Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Puisi-Puisi yang diterbitkan HARIAN HALUAN PADANG, Minggu 30 Agustus 2015


Sumber gambar: Harian Haluan, 30 Agustus 2015

DENNI MEILIZON



DAGING APEL

Ke dalam cinta bersama cahaya pagi
Dari kaki hingga rambutmu
Hanyut perjalanan badai-badai
Anyelir malam sungai gandum
Oh, bendera di jalanan sempit
Belajar kesucian sampai terjadilah
Tumbuh benih tinggi dalam dirimu
Satu madu oleh dua tubuh


Sebentuk tubuh dari roti
Adonan mawar campuran bulir gandum
Petir-petir yang berhamburan
Membawa angin roh kekekalan alit
Dalam bayang temaram sinar

Lahirlah bersama pagi

Musim panen di perut bumi
Oh, roti. Oh, daging apel
Wajahmu, dahimu, kakimu
Mulutmu, darahmu.

2015



KULIT MALAM

Buatkanlah  aku sebuah roti
Dan satu rembulan akan gugur di rerumputan
Tanda kita sepasang kekasih yang bahagia
Dengan segala kebenaran yang mungkin
Tanpa suatu akhir, tanpa kematian

Esok akan datang
Dengan jejak-jejaknya udara dan anggur
Tanda kita sepasang kekasih yang bahagia
Dengan kulit malam yang suwung di ranjangnya
Menghentikan sungai fajar pada waktu

Tak seorangpun mereka yang lahir
Lalu mereka mati berkali-kali
Seperti kita sepasang kekasih yang bahagia
Hanya menunggu  datang hari ini
Ketika hari kemarin luruh remuk
Di antara cahaya melangit dan angkasa kelam.

2015


KEMBANG KACA PIRING

Apakah sekedar berlayar dan terbang
Bagaikan serbuksari merantau dari jauh
Dan mendarat, berlabuh sampai berlari
Tanpa luka atau nyeri yang memucat
Udara dan aku bisa saja menembus
Lahan-lahan yang rusak sementara

Di mana padi tak bisa tua
Di mana garam tak bisa ditambak
Di mana panorama dedaunan
Sebuah topeng kosong yang disangka
Sangkar kuat kembang kaca piring

Sebuah dataran, sebuah planet
Yang akar-akarnya disirami air mata
Persembahan cinta dari kota-kota
Yang gila dalam kuasa
Tirani fakir tanpa sepatu.

2015


KEDOK WAJAH

Ketakutan yang kian menyala
Membawa pisau bersembunyi di sebalik
Kain tubuh berwarna corak bungarampai
Yang selama bertahun-tahun menimang
Dan begitu mahir menelan kesumat

Sekali, tidak apa tak tahu
Apa bedanya wajah pecinta
Dengan kedok wajah bajan dan kuali
Asalkan cermin tak bisa kau belah
Darah juga hendak kau pecah
Apalagi ketakutan sudah dijunjung lidah

Berani kau dengan pelan
Teteskan ketakutan yang majal itu
Dari leher hingga ke jalanan.

2015


JUBAH PUISI

Maafkan aku, aku belum mencintaimu
Aku belum bisa berkawan hujan
Tanpa dengan menyembunyikan
Gergaji, bedil, seterika, dan kapak
Dalam jubah puisi yang barangkali bagimu
Akan sangat terasa asing dan bau
Sehingga kau lebih suka
Dalam hujan deras mengajakku singgah
Ke dalam toko mainan untuk memilah
Tetap menjadi orang dewasa atau kita
Tanggalkan baju untuk menjadi anak-anak lagi

Maafkan aku, aku belum mencintaimu
Aku belum bisa menjinakkan bulan
Tanpa dengan membaluri tubuh puisi dengan
Rajangan bawang, cabai, buah kemiri
Adas, seledri dan mengasami matanya
Untuk sekedar bisa memahami dirimu

Maafkan aku, aku belum mencintaimu
Aku belum bisa membuatkan payung kertas
Dan bunga-bunga warna warni untukmu
Tanpa masuk ke dalam puisi, melubangi
Tiap katanya yang barangkali akan
Mendekatkanku kepada mautku sendiri .

Maafkan aku.

2015



UJUNG SEPATU

Aku mencurigai mulutmu itu
Ketika di bawah sorot lampu kauseret aku
Menyadap madu tangkaran bola mata
Ketika kau hunus pisau tiba-tiba
Dari ujung sepatumu yang kupuja

Lambungmu penuh karangan bunga
Dan kaukira telingaku telah dicuci
Dengan air danau buah tepuk tangan
Yang kautampung dari jirih pujian
Bilah-bilah jemari penari

Baiklah, akan kuhapal khazanah lagu
Sebab mulutmu menatapku selalu
Membuat kecurigaanku semakin bertemu
Nanti, disepanjang waktu
Aku akan mengingat bahwa dulu
Di bawah sorot lampu kau
Menusukku dengan pisau ujung sepatu.

2015


MATA MUSIM GUGUR

Sepasang matamu api unggun
Ketakjuban dari langit sebuah kapal
Ladang dari bukit-bukit
Tanaman merambat dan musim gugur
Yang jauh berjatuhan membikin kenangan
Daun-daun kering damai dan lamban

Kepadanya sinyal-sinyal merah
Dalam nyala api yang paling berkobar
Memajang bara kerinduan mendalam
Singgah ke arah samudera
Penaka lautan gemuruh jaring-jaring
Berputar bagai lelaki yang tenggelam

Sepasang matamu api senja
Kepadanya kesedihanku melintasi
Suara pertarungan dari asap dan kolam
Yang hening membelit air jiwa

Ibarat sebuah rumah
Persinggahan kita membangun
Menara yang lengan-lengannya berputar
Kepadanyalah semua persandaran
Serta ciuman-ciuman bara bahagia
Berjatuhan terbakar dahaga.

2015



PINTU PADANG
manalah pula kau suka
kentang garing margarin asin
ludahkan merica pedas panas
ketimun menyerong di kebun wortel
selada tumbuh di tepi cawan
engkau kutunggu di simpang kinol
ketika larut membuatku cair
terkenangku pun apalah guna.
ilalang tumbuh di tepi kubur
bebatuan diasah tuan mak itam
tumbuhlah tubuh daging
pintu padang halaman batahan
berbatas bukan pada dinding
masuklah kau dalam bayang
kalau kau sayang jadilah sungai
kalau kau cinta jadilah angin
sampai ke liang kubur
sampai terputus janji.
2015


SILAING ROKEK

Jalan diliuk liatnya tanah
dedaun melambai dimakan angin
pakis menari menyibak sisa embun
butir serbuksari terasa manis
hiasan rambutmu menyentuh bebatuan
batahan mengalir di sela laing

tanjakan jalan mana kita daki
adakah kau bawa bau tanah itu
bergumullah bekal nasi berlauk ikan asin
yang di awasi separang besar harapan
panen dituai di awal musim

buah-buah para sudah jatuh
menanam kehidupan
 gula manis airmata
tapi tubuh getahnya memberi napas kebun sawit
tanah huma sudah membenihkan hidup
terjallah lembah dalam gaung suara
memerciklah batahan, mengaumlah harimau
berdesislah jalanan yang kelok berkelok
bunian masih menempelkan kehidupan
sejengkal tanah silaing rokek
kita timbang ketika malam menjelang.


2015


DI PERUT FANTASI

Lebuh dan hujan serangkai mengalungi
Biji mata dan anak baji mengikisi lidah
Di perut fantasi reremah halal menjilat najis
Najis yang dipanen sepanjang hujan,
sejauh lebuh

Kuda sati dan delman engku kari
Naik ke atas lebuh bermain hujan
Bermain biji mata dan anak baji,
perang-perangan menjilati hujan
Di perut fantasi kuda kepang, kuda bendi
Dan kuda birahi memeramkan para serdadu
Memanen najis sejauh lebuh.

Aduh, tenanglah!
Sungai-sungai dibentangkan
Rumbai-rumbai dilambaikan
Biji mata dan anak baji perang tanding
Di perut fantasi menjadi najis
Kuda dan serdadu mati bergelung
Sepanjang hujan
Sejauh lebuh. 

2014




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.