Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

ARHOIBA

sumber ilustrasi : http://www.catherinelarose.blogspot.com
Luka Dalam Bibir Ababil

Marilah kejar bintang-bintang itu. Bukan pada malam ini saja,
duduklah diam patuki detak jarum jam. Bukan pada malam ini saja,
tunduklah Arhoiba, kau bunga mekar di atas rerumputan basah
Rumput yang berbicara memacari cemara di tubir penggal detik yang
ditebas jarum jam itu.


Arhoiba, kau luka yang diserahkan ke dalam bibir Ababil
Mimpimu habis dikunyah semesta ketika di gerbang Arkana kau
susun puluhan singgasana mengajak raja-raja untuk mengejar bintang
bintang. Ababil bisu, melegam dibakar raganya sendiri. Tiap kepakannya bergema sahut menyahut namamu. Maka di sana muncul dari ayakan pasir yang dimuntahkan Versimell -gunung itu- perkenalkan bintang pertamamu, merajah diri dengan nama, sebut saja Washeya.
Oo, luka berambut indah yang memeluk gunung-gunung. Oo, pembawa telaga bersusun tiga dalam genangan di atas pasir Versimell!

Washeya, bintang pertama itu. Kau dongeng tidur yang prasasti menggantung dalam tembok Arkana. Dunia yang bernama bayang-bayang. Tiap jengkalnya mengalir keangkuhan perang. Untukmu Arhoiba, Versimell sedia menyingkap pepasir dua juta tahun yang membenamkan dongeng ke dalam botol mitologi purba.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki dalam gigitan Ababil semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

“Bukan kau kiranya, Washeya. Mimpiku masih menari, mengelupasi dinding
gerbang ini, menyusun kembali singgasana raja-raja yang rela mati
mengejar bintang-bintang lain bersamaku”.

Safa Marwa, Desember 2013


Di Gerbang Arkana

Arhoiba menata tatakan gelas para raja. Deru puing puncak Versimell memanggil kawanan badai, mengelus angin lalu menyimbah hantam gerbang Arkana, tempat Arhoiba menyusun singgasana raja-raja yang berkhidmat kepadanya. Oo prahara, detik jam mengiris tajam. Tatakan gelas berhamburan menjadi bulu. Bulu menjelma menjadi api. Api membakar dalam lautan. Istana terpanggang.
Arhoiba, pilu menanti datangnya bintang kedua, Washmina.

Washmina, bintang air. Dulu gencar mengibaskan selendang dalam salju. Arkana berbalut basah, sejuk berdesir. Gerbang membiru memagut rembulan bersama singgasana. Washmina dahulu kala, sejak Arhoiba menggoda para raja. Menghujam ke dalam bebatuan. Menyeret desir, rembulan dan warna biru. Lenyap sejuk, basah air. Arhoiba menangis.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

Gemuruh langit membilas Arkana, padang pasir, prasasti-prasasti. Derak tanah rengkah, badai prahara melenguh.

Di hadapan singgasana, di atas puing gerbang Arkana. Arhoiba merapalkan doa. Selendang jingga mengibas udara yang merah.

Washmina! menyingkaplah!


Safa Marwa, Januari 2014



Daulat Washmina

Gugur angin meracau petala. Sinar-sinar berkilauan keras menusuk tiang pancang istana. Istana Arkana yang memuing gosong dan berasap. Sebongkah isi perut Versimell yang dimuntahkannya dengan beringas perkasa pongah menanti nyanyian pepasir menyingkap ribuan desing suara, hembuskan petaka menusuk Arhoiba ketika selendang kebesarannya menjamah udara.
Arhoiba, bunga mekar perindu rerumputan di taman istana Arkana.

Ibu Agung para pangeran dan putri. Yang diwariskan para raja ke dalam rahimnya. Daulat Arkana.
Di Gerbang Arkana, singgasana para raja bergetar. Tanah semburat, tercabut dari gelanggang yang berdentang mengadu urat-urat pasak dalam bumi. Berdesak-desakan membaca prahara. Arhoiba menggigil, selendang jingga itu tergolek di tanah, terkapar.

Bebatuan rengkah. Washmina!

Menyingkaplah!

Dari timur pekik udara mengirim anyir. Perang berkelebatan seperti kumparan yang mengirim ketakutan yang lebih dalam.

“Arhoiba! Kau dihukum! Kau prahara bumi dan langit!”.
“Arhoiba! Kau bunuh raja-raja!”.
“Arhoiba! Kau bunuh anakmu sendiri!”.
“Arhoiba! Kau penjarakan bintang-bintang!
“Arhoiba! Kau hancurkan Arkana!”.

Arhoiba lekat mematung. Tubuhnya tersingkap. Anyir perang, geger suara letusan Versimell dan gema kutukan memeluknya ketat.

“Washmina, Aku yang menghidupkanmu!”
“Washmina, Aku yang memanggilmu!”

“Kau butuh Washeya, Arhoiba!

bukan aku!”
“Bintang yang mengunjungimu di awal kehidupanmu. Yang kau kurung di dalam perut Versimell -gunung itu-”.
“Ohh, iba nasibmu, Ibu Agung! Suri para raja Arkana!”
“Negerimu di amuk bintangmu sendiri…!”

Washmina, bintang biru berkilau itu. Dingin kulitnya. Sejuk matanya. Mengirimkan api ke dalam rahim Arhoiba.

Arhoiba diam, terbakar jerit pilu. Ibu Agung Arkana, penguasa singgasana para raja, penjaga gerbang Arkana, mati.

Arkana mati. Washmina hidup.

Washeya masih menggerung murka di dalam perut Versimell.
Mematai Washmina yang mendaulat diri.

Januari, 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.