BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
PASAR
kami ini bukanlah pasar biasa. Ada sebuah kisah yang dahulu bermuasal dari sini.
Kisah tentang si pedagang telur. Entah sudah berapa kali diceritakan orang.
Dipergunjingkan dari mulut ke mulut. Entah sudah sampai di mana kisahnya
terbawa angin. Apakah kau belum pernah mendengar ceritanya?
Kalau
kau bersedia mendengarkan kisahnya, tentu dengan senang hati akan kuceritakan
kepadamu. Marilah kita masuki pasar ini. Aku akan bercerita kepadamu sambil berjalan.
Bukankah katamu tadi kauingin menengok pasar kami ini lebih dalam, maksudku apa
kau tidak tertarik untuk menawar dagangan yang dijaja oleh orang-orang di pasar
ini?
***
Telah
sampai kepada kita bahwa dahulu ada seorang pedagang telur berjaja di pasar ini.
Saat itu pasar ini masih becek, kotor, amis dan lazim dikepung aneka rupa
bebauan entah apa saja. Kadang terpiuh aroma bawang goreng. Lain waktu tercium bau
ampas kelapa busuk. Bau sayuran busuk. Acapkali bau bangkai perut ikan dan
jeroan sapi. Akan tetapi tidak ada yang merasa terganggu oleh bebauan ini. Orang-orang
menganggap biasa saja. Namanya juga pasar. Kalau tidak begitu bukan pasar namanya.
Pedagang
telur tersebut bernama Sawir. Istrinya bernama Rosidah. Mereka dikaruniai empat
orang anak.
Suatu
ketika, datanglah orang-orang dari kota membawa ikan-ikan segar yang sangat banyak.
Ikan yang dikeluarkan dari kotak-kotak besar berwarna pinang masak. Orang-orang
pun bergembira sebab mereka bisa makan ikan setiap hari. Apalagi ikan-ikan itu
dijual dengan harga sangat murah. Saking murahnya, semiskin-miskin orang kala
itu sanggup membeli ikan. Setiap hari ikan-ikan didatangkan memenuhi pasar ini.
Orang-orang semakin riang gembira.
Sejak
ikan-ikan membanjiri pasar, nasib nahas pun menimpa Sawir si Pedagang Telur.
Sudah beberapa hari tak seorang pun pembeli datang menawar dagangannya. Setiap
hari ia pulang dengan tangan hampa. Dagangannya tak laku. Telur yang dijaja
ketika pagi, begitu pula bentuk dan susunannya saat petang datang. Sebutir pun
tak berkurang. Sawir mulai cemas. Berkali-kali ia menatap nanar hiruk pikuk di
dalam pasar. Berkali-kali pula ia menatap kosong telur-telur dihadapannya.
Malangnya,
tak seorang pun yang tahu kegamangan yang melanda Sawir. Ia telah tenggelam
begitu saja dalam hiruk pikuk pasar. Tersisih di antara tumpukan dagangan pedagang
lain yang beralih tangan silih berganti. Mungkin, ia sudah mengeluhkan kesah
kepada istrinya. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu persis tentang itu. Bisa
jadi memang sudah, sebab bukankah hal yang biasa seorang suami mengadukan
gundah hati kepada istri?
Beberapa
hari ia mencoba menegarkan hati untuk terus menggelar dagangan. Tetap saja
telur-telur itu tidak laku barang sebutir pun. Hiruk pikuk menyatu ke dalam air
comberan yang menggenangi saluran pembuangan limbah kotoran ayam dan perut
ikan. Suasana yang kian mengasingkan Sawir si Pedagang Telur.
Hingga
pada suatu hari.
***
Kita
berhenti sejenak di sini. Kautahu, disudut itulah semua kejadian dalam kisah ini
terjadi. Ayolah kita ke sana. Sayangnya seperti yang kaulihat sekarang, sudut ini
sudah dilapisi marmer. Pembangunan yang dilakukan pemerintah sudah benar-benar
mengubah wujud pasar ini.
Salah
satu alasan revitalisasi pasar dipercepat pemerintah karena kisah si Sawir.
Orang-orang takut datang ke pasar. Mereka takut melewati sudut ini. Mereka tak
mau mengalami hal serupa seperti yang dialami si pedagang telur.
Saat itu pasar ini masih becek dan
kotor. Bau amis, bangkai dan bawang goreng masih sering menyesap udara. Hiruk
pikuk ditabuh riak malas air comberan bekas limbah perut ikan dan deterjen
cucian piring. Hari itu Sawir menghisap semuanya: pasar yang memuakkan, hari
yang menjengkelkan. Orang-orang yang tidak punya perasaan, telur-telur yang
membawa sial. Ia mulai mengajak angin untuk tertawa. Angin lembut dan sepoi singgah
sebentar, hanya sekilas meriapkan debu lalu pergi begitu saja. Habis akal, ia
menatap empat butir telur angsa di atas tatakan.
Empat butir telur angsa itu putih
bersih (bersih untuk telur tentu masih ada sedikit noda tipis taik ayam yang
kadang bisa kita imajinasikan bentuk-bentuk motifnya), bulat oval laiknya telur
dan –tentu saja- besar. Telur angsa itu sangat besar. Apalagi kalau kita
bandingkan dengan ratusan telur ayam negeri ditambah puluhan telur ayam kampung
yang disusun di atas meja keropos, medan perang bagi Sawir untuk menjaja
dagangannya. Meja tempat ia menggantungkan harapan. Harapan yang perlahan
menguap. Rasa yang ia coba bagi dengan empat butir telur angsa di hadapannya.
Kenapa pula sampai ia memilih telur angsa, tak ada yang tahu. Mungkin saja
karena telur angsa lebih besar dibandingkan telur ayam. Bukankah kita lebih
percaya kepada sesuatu yang besar dibandingkan kepada hal yang menurut kita
lebih kecil dan tak layak untuk diberikan kepercayaan?
Tatapan mata Sawir dibalas tatapan
iba telur-telur itu. Aroma bawang goreng entah mengapa semakin kuat memilin perut
menjadi lapar. Apalagi siang sudah tegak
benar. Sawir berang! Matanya mengilatkan cahaya aneh. Ia tak peduli lagi
dengan pasar ini. Ia tak peduli lagi dengan pembeli yang tak datang-datang
membeli dagangannya.
“Orang-orang
tak butuh pedagang telur, orang-orang sudah tidak makan telur lagi sekarang,” bisiknya.
Ia mengulangi kalimat itu. Lagi dan lagi. Hentakan kalimat itu semakin cepat,
diiringi anggukan kepala. Lalu ia memeluk kedua lututnya dengan erat. Sawir mengulangi
kalimat itu. Dengan mendesis. Urat lehernya menegang.
“Orang-orang tak butuh pedagang telur,
orang-orang sudah tidak makan telur.”
Hatinya begitu gundah. Perasaannya
pedih tercabik. Ia Ingat uang sekolah anak-anak, Ingat persediaan beras yang menipis.
Terlintas wajah istri dan anak-anaknya. Ia ingat tauke telur langganannya, ingat
hutang-hutang dagang yang belum dilunasinya.
Konon dalam cerita yang kita dengar
dikisahkan bahwa manakala Sawir dalam keadaan gundah gulana demikian, salah
sebuah telur angsa mencoba mengajak Sawir berbincang. Telur itu menyapa.Ketika itu
terjadi, angin pun datang bersiur. Dedaun rumbia tua lumutan yang menjadi atap
pondok riuh gemerisik. Hiruk pikuk lenyap. Hening sekali.
“Jangan
sedih, Tuan.”
Sawir
tersentak. Walaupun sedang bermenung mengutuki nasib diri, rupanya telinga
Sawir masih awas. Seketika ia mendongak lalu menoleh ke kiri dan kanan lalu ke
belakang. Sejurus kemudian bulu kuduknya pun meremang.
“Aku
mendengar suara,” bisiknya lirih. “Aku mendengar suara. Ya, suara! Tapi siapa?”
Sawir
menggigil. Ia mengacak-acak rambutnya yang meranggas. Ia menarik kain pengikat
kepalanya. Ia takut. Rasa yang menjalari urat darahnya. Tetapi anehnya, Sawir
malah tersenyum. Kemudian ia terkekeh dengan pelan. Lalu tertawa terbahak.
“Ajaklah
kami bicara, Tuan Pedagang Telur.”
Kekeh
tawa Sawir terhenti seketika. Ia menatapi telur-telur di depannya. Lalu ia
tertawa lagi.
Aroma bebauan mengepung pasar. Siang
makin menikam. Kesunyian melumat hiruk pikuk menjadi begitu asing. Tak ada yang
peduli dengan kejadian di sudut pasar. Suasana yang mengantarkan kita mendalami
perasaan si Sawir. Siapa pula yang peduli dengan si pedagang telur? Bukankah
orang-orang sudah tidak memakan telur saat ini?
***
Rosidah
heran. Suaminya belum juga pulang. Hari sudah malam pekat. Ia menyalahkan
dirinya sendiri kenapa tadi sore tidak menyambangi pondok tempat Sawir biasanya
menggalas. Tetapi sebetulnya, selama ini
ia tidak pernah singgah. Buat apa. Rosidah merasa tidak perlu melakukan
itu, toh ia akan bertemu dengan suaminya itu saat di rumah.
“Ati,
jaga adik-adikmu. Mak ke pasar dulu mencari Bapakmu,” katanya kepada Suati,
anak sulungnya.
“Iya,
Mak,” sahut Suati.
“Jangan
tunggu Mak ya. Nanti kalian tidur saja duluan,” ucapnya lagi sembari menyambar
senter yang tergantung di dinding.
Suati
hanya mengangguk. Ia sedang merapikan pakaian yang siang tadi selesai dijemur.
Adik-adiknya sedang belajar. Sedangkan si bungsu tertidur pulas di kamar.
Rosidah menembus malam dengan
perasaan tak menentu. Ia menuju pasar. Di tengah jalan ia mendengar selentingan
kabar bahwa di pasar ada orang aneh berkeliaran sambil tertawa-tawa. Tak
seorang pun yang mengenalnya. Apalagi kemunculan orang itu menjelang pasar
tutup dan hari sudah mulai gelap. Saat orang-orang bergegas pulang, mengejar
makan malam dan pelukan panjang. Namun, selentingan tersebut tidak dipedulikan Rosidah.
Ia harus mencari suaminya. Memastikan keberadaan suaminya sangat penting
baginya saat ini.
Ia
mendapati kegelapan yang pekat manakala sampai di pasar. Dengan diterangi sebuah
senter bercahaya remang, ia melangkahi
sayuran busuk dan menjejak tanah becek. Walau demikian ia hapal arah ke
tempat suaminya berdagang. Ia mengarah ke sudut pasar.
Selangkah saja ia di sana,
lamat-lamat sebuah suara terdengar memanggil.
“Roihhh…!”
Suara
itu mendesah dan sangat dalam. Seperti bukan berasal dari dunia ini. Rosidah
gemetar ketakutan.
“Roihhh…!”
“Roihhh…!”
“Roihhh…!”
Panggilan
itu mengejarnya. Menusuknya dari segala arah. Rosidah tersurut. Tunggang
langgang ia berlari. Ia tak peduli dengan telur-telur yang terinjak dan pecah
berderak. Isi telur berhamburan membasahi pakaian dan tubuhnya. Ia hanya tahu
harus berlari dan terus berlari sekencang mungkin.
Sejak
saat itulah kisah yang dipercaya pernah terjadi di sini, di tempat kita
sekarang dicerita orang. Walaupun sesungguhnya tak ada yang benar-benar tahu
bagaimana akhir kisahnya. Orang-orang kehilangan Sawir dan Rosidah. Itulah yang
aku tahu. Kalau ada versi lain silakan saja. Setiap orang tentu punya versi
kisah masing-masing. Bahkan ada orang yang menambahi cerita jikalau semua keluarga
si pedagang telur itu menghilang dalam satu malam.
Tak
apa. Biarlah begitu. Cerita dibuat sebab terkadang ada hal yang tidak dapat
kita jelaskan secara gamblang. Karena itulah cerita dikarang oleh pengarang.
Orang-orang kemudian mengulang kisah, menceritakan apa kata orang. Bukankah
cerita dibuat untuk dikisahkan?
Ayolah
kita beranjak. Kita keluar dari pasar ini. Bulu kudukku meremang sekarang.
Percayalah.***
Padang Panjang, 11 Mei 2015
Diterbitkan oleh Harian POSMETRO JAMBI edisi Minggu 23 Agustus 2015
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.