Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Kritikus


IG: dennimeilizon

foto ilustrasi disediakan google.com
TIDAK semua puisi yang lahir dapat dibaca dengan baik sesuai maksud Penyair tanpa didahului dengan kehadiran seorang Kritikus Sastra yang bekerja membedah, menguliti dan menguji daya banting karya sastra yang lahir itu.

Puisi berfungsi juga sebagai wahana untuk melenyapkan yang terlihat demi mengungkap yang tidak terlihat. Dari hakiki menjadi metaforis. Namun, menurut pendapat Adonis (penyair Arab kontemporer)  puisi yang terbaik adalah puisi yang kata-katanya sejajar dengan maknanya, tidak membutuhkan metafora. Dalam tulisan ini kali ini, kita tidak akan sependapat begitu saja dengan Adonis itu. Tetapi mari kita bersepakat dahulu bahwa puisi adalah soal rasa. Sebagai contoh: membandingkan rasa pada puisi Pablo Neruda dengan puisi Adonis misalnya, seolah-olah membandingkan nasi gudeg dengan nasi kapau. Berlainan rasanya, mungkin sama penyajiannya, serta jelas berlainan pula sensasi yang diperoleh saat menikmatinya, terutama ketika pertama kali memakannya walaupun kesimpulan akhirnya sama saja; sama-sama masuk ke dalam pencernaan kita dan menjadi ampas berupa kotoran yang dibuang pagi hari ke dalam kakus.

Puisi-puisi yang dilahirkan seorang penyair Arab mungkin saja secara umum dirasakan miskin metafora. Bandingkan dengan puisi-puisi kaya metafor yang ditulis seorang penyair Chile. Puisi Deddy Arsya misalnya, tak akan dapat digunakan untuk merayu gadis perawan untuk mau diajak ke kantor urusan agama. Sedangkan puisi-puisi Pablo Neruda yang merayakan kemolekan cinta, api asmara, bunga-bunga yang terbang di udara, ombak laut dengan kapal layar di samudera merupakan pilihan jitu untuk tampil romantis di hadapan gadis pujaan. Mengacu kepada pendapat Adonis soal puisi yang terbaik di atas, apakah puisi yang ditulis Pablo Neruda kita sebut pula sebagai puisi-puisi jelek? Tidak. Jangan keliru menarik kesimpulan. Bagaimana mungkin puisi – puisi yang telah mengangkat gairah dan semangat sebuah bangsa yang ditindas dan diamuk perang lalu kita katakan jelek hanya karena Adonis, penyair Arab yang tidak pernah merasakan luka dan pedihnya peperangan itu mengatakan puisi yang terbaik tidak membutuhkan metafora?

Jika demikian adakah puisi jelek itu? Siapa yang berwenang untuk menjelekkan atau membaikkan puisi-puisi? Jawaban pertanyaan pertama harusnya dijawab oleh jawaban pertanyaan kedua. Kritikus sastralah yang berwenang untuk menilai sebuah puisi sebagai karya yang lahir dari kandungan kesusastraan. Malangnya kita hari ini, kritikus sastra itu betul yang ada dan tiada. Dia ada, ada muncul satu-satu, seseorang atau seorang diri dan ketika ia lantang menuliskan hasil pembedahan sebuah puisi di hadapan mata khalayak ramai, tak sedikit penyair baik yang masih menulis puisi ataupun yang sudah pensiun menulis puisi melenguhkan hujatan dan berikut ujaran mengerikan lainnya. Orang sastra dengan tumpukan buku-buku bermutu di dalam kamar atau ruang kerjanya dengan gampang mengucapkan bahasa yang bahkan biasa kita jumpai di terminal, rumah bordir dan di pasar-pasar rakyat kebanyakan, bahasa yang harusnya hanya terkurung di dalam teks dengan narasi tertulis, dicabut dan dilisankan dengan megah oleh mereka penjaga bahasa ini hanya untuk membantai api kekritisan kritikus yang seorang diri. Kritikus membantai puisi dan penyair membantai kritikus di tengah sebuah zaman yang secara kuantitas telah memenangkan penyair sekaligus mengalahkan kritikus sastra. Penyair ramai sekali bermunculan dan sahut-sahutan dari antologi ke antologi, dari panggung ke panggung, dari kedai kopi ke kedai kopi sementara Kritikus menyuruk diam, ada yang bergabung pula dalam antologi dan di kedai kopi. Beberapa ada yang naik panggung, sementara tentu saja banyak yang demam panggung, tak berani tampil di atas panggung walaupun beberapa Kritikus sastra (mantan kritikus sastra, tepatnya) ada juga yang didaulat menjadi juri lomba membaca atau deklamasi puisi, biarpun ia sendiri tak sampai hati membacakan puisi di atas panggung. Yang mengerikan sebenarnya adalah kemungkinan bahwa Kritikus sastra telah membuat semacam “kredo baru” bahwa puncak kritik itu adalah diam. Diamnya Kritikus adalah diam yang mengancam segenap kelangsungan akal pikiran manusia. Atau ini yang terjadi kemudian, diam Kritikus adalah diam yang menimbulkan kelucuan baru ketika Penyair dengan “terpaksa” berlagak menjadi Kritikus sastra pula. Penyair pula yang menilai: menjelek-jelekkan dan atau membaik-baikkan puisi. Apa jadinya jika dalam satu dapur seorang koki mengkritik masakan koki lainnya? Apakah yang terjadi jika  seorang ibu dikritik oleh ibu lainnya dengan mengatai anak si ibu jelek, bau dan bodoh? Bayangkan saja sendiri apa kejadiannya.

Maka sekali lagi, Penyair pun mencoba menjadi Kritikus Sastra. Banyak yang mendapati dirinya ternyata lebih berbakat sebagai seorang essais daripada penulis puisi. Adonis contohnya, essai-essainya sangat bagus dan penuh gizi. Jika telah larut dalam narasi yang ia paparkan dalam tiap essainya, lupa kita kalau ia juga menulis puisi. Saya tak tahu apakah setelah menulis essai, Adonis masih rajin dan produktif menulis puisi sebagaimana banyak kita ketahui Penyair yang essais juga Kritikus dalam satu waktu. Hanya dalam dunia kepenyairanlah terjadi keganjilan ini, yang jarang terjadi di dunia prosa. Adakah Novelis yang mengkritik karya Novelis lain? Adakah cerpenis yang mengkritik cerpen rekan cerpenisnya? Yang terjadi adalah essai dibalas dengan essai, menjadi polemik yang mana ibarat tarung tinju, bakal dengan senang dan gembira kerumunan khalayak menyediakan ruang “ring” atau mencoba ikut serta jika ada celah, mencoba menjadi pendamai jika merasa bijak. Dan izinkan saya buat pernyataan dalam tulisan ini bahwa polemik yang baik adalah polemik yang tak disimpulkan. Polemik tidak boleh diselesaikan walaupun mungkin dapat didamaikan. Selesainya sebuah polemik justru merupakan kemandekan dialektika dan pengayaan akal pikiran. Tanpa dialektika dan tanpa stimulus pikiran maka khatam pula dunia kreatif, alamat matinya peradaban. Sia-sia pemerintah menggadang-gadangkan kebudayaan sebagai platform ke-Indonesiaan kita kalau begitu. Maka biarkan polemik menjadi batang tubuh yang padanya akal sehat dirayakan dan dihidupkan.  

Kritik seorang penyair adalah melalui puisinya. Kritik seorang Novelis adalah melalui novelnya. Kritik seorang cerpenis adalah melalui cerita pendeknya dan kritik seorang essais tentu saja melalui essai. Jika penyair, novelis dan cerpenis meminati ruang kritik juga, maka ia harus menjadi seorang essais dulu dengan syarat ia sudah mampu menulis karya yang baik dan lebih bagus dari karya orang lain yang bakal dikritiknya. Kalau belum, alangkah lebih tepatnya jika yang kita maksudkan sebagai “kritik” itu kita sebut sebagai “apresiasi” saja. Seorang penyair mengapresiasi karya penyair lainnya. Kata apresiasi menunjukkan posisi setara dan menyimbolkan kerendahatian. Sementara waktu ketika Kritikus sastra kita memilih diam, bolehlah kita perbanyak ruang untuk apresiasi itu. Manatahu, dari pembiasaan berupa upaya meluangkan waktu untuk saling menuliskan apresiasi dalam bentuk essai demikian, bisa pula meningkatkan derajat puisi kita sendiri. Mari membaca dan menelaah karya puisi orang lain sekaligus untuk mengevaluasi karya sendiri. Dan jika merasa sudah cukup punya ilmu serta sudah berhasil melahirkan puisi yang lebih baik, bermutu dan lebih nyastra segeralah isi kekosongan Kritikus sastra yang diam itu dan kau bisa memilih untuk berhenti menulis puisi.

Sebagai seorang penjaga bahasa dikarenakan status kepenyairanmu sebelumnya, dalam menulis kritik sastra disarankan untuk tidak latah mengumbar istilah asing serta bahasa alien yang berlindung dalam cangkang akademik, tetapi mudahkanlah orang untuk mencerna dengan cara menghadirkan istilah sepadan dalam bahasa Indonesia. Percayalah, jika kau ngotot untuk tetap memakai istilah asing itu buat konsumsi pembaca yang budiman yang tidak semuanya berlatar akademis, itu malah akan membuatmu menjadi sosok yang berjarak, tidak mencerahkan dan bakal dihindari. Tujuan Kritikus sastra untuk mengantarkan sebuah karya sastra agar dapat dipahami khalayak pembaca umum tentunya tidak tercapai lagi. Jika tidak tercapai, maka gagallah kau yang tadinya penyair lalu menjadi kritikus itu. Jika kau telah berhenti menulis puisi dan kini kau gagal pula sebagai kritikus sastra, lalu kau mau jadi apa sekarang? Jadi motivatorkah? Atau tukang sorak di media sosial?

Buku-buku baru terus saja lahir dan diterbitkan. Masih juga pengarang dan penyair mengisi ruang sastra dan budaya di suratkabar. Buku-buku dan pemuatan karya di suratkabar ditanggapi sunyi dan jarang terdengar dirayakan di ruang diskusi pemikiran. Gugupnya gairah di ruang kritik kian mencemaskan. Kritik karya kini mungkin hanya hidup dalam batas pertemanan saja. Sesama teman mencoba untuk mengkritik. Objektifkah? Kita curiga bahwa yang malah terbangun adalah pendapat yang subjektif. Pura-pura mengkritik padahal di meja kopi sudah saling kedip-kedip mata. Bagaimana karya dapat disebut buah kejujuran jika untuk membesarkannya dimulai dengan main mata? Membedahnya dengan main mata dan ketika dalam sayembarapun boleh jadi ada main-main mata pula.

Kritikus sastra masih sangat begitu penting untuk tetap sehatnya kerja produktif kesusastraan Indonesia. Seseorang yang kepadanya berpulang kejujuran berkarya dan proses kreatif seseorang yang “mungkin” berapi-api.

                                                                                                 Jogjakarta, 13 Desember 2018 
Dimuat ulang dari kolom essai BUDAYA HALUAN,
Harian Umum Haluan edisi Minggu 16 Desember 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.