Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

PUISI-PUISI DENNI MEILIZON YANG DIMUAT KORAN HALUAN EDISI 29 DESEMBER 2013




HIKAYAT SEBUAH RUMAH (2)

Habis tiang kediaman ini
Dimamah keropos dikhianati pemiliknya
Di
sana sini kengerian yang tampak
Kayu - kayu menghembuskan aroma rapuh
Menunggu rubuh

Binasalah keinginan, habislah main kita
Rumah sudah reyot, rapuh pula luar dalam
Tak minat bertanam bakung sebab bilik bambu itu tak ada
Beranda habis cerita
Tinggal jejak dalam dongeng ketika dibacakan tiap 5 tahunan

Rumah kita rumah berhikayat
Menyisakan pongah dalam alur cerita berseri
Biasanya dipugar tiap menjelang pilihan raya
Tapi tidak untuk tahun ini
Sebab pemiliknya sudah beralih kunci
Tadi manusia sekarang tikus sansai.

2013




SWARNABHUMI, OH

Udara pekat, berjelaga
Urung langit muntah gulana
Sesering igau dalam tidurmu
Bumi orang Muang, ranahku terpisah lautan dalam
Sesepi ini
Dalam ramai yang berkenaan
Apa kabar separas bunga
Aku masih berkabar
Dalam angin dan mentari
Esok.

Raut itu dalam tasbih malam
Ini tersingkap lelana kelana
Di
langit bintang menghisap wajahmu
Pada tabir malam mengetuk mimpi lautan
Di bumi orang Muang, antara ranahku terpisah lautan dalam
Esok menukik kita
Kemudian bertahmid kembali
Di
daratan ibu pertiwi
Tempat kita berkalang tanah
Menautkan hidup senapas anak dan bini

Udara pekat, berjelaga
Aku mengetuk dinding mimpi
lalu menyeduhnya bersama segelas doa
Pada taut rindu yang gigil.

Februari 2013




PUZZLE

Menepi, menepi kita menepi
Sesepi, sesepi resapi diri

Berhenti, berhenti maki caci
Semedi, semedi diri renungi

Meniti, setiti titik menitik
Cemeti, cemeti diri sendiri

Selidik, selidik kerdilnya pikir
Merintih, serintih lirih dilirik
Mewanti, wanti wanti duhai hati hati

Telisik, selisik isinya hati
Mengerti, mengerti arti arti diselami

Mencari, mencari secarik urai
Segaris, segaris dan segaris
Sampai, sesampai mati

Mari menyusun,
Mari menghitung.

Mari menimbang,
Mari mari mari.

2013

JELATALAH KITA

Jelatalah kita
Yang berkurung lingkar di
nista
Dipertontonkan terik matahari gemah ripah
Sayur mayur yang jelata
Diperebutkan para raksasa


Ini hari, jelata menguap
Melebur ditiup badai di kerontang kering
Diremas dalam angka-angka doktrinisasi
Lalu diperabukan
pada senja kala
Ketika podium kehilangan wibawa


Jelatalah kita
Yang berkurung dalam litak hidup mendera
Berbau gosong dalam tangis matahari melepuh
Lalu gelepar ditebas samurai para raksasa


Inilah kita
Terasing di negeri sendiri
Disuapi para raksasa
Tangan kanannya di mulut kita
Tangan kirinya mengeruk batok kepala kita.


Jelatalah kita.


2013



HARI-HARI KITA

Hari-hari kita
Berhujan berpanas
Basah sepantaran hela
Pun panas merekah regang


Di buritan, camar berlenggok rupa
Mengatai hari-hari kita
Berhujan berpanas
Melelehkan cairan dua lobang hidung
Menyesakkan dada dalam bunyi pada tenggorokan
Merekah meregang
Menghela raga ke atas dipan


Hari-hari kita
Hari yang sakit
Hari yang hujan
Hari yang panas


Di buritan, camar mengepak mengambil ancang-ancang
Dalam sekali hentak beraura syahdu
Dia menembakkan cairan berbau
Tepat mengenai ubun hari-hari kita.


2013




MURAL

Mural mural di tepi jalanan
Pekik diam mengeja nama
Maka, ini siang menggerung marah
Ingin pintal itu mural, mengencingi mulut retorika
Yang dihabiskan dalam sekardus mie instan
Dua liter beras dan sekarung dusta di
bawah terang mentari

Pesing sudah janji
Sambil mengutuki camar yang berak di ubun ubun
Ya ! di ubun ubun para tikus yang asyik menyetubuhi waktu
Adakah kau lihat, kau raba, kau amati? Mmh !!!

Mural mural itu bicara sunyi
Tentang sebuah kuasa di tangan diam

Ada bait membubung
Dalam sapuan geram
Ketika seekor anjing menatapi mural kita
Lalu kurang ajar mengangkang satu kaki, dan kencing diatasnya.

2013



http://issuu.com/haluan/docs/hln291213

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.