BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Dasril Ahmad |
Wandra Ilyas |
Tak Punya Naluri Sastra
Guru bahasa Indonesia yang tidak menyenangi sastra itu, dinilai Wandra Ilyas sebagai guru yang tak punya naluri sastra yang baik, sebagai pijakan baginya untuk menggeluti dan mengikuti segala aspek perkembangan sastra secara intens. Guru tersebut hanya memiliki modal pengetahuan sastra masa lalu, yang diperolehnya ketika masih kuliah dengan dosen anu, dan modal itu pun tak pernah ditambah. Padahal, sastra itu sendiri begitu cepat perkembangannya dari waktu ke waktu. Umumnya hal ini menimpa guru-guru bahasa Indonesia di SMP dan SMU, yang karena tidak mengikuti perkembangan sastra, maka pengetahuan yang dimilikinya tidak lagi memadai alias telah semakin menyusut.
“Seharusnya guru-guru bahasa Indonesia di SMP dan SMU itu memiliki naluri sastra yang kuat, sehingga pengetahuan sastranya makin meningkat. Tanpa memiliki naluri sastra, kecuali cuma ilmu pengetahuan yang terbatas dari masa lalu itu, niscaya sampai kapan pun guru mustahil akan menyenangi sastra, dan apresiasi sastra para siswa di sekolah akan lebih dini terkubur,” tutur Wandra Ilyas yang di tahun 1970-an dan 1980-an dulu juga aktif menulis puisi, cerpen dan esei di berbagai koran yang terbit di Padang.
Untuk mengatasi hal itulah, putra Sumani Solok, kelahiran 4 Mei 1958 ini menyarankan agar pada waktu acara pelatihan-pelatihan sastra bagi guru hendaknya lebih banyak materinya ke arah proses kreatif sastra ketimbang pengenalan teori-teori melulu. “Hendaknya dalam pelatihan-pelatihan sastra untuk guru itu, lebih diutamakan materinya ke arah proses kreatif dan apresiasi sastra, tidak dari segi teori saja. Proses apresiasi sastra itu bisa menyangkut bidang menulis resensi buku, menulis esei sastra dan lain sebagainya,” pintanya. (Dasril Ahmad). ***
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.