Dari dalam saku itu, sebuah telepon genggam ia keluarkan sambil sebelah tangan membuka topeng wajahnya. Ternyata ada sebuah pesan singkat dikirim dari nomor yang sangat ia kenal.
“Abang, adik tunggu Abang di batas kampung. Kalau Abang mau kita lari, ya hari ini kita minggat. Segera berangkat, jangan biarkan adik menunggu lama.”
Nah, lihatlah sekarang lelaki itu bagaikan hilang akal. Dengan tergesa-gesa, ia kemasi sisa pekerjaannya yang belum tuntas (dan sejak itu tidak akan pernah ia tuntaskan). Dimatikannya mesin las. Dilemparkannya semua peralatan, potongan-potongan besi dan kabel-kabel secara serampangan ke dalam bengkel. Bengkel itu ia tutup dengan tergesa-gesa. Ia tak akan membiarkan perempuan itu menunggu lama.
Di tempat lain, Ami keluar rumah dilepas pandangan amak. Walau demikian ia masih mengharapkan amak mengatakan sesuatu. Amak memiliki hak penuh untuk mengatakan apapun, tetapi perempuan yang di rahimnya Ami pernah menaruh hidup itu hanya tegak diam memegangi tulang pintu dengan pandangan lekat manakala Ami sudah di halaman, melangkah membuka pagar lalu membalikkan badan sekali saja untuk melihat ke belakang. Beberapa langkah sudah ia berjarak dari amak, tetapi tubuh yang sudah menjelang tua usia itu tetap tidak bergeming, tak mengucapkan kalimat apapun.
Harusnya Amak menangis. Mungkin begitu dalam pikiran Ami. Namun, ketika pagar ia tutup, batas halaman dengan jalan sudah diurai, maka yang tinggal di dalam diri Ami hanyalah perkiraan demi perkiraan saja. Apa yang kemudian terjadi di belakang sana, di dalam rumah tempat ia mendapatkan segala hal untuk hidup, besar di antara petuah dan pitutur dengan kasih sayang keluarga, semua semakin tidak terjangkau oleh Ami. Semakin ia melangkah, kini tapak kakinya menjejak jalan aspal, membenamkan kerikil dan debu di permukaan jalan, semakin berjarak dia dengan ikatan apapun di belakang sana.
Ingin rasanya mengatakan jika apa yang terjadi ketika itu, di dalam rumah itu merupakan sebuah perdebatan atau lebih keras lagi sebuah pertengkaran. Ayah murka kepada Ami. Orangtua itu mengusir Ami dari rumah sebab ia telah membela Sabda dan mengancam akan lari saja dengan lelaki itu jika ayahnya tetap teguh melarang hubungan mereka. Namun apa yang terjadi di dalam sebuah rumah, bukanlah sebuah pengetahuan yang harus diketahui umum. Itulah landasan filosofis kenapa sebuah bangunan sebagai tempat aktifitas sosial terkecil manusia harus dibuatkan pagar.
Dahulu, sebuah rumah besar ataupun kecil selalu dibuatkan pagar dari tanam-tanaman. Banyak jenis tanaman pagar dipelihara dan ditanam mengelilingi rumah. Tanaman itu dibebani harapan besar agar bisa menyerap dan menapis apapun kejadian, baik laku dan ucapan di dalam rumah. Tidak boleh sampai melompati batas antara pintu, tangga dan halaman. Dedaunan, bunga-bunga, ranting dan akar akan menyerap semuanya. Ia menjadi pupuk, menyimpan rahasia dan aib-aib itu ke dalam urat tanah.
Langkah Ami semakin cepat. Ia harus segera sampai ke batas kampung berjumpa dengan lelaki itu.
Di dalam kamar sebuah rumah kontrakan di sebuah kota, seorang perempuan mengemasi pakaian ke dalam tas besar. Dibutuhkan kekuatan mata batin untuk menembus raga yang rapuh itu bahwa di kedalaman hatinya berserakan puing-puing atasnama cinta atau sesuatu hal yang serupa dengan itu. Ia tidak menangis lagi sebab bertahun-tahun sudah ia terbiasa menangis.
Bertahun-tahun lampau dengan tekad kuat ia bersedia melawan orangtua dengan memilih lari bersama lelaki yang ia cintai, lelaki yang mengisi segumpal ruang dalam dadanya. Lelaki yang menjanjikan kebahagiaan kepadanya. Lelaki yang ia pilih sebagai suami tanpa menggelar resepsi dengan pelaminan megah sebagaimana pernah ia impikan waktu remaja. Namun setelah bertahun-tahun hidup bersama, perempuan itu mulai menyadari satu hal yang selama ini ia abaikan. Ia sebetulnya tidak pernah mengenal siapa suaminya itu. Lelaki yang ia cintai sampai tulang belulang itu teramat banyak menyimpan berbagai hal sendirian dan enggan membagikan kepada istrinya kecuali satu hal; rasa sakit yang menahun, berulang-ulang.
Perempuan itu mengenang semuanya tanpa dapat menyumpah sedikitpun. Ia mungkin sudah lupa cara menyumpahi diri sendiri.
***


Begitulah kisah bertahun-tahun lampau. Perempuan itu tahu jika pelariannya dengan lelaki seperti kura-kura itu ditanggung oleh amak seorang. Riwayatnya dalam keluarga mungkin saja sudah dihapus. Maka ia semakin merasakan luka. Perih luka itu tersirat selalu. Kini ia benar-benar sedang berusaha mendamaikan rasa sakit yang ditoreh oleh luka itu.
Luka itu dari dalam dadanya. Maka harusnya ia sudah menangis sekarang. Namun perempuan itu sudah sangat bosan untuk menangis. Baiklah, mungkin tak ada salahnya ia menangis. Apa pula susahnya untuk menangis. Sekarang ia sudah memikirkan sebuah tangisan yang paling mustahil sekalipun.
Sekarang perempuan itu berada di dalam sebuah kamar. Kamar tanpa kisi-kisi dengan penyejuk udara yang diatur bersuhu rendah. Dalam sejuknya ruangan itu, apa yang tersimpan di dalam dadanya kini sudah menjelma menjadi hawa panas. Berkali-kali ia tercekat seperti menelan sesuatu. Tak jauh dari tempat tidur, meja rias dengan cermin lebar merekam sosoknya. Pantulan permukaan kaca itu menangkap dengan paripurna seorang perempuan dengan wajah yang memang patut dikasihani. Tarikan demi tarikan urat wajah itu terlihat memelas. Rambutnya kusam dan dua bola mata di dalam rongga kepala itu memerah. Berkali-kali ia menahan gerungan suara yang keluar dari mulutnya dengan cara menggigit bibir dengan keras. Bibir itu kini telah mengucurkan darah pula. Sesekali ia menutup mulutnya yang bergetar ritmik dengan telapak tangan kiri. Bahu itu bergetar menahan ledakan yang tersulut di dalam dada agar tidak menggelegar di dalam rongga kepalanya.
 Namun jangan ada airmata. Jadi, menangislah tanpa airmata.
Derit pintu yang membuka menyadarkannya untuk segera mengemasi bawaan luka itu. Ia tidak boleh terlihat lemah.
Bagi Sabda, tahun-tahun yang berlalu hanyalah deret ukur kegembiraan dan kebahagiaan. Atau mungkin saja ia menganggap ini adalah sebuah kemenangan setelah ia berjuang untuk dapat hidup bersama dengan Ami. Ia katakan itu cinta. Cinta yang memabukkan. Sebab ia cinta katanya lagi, maka pantas ia memiliki. Seutuh-utuhnya. Nyaris tak ada sisa ruang untuk perempuan itu sekedar mencintai dirinya sendiri. Di sudut manapun, jiwa raganya penuh dengan lelaki itu.
Cinta lelaki itu telah mengurung dalam ketiadaan ruang. Bahkan untuk sekedar berbisikpun tidak bercelah lagi. Itu sangat menyiksa. Dahulu di dalam kamarnya, perempuan itu menunggu kedatangan si lelaki mengetuk lemah dinding kamar persis dekat jendela. Ketika itu ia masih punya ruang, masih memiliki kebebasan memilih; membuka jendela atau mendekatkan diri ke dinding. Mematikan lampu kamar pun masih termasuk pilihan juga.
Sekarang beberapa jam sebelum Ami masuk kamar, Sabda telah mengakui kalau ia akan menikahi perempuan lain. Ami melihat sebuah peluang tersibak setelah menunggu sekian lama. Ia memilih untuk pulang ke kamar masa lalunya.[]


*Denni Meilizon, lahir 6 Mei 1983 di Silaping Pasaman Barat. Seorang pembaca dan pecinta buku. Senang mendengarkan musik, diskusi dan traveling. Blogger dan penggemar kopi. Tinggal di Kota Padang.
  

Dimuat pertamakali oleh SKH SINGGALANG, edisi Ahad 28 Oktober 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.