Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Apresiasi, Upaya Menyelamatkan Ruang Diskusi Proses Kreatif


Oleh: Denni Meilizon


Ilustrasi bebas bagaimana apresiasi sastra bekerja.

Dua tahun belakangan ini, semakin banyak penyair yang tergerak untuk membukukan koleksi puisi-puisinya sendiri. Angkanya luarbiasa, mengingat minat baca terhadap buku puisi yang masih rendah di Indonesia. Merujuk kepada rilis panitia Hari Puisi Indonesia tahun 2016 saja, kita peroleh informasi bahwa ada sekitar 246 buku puisi baru yang dikirim ke meja panitia. Tahun 2017 masih merujuk kepada sayembara yang sama, ada sekitar 247 buku puisi yang terbit dalam rentang setahun dan ikut sayembara itu. Bagaimana dengan Sayembara dalam merayakan Hari Puisi Indonesia pada tahun 2018 ini? Antusias sekali ternyata. Beberapa hari yang lalu, panitia melalui laman resminya www.haripuisi.info, mengirimkan rilis sementara buku-buku puisi yang ikut sayembara, jumlahnya sudah mencapai 66 buku puisi. Dengan waktu batas akhir sayembara hingga 20 September 2018, bisa jadi angka tersebut bakal melonjak melebihi peserta sayembara tahun sebelumnya. Itu baru terpantau lewat satu saluran sayembara yang mengumpulkan buku-buku puisi yang terbit sepanjang satu tahun. Kita belum memantau sayembara dan lomba yang lainnya pula, semisal Kusala Sastra atau anugerah sastra lainnya. Dengan banyaknya buku-buku puisi yang lahir itu, bagaimana dengan apresiasi pembaca? Ternyata tidak begitu nyaring terdengar. Apalagi bagi buku yang diterbitkan sendiri (Self Publishing). Apalagi, kebanyakan buku-buku puisi yang terbit memang menempuh jalan dengan lahir lewat daya dan usaha sendiri. Malahan beberapa buku yang diterbitkan itu bertujuan untuk diikutkan dalam sayembara (lomba) saja, tidak ditemukan di pasar buku nasional.   

Sebagai sebuah karya cipta, apakah penting untuk membukukan puisi-puisi sendiri? Sebetulnya pertanyaan ini absurd namun sering terdengar ditanyakan dalam forum-forum diskusi, baik dalam ruang diskusi terbatas maupun di kedai kopi yang dilanggani penyair beserta rekan penulisnya. Berbagai sudut pandang dapat kita pakai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sudut pandang yang berbeda tentu didasari argumen masing-masing. Pembenaran masing-masing. Pemakaian kata “penting” dimaksudkan kepada sebuah kewajiban, sebentuk keharusan. Jika tidak dilakukan ada konsekuensi fatal. Jika dikerjakan mendapat imbalan tertentu. Bagi sebagian penyair, puisi-puisi penting untuk dibukukan. Tujuannya pertama untuk pengarsipan karya, kedua agar puisi-puisi bisa menjumpai pembaca yang lebih luas, ketiga untuk mempermudah jika ada sayembara yang mengharuskan peserta mengirimkan kumpulan puisi, keempat sebagai semacam pengesahan tak tertulis telah menjadi penyair, kelima menumbuhkan jiwa penulis wirausahawan, keenam untuk menjawab pertanyaan tentang profesionalisme bidang perpuisian (jika sudah ada buku, biasanya orang-orang awam tidak berpanjang mulut lagi) dan banyak tujuan lainnya yang hanya diketahui oleh penyairnya sendiri dan Tuhan. Sebagian penyair lagi bersikap acuh tak acuh kepada proses karyanya. Ada yang menganggap jika sudah dimuat media massa (terutama nasional) maka itu sudah cukup. Dibukukan atau tidak penyair kita itu tak mau susah pula memikirkannya. Banyak alasan yang diberikan, misalnya bahwa dia adalah penyair dan bukan arsiparis dan bukan pula kritikus, jadi tugasnya hanya menciptakan syair (sajak/puisi) dipublikasikan, sudah sampai demikian saja. Ada pula yang getol untuk mengirimkan ke media massa dengan harapan dimuat lalu terbaca oleh penerbit besar yang punya pendanaan berlebih untuk menerbitkan buku puisi. Jadi, penyair kita itu berminat soal buku membukukan karya ini tetapi dia tidak punya daya yang sama dengan penyair yang beruntung punya daya dan usaha sehingga bisa saja menerbitkan buku sendiri. Atau, ada pula prinsip begini, buku terkemuka, bagus dan bermutu itu harusnya melewati penerbit mayor (besar), jalur mainstream, dibicarakan secara nasional oleh kritikus terkemuka dan papan atas. Macam-macam pendapat ternyata bisa diketengahkan untuk menjawab pertanyaan di atas.

Selanjutnya, apakah apresiasi harus diberikan kepada buku-buku puisi yang terbit itu? Secara etika, norma dan nilai yang berlaku dalam tatanan kehidupan bangsa yang beradab disebutkan bahwa menghargai hasil kerja orang lain sangat dianjurkan dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apresiasi yang diberikan tentu saja beragam cara perlakuannya. Apreasiasi sastra merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menilai, menghargai, menyukai sebuah karya dari orang lain. Secara teori, setidaknya ada beberapa model apresiasi yang bisa diberikan diantaranya misalnya kita merujuk kepada model apresiasi yang ditawarkan Leslie Strata dalam bukunya “Pattern of Language, terdiri dari tiga langkah pokok yaitu penjelajahan, interpretasi, dan re-kreasi.Ada banyak model apresiasi yang lain, demi menghemat ruang tidak dipaparkan dalam tulisan ini.    

Pada hari Senin (27/8), bertempat di Gubuk Coffee Kuranji Padang telah digelar acara bertajuk Apresiasi dari Sahabat atas Terbitnya 4 buku puisi penyair Ramoun Apta (Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya), Rita Yusri Maemunah (Tak ada Kata), Dini Mizani (Tikam Jejak Masa Lalu) dan Maulidan Rahman Siregar (Tuhan tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang) di Sumatera Barat oleh Literatur Indonesia (LINI) yang bekerjasama dengan komunitas seni Teater Imam Bonjol Padang, Komunitas Kelas Kreatif Indonesia, Komunitas Daun Ranting, Diatunes Artist Management dan difasilitasi oleh Gubuk Coffee sebagai ruang berkreasi.

Sebagaimana disampaikan oleh Alizar Tanjung pendiri LINI, sudah saatnya apresiasi diberikan kepada setiap buku yang terbit terutama di Sumatera Barat. Semakin banyak ruang dibuka untuk pengapresiasian karya baik secara penjelajahan karya berupa pembacaan karya sastra ataupun mendengarkan kajian proses penyajian karya sastra ataupun ruang-ruang penginterpretasian serta re-kreasi akan mampu melahirkan buku-buku yang terbit dengan deras belakangan ini terpilah secara mutu oleh para pembacanya sendiri. Mahatma Muhammad yang juga kreator seni pertunjukan terkemuka di Sumatera Barat dalam kesempatan terpisah menyampaikan harapannya agar usaha menyelamatkan dan menjaga ruang diskusi bagi proses kreatif mesti terus dilakukan. Hal yang sama disampaikan pula oleh penyair Ramoun Apta yang saat ini berdomisili di Muara Bungo, Jambi. Salah satu yang membuat ia jatuh cinta kepada kota Padang terutama adalah begitu terbukanya ruang diskusi yang menyehatkan pikiran serta memantik ide-ide kreatif yang amat dibutuhkan oleh kreator. Membeli buku-buku puisi alih-alih meminta gratisan merupakan permintaan yang tegas dari Maulidan Rahman Siregar, penyair yang bukunya ikut diapresiasi pada hari itu.

Dini Mizani yang hari itu didampingi Raden Rita Maemunah berprofesi sebagai guru yang mengajar di salah satu SMA di Kota Padang. Ini cukup menggembirakan hati karena beberapa hal, mereka guru yang mencintai puisi, perempuan yang penyair di tengah dunia dominasi laki-laki, mau mengajarkan puisi kepada para siswanya, produktif berkarya ditengah kesibukan pribadinya. Dini Mizani merupakan jebolan dari Komunitas Teater Imam Bonjol Padang. Sebagaimana diceritakan oleh Indra Muhidin, ketika masih aktif di TIB, Dini sudah giat menulis puisi bahkan sejak ia tercatat masih sebagai siswa sekolah menengah atas. Adapun Raden Rita Maemunah, Tata Usaha di salah satu SMK di kota Padang, sudah aktif menulis puisi sejak dekade 1980-an. Pengamat dan kritikus sastra Sumatera Barat, Dasril Ahmad menyampaikan penilaiannya kepada proses kreatif penyair perempuan yang sedang menyiapkan dua buku baru ini dalam sebuah tulisan panjang yang dijadikan pengantar buku puisi “Tak ada Kata” yang diapresiasi hari Senin (20/8) sore itu.   

Penampilan pembacaan puisi-puisi karya keempat orang penyair di atas, musikalisasi puisi spontan oleh hadirin, bincang proses kreatif penyair dan bazaar buku mengiringi acara dengan meriah hingga menjelang tengah malam.

Ruang perayaan bagi kelahiran buku-buku puisi ataupun buku-buku lainnya harus semakin dibuka di Sumatera Barat. Dikotomi kepentingan kelompok dan pribadi tidak harus terarah kepada sisi negatif. Perbedaan sudut pandang, kekayaan wawasan pengetahuan, pengalaman, latar belakang keilmuan, lingkungan kreatif serta tujuan berkarya tidaklah layak untuk dibenturkan satu sama lain. Tetapi dengan pikiran dan hati yang terbuka, saling melengkapi dan saling mengisi untuk membangun secara positif gairah literasi di Sumatera Barat.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.