Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

BUKAN TELUR ANGSA



Harian PosmetroJambi, Minggu 23 Agustus 2015
Oleh: Denni Meilizon

PASAR kami ini bukanlah pasar biasa. Ada sebuah kisah yang dahulu bermuasal dari sini. Kisah tentang si pedagang telur. Entah sudah berapa kali diceritakan orang. Dipergunjingkan dari mulut ke mulut. Entah sudah sampai di mana kisahnya terbawa angin. Apakah kau belum pernah mendengar ceritanya?
Kalau kau bersedia mendengarkan kisahnya, tentu dengan senang hati akan kuceritakan kepadamu. Marilah kita masuki pasar ini. Aku akan bercerita kepadamu sambil berjalan. Bukankah katamu tadi kauingin menengok pasar kami ini lebih dalam, maksudku apa kau tidak tertarik untuk menawar dagangan yang dijaja oleh orang-orang di pasar ini?
***

Telah sampai kepada kita bahwa dahulu ada seorang pedagang telur berjaja di pasar ini. Saat itu pasar ini masih becek, kotor, amis dan lazim dikepung aneka rupa bebauan entah apa saja. Kadang terpiuh aroma bawang goreng. Lain waktu tercium bau ampas kelapa busuk. Bau sayuran busuk. Acapkali bau bangkai perut ikan dan jeroan sapi. Akan tetapi tidak ada yang merasa terganggu oleh bebauan ini. Orang-orang menganggap biasa saja. Namanya juga pasar. Kalau tidak begitu bukan pasar namanya.
Pedagang telur tersebut bernama Sawir. Istrinya bernama Rosidah. Mereka dikaruniai empat orang anak.
Suatu ketika, datanglah orang-orang dari kota membawa ikan-ikan segar yang sangat banyak. Ikan yang dikeluarkan dari kotak-kotak besar berwarna pinang masak. Orang-orang pun bergembira sebab mereka bisa makan ikan setiap hari. Apalagi ikan-ikan itu dijual dengan harga sangat murah. Saking murahnya, semiskin-miskin orang kala itu sanggup membeli ikan. Setiap hari ikan-ikan didatangkan memenuhi pasar ini. Orang-orang semakin riang gembira.
Sejak ikan-ikan membanjiri pasar, nasib nahas pun menimpa Sawir si Pedagang Telur. Sudah beberapa hari tak seorang pun pembeli datang menawar dagangannya. Setiap hari ia pulang dengan tangan hampa. Dagangannya tak laku. Telur yang dijaja ketika pagi, begitu pula bentuk dan susunannya saat petang datang. Sebutir pun tak berkurang. Sawir mulai cemas. Berkali-kali ia menatap nanar hiruk pikuk di dalam pasar. Berkali-kali pula ia menatap kosong telur-telur dihadapannya.
Malangnya, tak seorang pun yang tahu kegamangan yang melanda Sawir. Ia telah tenggelam begitu saja dalam hiruk pikuk pasar. Tersisih di antara tumpukan dagangan pedagang lain yang beralih tangan silih berganti. Mungkin, ia sudah mengeluhkan kesah kepada istrinya. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu persis tentang itu. Bisa jadi memang sudah, sebab bukankah hal yang biasa seorang suami mengadukan gundah hati kepada istri?
Beberapa hari ia mencoba menegarkan hati untuk terus menggelar dagangan. Tetap saja telur-telur itu tidak laku barang sebutir pun. Hiruk pikuk menyatu ke dalam air comberan yang menggenangi saluran pembuangan limbah kotoran ayam dan perut ikan. Suasana yang kian mengasingkan Sawir si Pedagang Telur.
Hingga pada suatu hari.
***
Kita berhenti sejenak di sini. Kautahu, disudut itulah semua kejadian dalam kisah ini terjadi. Ayolah kita ke sana. Sayangnya seperti yang kaulihat sekarang, sudut ini sudah dilapisi marmer. Pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah benar-benar mengubah wujud pasar ini.
Salah satu alasan revitalisasi pasar dipercepat pemerintah karena kisah si Sawir. Orang-orang takut datang ke pasar. Mereka takut melewati sudut ini. Mereka tak mau mengalami hal serupa seperti yang dialami si pedagang telur.
            Saat itu pasar ini masih becek dan kotor. Bau amis, bangkai dan bawang goreng masih sering menyesap udara. Hiruk pikuk ditabuh riak malas air comberan bekas limbah perut ikan dan deterjen cucian piring. Hari itu Sawir menghisap semuanya: pasar yang memuakkan, hari yang menjengkelkan. Orang-orang yang tidak punya perasaan, telur-telur yang membawa sial. Ia mulai mengajak angin untuk tertawa. Angin lembut dan sepoi singgah sebentar, hanya sekilas meriapkan debu lalu pergi begitu saja. Habis akal, ia menatap empat butir telur angsa di atas tatakan.
            Empat butir telur angsa itu putih bersih (bersih untuk telur tentu masih ada sedikit noda tipis taik ayam yang kadang bisa kita imajinasikan bentuk-bentuk motifnya), bulat oval laiknya telur dan –tentu saja- besar. Telur angsa itu sangat besar. Apalagi kalau kita bandingkan dengan ratusan telur ayam negeri ditambah puluhan telur ayam kampung yang disusun di atas meja keropos, medan perang bagi Sawir untuk menjaja dagangannya. Meja tempat ia menggantungkan harapan. Harapan yang perlahan menguap. Rasa yang ia coba bagi dengan empat butir telur angsa di hadapannya. Kenapa pula sampai ia memilih telur angsa, tak ada yang tahu. Mungkin saja karena telur angsa lebih besar dibandingkan telur ayam. Bukankah kita lebih percaya kepada sesuatu yang besar dibandingkan kepada hal yang menurut kita lebih kecil dan tak layak untuk diberikan kepercayaan?
            Tatapan mata Sawir dibalas tatapan iba telur-telur itu. Aroma bawang goreng entah mengapa semakin kuat memilin perut menjadi lapar. Apalagi siang sudah tegak  benar. Sawir berang! Matanya mengilatkan cahaya aneh. Ia tak peduli lagi dengan pasar ini. Ia tak peduli lagi dengan pembeli yang tak datang-datang membeli dagangannya.
“Orang-orang tak butuh pedagang telur, orang-orang sudah tidak makan telur lagi sekarang,” bisiknya. Ia mengulangi kalimat itu. Lagi dan lagi. Hentakan kalimat itu semakin cepat, diiringi anggukan kepala. Lalu ia memeluk kedua lututnya dengan erat. Sawir mengulangi kalimat itu. Dengan mendesis. Urat lehernya menegang.
 “Orang-orang tak butuh pedagang telur, orang-orang sudah tidak makan telur.”
            Hatinya begitu gundah. Perasaannya pedih tercabik. Ia Ingat uang sekolah anak-anak, Ingat persediaan beras yang menipis. Terlintas wajah istri dan anak-anaknya. Ia ingat tauke telur langganannya, ingat hutang-hutang dagang yang belum dilunasinya. 
            Konon dalam cerita yang kita dengar dikisahkan bahwa manakala Sawir dalam keadaan gundah gulana demikian, salah sebuah telur angsa mencoba mengajak Sawir berbincang. Telur itu menyapa.Ketika itu terjadi, angin pun datang bersiur. Dedaun rumbia tua lumutan yang menjadi atap pondok riuh gemerisik. Hiruk pikuk lenyap. Hening sekali.
“Jangan sedih, Tuan.”
Sawir tersentak. Walaupun sedang bermenung mengutuki nasib diri, rupanya telinga Sawir masih awas. Seketika ia mendongak lalu menoleh ke kiri dan kanan lalu ke belakang. Sejurus kemudian bulu kuduknya pun meremang.
“Aku mendengar suara,” bisiknya lirih. “Aku mendengar suara. Ya, suara! Tapi siapa?”  
Sawir menggigil. Ia mengacak-acak rambutnya yang meranggas. Ia menarik kain pengikat kepalanya. Ia takut. Rasa yang menjalari urat darahnya. Tetapi anehnya, Sawir malah tersenyum. Kemudian ia terkekeh dengan pelan. Lalu tertawa terbahak.  
“Ajaklah kami bicara, Tuan Pedagang Telur.”
Kekeh tawa Sawir terhenti seketika. Ia menatapi telur-telur di depannya. Lalu ia tertawa lagi.
            Aroma bebauan mengepung pasar. Siang makin menikam. Kesunyian melumat hiruk pikuk menjadi begitu asing. Tak ada yang peduli dengan kejadian di sudut pasar. Suasana yang mengantarkan kita mendalami perasaan si Sawir. Siapa pula yang peduli dengan si pedagang telur? Bukankah orang-orang sudah tidak memakan telur saat ini?
***
Rosidah heran. Suaminya belum juga pulang. Hari sudah malam pekat. Ia menyalahkan dirinya sendiri kenapa tadi sore tidak menyambangi pondok tempat Sawir biasanya menggalas. Tetapi sebetulnya, selama ini  ia tidak pernah singgah. Buat apa. Rosidah merasa tidak perlu melakukan itu, toh ia akan bertemu dengan suaminya itu saat di rumah.
“Ati, jaga adik-adikmu. Mak ke pasar dulu mencari Bapakmu,” katanya kepada Suati, anak sulungnya.
“Iya, Mak,” sahut Suati.
“Jangan tunggu Mak ya. Nanti kalian tidur saja duluan,” ucapnya lagi sembari menyambar senter yang tergantung di dinding.
Suati hanya mengangguk. Ia sedang merapikan pakaian yang siang tadi selesai dijemur. Adik-adiknya sedang belajar. Sedangkan si bungsu tertidur pulas di kamar.
            Rosidah menembus malam dengan perasaan tak menentu. Ia menuju pasar. Di tengah jalan ia mendengar selentingan kabar bahwa di pasar ada orang aneh berkeliaran sambil tertawa-tawa. Tak seorang pun yang mengenalnya. Apalagi kemunculan orang itu menjelang pasar tutup dan hari sudah mulai gelap. Saat orang-orang bergegas pulang, mengejar makan malam dan pelukan panjang. Namun, selentingan tersebut tidak dipedulikan Rosidah. Ia harus mencari suaminya. Memastikan keberadaan suaminya sangat penting baginya saat ini.
Ia mendapati kegelapan yang pekat manakala sampai di pasar. Dengan diterangi sebuah senter bercahaya remang, ia melangkahi  sayuran busuk dan menjejak tanah becek. Walau demikian ia hapal arah ke tempat suaminya berdagang. Ia mengarah ke sudut pasar.
            Selangkah saja ia di sana, lamat-lamat sebuah suara terdengar memanggil.
“Roihhh…!”
Suara itu mendesah dan sangat dalam. Seperti bukan berasal dari dunia ini. Rosidah gemetar ketakutan.
“Roihhh…!”
“Roihhh…!”
“Roihhh…!”
Panggilan itu mengejarnya. Menusuknya dari segala arah. Rosidah tersurut. Tunggang langgang ia berlari. Ia tak peduli dengan telur-telur yang terinjak dan pecah berderak. Isi telur berhamburan membasahi pakaian dan tubuhnya. Ia hanya tahu harus berlari dan terus berlari sekencang mungkin.
Sejak saat itulah kisah yang dipercaya pernah terjadi di sini, di tempat kita sekarang dicerita orang. Walaupun sesungguhnya tak ada yang benar-benar tahu bagaimana akhir kisahnya. Orang-orang kehilangan Sawir dan Rosidah. Itulah yang aku tahu. Kalau ada versi lain silakan saja. Setiap orang tentu punya versi kisah masing-masing. Bahkan ada orang yang menambahi cerita jikalau semua keluarga si pedagang telur itu menghilang dalam satu malam.
Tak apa. Biarlah begitu. Cerita dibuat sebab terkadang ada hal yang tidak dapat kita jelaskan secara gamblang. Karena itulah cerita dikarang oleh pengarang. Orang-orang kemudian mengulang kisah, menceritakan apa kata orang. Bukankah cerita dibuat untuk dikisahkan?
Ayolah kita beranjak. Kita keluar dari pasar ini. Bulu kudukku meremang sekarang. Percayalah.***
Padang Panjang, 11 Mei 2015
Diterbitkan oleh Harian POSMETRO JAMBI edisi Minggu 23 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.