BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Harian Singgalang, Minggu 16 Agustus 2015 (halaman Estetika) |
SEPANJANG jalan kampungku merupakan taman bermain bagi Atan.
Apakah kau pernah mendengar namanya? Ia hanya seorang anak. Anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Ke mana-mana ia membawa sepikul bambu.
Bambu kering berbilah-bilah. Wajahnya selalu tersenyum. Tapi lihatlah itu,
langkah kakinya sedikit mengharukan. Ia berbeda dari orang kebanyakan. Penyakit
Polio yang menghabisinya saat belia telah mengubah anatomi kaki begitu rupa.
Namun orang-orang menyukainya. Ya, kau bisa melihat wajahnya selalu tersenyum.
Kau akan mendengar senandung lirih apabila mungkin kau berpapasan dengannya.
Cobalah sapa, ia akan menggumam. Ia akan mengangkat jempol untukmu. Kau harus
tahu bahwa dari sekian keunikannya, Atan sesungguhnya tidak dapat berbicara.
Bambu
baginya instrumen musik. Kalau kau ke kampungku, sesekali akan kau dapati ia
duduk dengan takzim di teras mesjid ataupun di depan pasar yang dihampari
batu-batu kali. Tepat di beranda toko-toko yang tutup sampai Kamis datang.
Ketukan bambu saling beradu. Hasilnya berupa komposisi nada gembira. Tentu kau
akan heran lalu penasaran nada lagu apa yang ia mainkan. Percayalah, lagu yang
dibawakan Atan dengan gembira itu tidak akan kau temukan dalam album lagu
siapapun. Lagunya asli karangan Atan sendiri.
“Ntek tek dung! Ntek tek dung!”
“Dung.. dung..
tek! Dung.. tek.. dung.. dung!”
“Njit jit…
enjit..jit.. jit.. jit tek.. jit..jit tek!”
Intro lagu
berkejaran antara gumam mulut dengan tabuhan bilah bambu dengan bambu lain lalu
pada saat tertentu (yang hanya Atan yang mengetahui) ia akan memukul salah
sebuah batu yang menjadi lantai beranda toko. Atau kalau Atan sedang melakukan
hal yang sama di teras mesjid, ia akan duduk di dekat keranda jenazah. Besi
keranda itulah yang menjadi pelengkap untuk mengiringi lagu yang ia mainkan.
”Peng..peng.. njit jit.. enjit..jit.. tek.. peng!”
Atan tidak pernah
mengganggu orang. Ia setenang kampung kami. Kampung tanpa riak. Tanpa kejadian
yang luarbiasa. Semua bisa dikompromikan, terutama dalam aktivitas di kedai
kopi. Setidaknya Atan kurasa sangat menyukai (dan mungkin saja bersyukur) kalau
ia telah lahir dan besar di kampung ini. Tetapi, ketenangan kampung kami selalu
membuat kesal si Gontar.
“Kampung ini sangat
membosankan,” ujar Gontar suatu ketika di sebuah kedai kopi.
“Tidakkah sesekali
Tuhan mengirimkan petir atau apalah untuk membakar menara mesjid agar kita
dapatkan sedikit hiburan mengusir kebosanan ini?” lanjutnya lagi dengan geram.
Provokatif. Tipikal berandal.
Orang-orang di kedai
kopi saling pandang dalam diam. Semua tahu siapa si Gontar. Ah, hanya preman kelas kampung saja.
Tapi tunggu, apakah tadi ia mengatakan membakar menara mesjid? Tuhan membakar
menara mesjid? Hujat. Gontar sudah menghujat Tuhan!
“Kau boleh merasa
bosan, Gontar! Tapi tidak pula dengan menghujat Tuhan!” sergah Dahiri si
pemilik kedai. Semua orang mendukung pernyataannya.
“Kapan pula aku
menghujat Tuhan, Bang?” jawab Gontar dengan lagaknya.
“Tadi kau bilang apa?
Membakar menara mesjid, bukan? Periksa lagi kata-katamu!”
“Itu perumpaan saja,
Bang. Barangkali Tuhan ingin main-main.. mmh…
dengan petir itu misalnya? Siapa yang tahu gerak keinginan Tuhan?”
“Nah, itu! Kau menghujat
Tuhan lagi!” cecar Dahiri. Darahnya mulai naik. Orang-orang semakin tertarik
dengan pertengkaran mulut ini. Maklumlah jarang sekali mereka mendapatkan
tontonan perai macam begini. Mungkin
betul juga perkataan si Gontar bahwa kehidupan di kampung ini membosankan.
Orang-orang di kedai kopi juga sesungguhnya merasakan kebosanan itu. Maka tak
ada yang mencoba melerai. Tak ada yang menengahi.
Namun, pertengkaran di
kedai kopi itu mendadak terhenti. Seseorang sudah menghentikannya. Semua mata
serentak terpaku ke pintu masuk kedai. Atan dengan tersenyum telah berdiri di
situ. Ia langsung duduk di bangku dekat pintu, sebelum meletakkan bambu
pikulannya dengan hati-hati.
“Nah, si Atan ini salah
satu yang membuat kampung ini dikungkung rasa bosan. Betah betul ia menggotong
bambu, berjalan hilir mudik keliling kampung. Kurasa kalau si Atan ini mati
pasti kampung kita ini akan buncah dan heboh!” seru si Gontar. Ia jelas
mengalihkan pembicaraan perkara mesjid tadi. Lalu,
“Hei, Atan! Kapan kau
mati!” ujarnya tiba-tiba. Semua orang terperangah. Sebagian murka.
“Setan kau, Gontar!
Binatang apa yang berak di kepalamu? Kau sudah keterlaluan,” kata Enim anak
kepala kampung. Ia kawan sepermainan Gontar. Tangannya refleks meraih krah baju
si Gontar yang duduk di dekatnya. Kedai itu pecah. Serentak orang-orang
berdiri. Maksudnya untuk melerai pertengkaran yang sudah berubah menjadi adu
fisik.
Atan ketakutan. Ia
tidak menanggapi ocehan si Gontar. Barangkali ia tidak mengerti apapun yang
diucapkan si Gontar tadi. Dengan tergopoh-gopoh, Atan mengambil bambu-bambunya
dan menyingkir dari kedai itu. Ia tidak suka keributan. Bukankah ia menyenangi
kedamaian? Bukankah kedamaian hidup itu yang ia nikmati selama ini?
Gontar berhasil
melepaskan diri dari cengkeraman Enim. Orang-oran memegangi si Enim agar tidak
terjadi adu fisik lebih lanjut. Begitu Gontar merasa bebas, ia lalu secepatnya
keluar dari kedai kopi itu. Bahkan ia tidak sempat lagi membayar kopinya. Walau
dikenal sebagai preman kampung, mendapat perlawanan spontan tadi rupanya
membuat nyalinya ciut.
Ia harus menjauh sebelum orang-orang di kedai
kopi mengeroyoknya. Ia sadar, ucapannya tadi bikin panas telinga. Namun, ia
bertekad akan membuat kampung ini buncah. Heboh. Kalau tidak, ia akan pindah
kampung saja. Mungkin ia akan ke kota. Merantau.
Sebuah rencana melintas
dalam pikiran si Gontar. Dipandanginya dari jauh kedai kopi tadi. Kelihatannya
sudah tenang kembali. Ia tersenyum licik.
***
Dahiri si pemilik
kedai baru saja menjerang air untuk kesekian kalinya ketika Gontar si berandal
kelas kampung datang. Setelah memarkir motor butut tanpa lampu miliknya di
halaman, ia masuk dengan ciri khasnya, tanpa tatakrama,
ha-ha-hi-hi, mengembuskan asap rokok
dengan amat angkuhnya. Namun dalam pandangan mataku, ada yang lain dari penampilannya
kali ini. Pertama; begitu motor bututnya terparkir, Gontar tidak langsung
masuk. Tetapi ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai bagaikan mencari
keberadaan seseorang. Kedua; setelah ia duduk di kursi panjang bagian tengah
(tepat di hadapanku!) ia kelihatan gelisah tak karuan. Sesekali jari jemarinya
mengetok meja dengan irama gendang bertempo cepat. Entah mengapa aku malah
tertarik dengan tingkah jari jemarinya yang tidak bisa diam itu. Kadang ia menggaruk
kepala, mengetuk-ngetuk gelas kopi atau mengusap-usap daun telinganya. Anehnya
aku menangkap aura kegelisahan begitu kentara ditunjukkan oleh si biang onar
ini. Apa sebaiknya kutanyakan saja? Bukankah posisi kami berhadapan-hadapan? Ah! mana berani aku bertanya langsung
kepadanya. Yang pasti kusimpulkan, orang ini sudah melakukan sesuatu yang
membuat ia kemudian menjadi gelisah tidak menentu, di penghujung malam pula.
“Aku menyuruh si Atan melempari kaca jendela mesjid,” ujarnya
tiba-tiba. Walau lirih, namun tak pelak membuat semua orang mendadak beku,
terdiam dan menghentikan segala aktivitas.
“Siang tadi, aku menyembunyikan bambu-bambunya. Lalu, kukatakan kepadanya
kalau ingin bambu-bambu itu kembali, semua kaca jendela mesjid harus ia pecahkan. Semuanya. Dengan batu!” sambungnya lagi.
Mendengar itu tentu saja orang-orang geleng kepala, ada yang marah dengan
menghantamkan telapak tangan ke atas meja. Ada pula yang mengumpat. Sedangkan Dahiri langsung terprovokasi, untung saja ia tidak mencidukkan
air panas dalam kukusan di atas tungku untuk menyiram kepala si Gontar. Ya,
untung saja! Namun, ia betul-betul sangat marah.
“Pergi kau!” teriaknya murka.
Mungkin karena memang sedang dirundung gelisah, rasa bersalah atau bisa
juga disebabkan intonasi suara Dahiri yang dipenuhi kemarahan, Gontar terperangah,
lalu tanpa bicara lagi ia meninggalkan kedai. Menyisakan suasana yang mencekam.
***
Di atas pematang
sawah aku terpaku, pias dan menggigil. Tidak jauh di hadapanku, sesosok tubuh tertelungkup.
Posisinya terbenam ke dalam lumpur. Selintas, melihat pakaian yang dikenakan
sosok itu aku seperti mengenalinya. Tapi, Ah!
Tidak mungkin. Tidak! Tiba-tiba mataku melihat genangan darah bercampur lumpur,
mengalir dari perutnya. Darah! Oh,
Tuhan!
Aku berlari sekencang mungkin, meninggalkan sosok itu. Teriakanku menggema
bertalu-talu. Menggetarkan pagi yang baru menyembul di ufuk hari.
Dia
telah mati. Atan telah mati. Mati dalam genangan darah, lumpur dan embun pagi.
Kampung kami pun buncah. Semua
orang kaget bukan main. Seumur-umur belum pernah ada orang mati terbunuh di
kampung ini. Semua orang terguncang. Kenapa Atan harus mati dengan cara begini?
Siapa yang melakukannya?
****
Padang, Juni 2015
Terbit di HARIAN SINGGALANG edisi Minggu 16 Agustus 2015 Halaman ESTETIKA
Terbit di HARIAN SINGGALANG edisi Minggu 16 Agustus 2015 Halaman ESTETIKA
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.