Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Festival Nan Jombang Tanggal 3: Menikmati Salawaik Dulang



Laporan: Denni Meilizon (IG: @dennimeilizon)
Fotografer: Vyronium Indonesia




Grup Sinar Barapi
PANGGUNG malam itu (3/1) didominasi oleh tiga buah kasur rapi dilengkapi bantal yang tertata di atasnya, pencahayaan normal, menyesuaikan dengan latar panggung ruang produksi Manti Menulik yang memang bernuansa hitam dan putih. Agaknya acara malam itu mengabaikan tata cahaya bertaburan dengan efek sesuai garis pertunjukan sebagaimana biasa. Kesempurnaan pelantang dan sistim suara agaknya merupakan hal yang utama. Sekarang dengan perlahan masuklah 6 (enam) orang penampil berpasangan yang ditandai dengan kostum masing-masing sesuai dengan pasangannya, lalu menempati kasur (properti panggung) yang disediakan di atas panggung. Dua buah pelantang dengan tonggaknya yang dibuat serendah duduk telah terlebih dahulu disiapkan pula. Tak lupa, enam gelas air minum, teh telur, teh atau air putih disajikan di atas panggung menandakan pertunjukan kali ini akan memakan waktu lama, barangkali akan lebih dari dua jam.

Nan Jombang Grup bersama Komunitas Galombang Minangkabau kembali menyelenggarakan program rutin Festival Nan Jombang Tanggal 3 pada tahun 2019. Bertepatan pada awal tahun ini, sekaligus dilakukan peluncuran program tahunan Nan Jombang Grup dan Komunitas Galombang Minangkabau di Tahun 2019 diantaranya Festival Nan Jombang Tanggal 3, Kato Babega, dan KABA Festival 2019. Festival Nan Jombang Tanggal 3 pada Kamis (3/1) dibuka dengan menampilkan kesenian tradisi Salawaik Dulang.
Sebagai bentuk pelestarian sekaligus menjadi wadah apresiasi terhadap keberadaan seni tradisi Minangkabau pada masa ini, Nan Jombang Grup dan komunitas Galombang Minangkabau menaja kegiatan berkesinambungan lewat program-program yang ternyata disambut dengan dukungan dari pelbagai pihak sebut saja misalnya dari Bakti Budaya Djarum Foundation, Kementerian Parekraf, BUMN, Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan kalangan masyarakat Seniman dan Budayawan daerah maupun nasional. Sebagaimana disampaikan Ery Mefri, peluncuran program Nan Jombang Grup sejatinya demi membantu khususnya Pemerintah dalam rangka menghadirkan program pertunjukan kesenian yang berkualitas dan dapat dinikmati masyarakat. Sebab duduk menikmati kesenian di Minangkabau merupakan laku hidup keseharian masyarakat itu sendiri. Seni terutama seni tradisi harus dekat dengan masyarakat.
Grup DC 8
 Seperti terlihat pada Kamis malam (3/1) kemarin di Ladang Tari Nan Jombang. Walaupun hujan turun deras, orang-orang terus berdatangan. Sebelumnya, saya memang menyengajakan diri untuk datang lebih awal sebelum hujan, sedangkan pertunjukan baru akan dimulai tepat pukul 20.30 WIB. Ada banyak jajanan pasar tersaji dengan teh dan kopi panas di dalam teko besar berbahan plastik. Tak pelak lagi, di sudut-sudut Ladang Tari Nan Jombang yang berada di Balai Baru Padang itu, terlihat beberapa orang yang lebih dahulu tiba sebelum saya, asyik bersenda gurau atau mungkin berdiskusi ringan sembari menikmati keramahan tuan rumah, Ery Mefri dan Angga Djamar.
Turut hadir antara lain Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat Gemala Ranti, Anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat Hidayat, Kepala Taman Budaya Sumbar Muasri, wartawan senior Nofrialdi Nofi Sastera, seniman dan budayawan Syarifuddin Arifin, Muhammad Ibrahim Ilyas, akademisi yang juga sastrawan Hermawan AN dan beberapa pengelola sanggar seni pertunjukan yang ada di Sumatera Barat. Tak ketinggalan, kalangan seniman muda juga terlihat banyak yang hadir pada malam itu.  
Belum lama ini, pada 26 November hingga 2 Desember 2018 yang lalu telah terselenggara sebuah iven besar bertajuk KABA FESTIVAL V 2018 di tempat yang sama. Kegiatan rutin tersebut ditutup pada Senin (3/11-2018) sekaligus membuka pertunjukan Festival tanggal 3 yang pada saat itu mengetengahkan dua kelompok kesenian tradisi, Randai Mustika Minang dari Kota Pariaman dan Silek Sasaran Lapau Manggih. Bertepatan pada tanggal 3 bulan Januari 2019 pula, dibuka kembali pertunjukan Festival tanggal 3 yang mendapuk grup Salawaik Dulang.
Salawaik Dulang merupakan bentuk sastra lisan Minangkabau bernuansa Islam yang merupakan media dakwah keislaman berisikan bacaan selawat atau puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, kajian tarekat, kisah nabi dan rasul, dan juga masalah syariat. Berbeda dengan penampilan biasanya, kali ini pertunjukan Salawaik Dulang ditampilkan dengan tiga penampil sekaligus. Tiga grup Salawaik Dulang yang akan tampil merupakan grup salawaik Dulang berasal dari daerah Batu Sangkar Kabupaten Tanah Datar yakni Sinar Barapi, Bintang Purnama dan DC 8. Selain itu yang juga sangat istimewa pada Festival Nan Jombang tanggal 3 kali ini, dihadirkannya grup Salawaik Dulang Bintang Purnama yang dibawakan oleh pemain wanita.
Grup Bintang Purnama
Kehadiran Group Salawaik Dulang Bintang Purnama ini cukup mengejutkan penonton. Penampilan mereka memukau walau tampil pada sesi terakhir bersama dua group Salawaik Dulang Sinar Barapi dan DC-8 yang dibawakan laki-laki. Group Salawaik Dulang ini berasal dari Balimbiang Rambatan Kab. Tanah Datar. Dengan dibalut busana sopan dan elegan tampil modis, cantik dan Islami mereka percaya diri dan agaknya telah mengukuhkan patron berkesenian bagi perempuan yang ingin meneruskan tradisi dan mengambil peran sebagai pelaku dan pemain Salawaik Dulang, merobohkan stigma selama ini bahwa kesenian rakyat di Minangkabau tersebut didominasi laki-laki.
Menurut Jhon Cakra pimpinan Sinar Barapi (19 Desember 2018), Salawaik Dulang merupakan bagian dari Silaturahmi antara pelaku dan masyarakat. Selain itu, Salawaik Dulang adalah media bagi pelaku Salawaik untuk mengenal dan memahami budaya suatu kelompok masyarakat tempat mereka tampil. Dengan pernyataan dari pimpinan Sinar Barapi tersebut kembali dapat dipahami betapa pentingnya keberadaan kesenian tradisi bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat dan pelestarian nilai kebudayaan setiap kelompok masyarakat.
Ery Mefri
Nilai-nilai keislaman, keberanian untuk menyuarakan sensitivitas dalam masyarakat, serta kemahiran para pemain Salawaik Dulang Sinar Barapi, DC 8, dan Bintang Purnama tentu menjadi kelebihan penampil kali ini. Bukan hanya tampil di Indonesia tetapi mereka juga telah dibawa melakukan tur pertunjukan di benua Eropa. Hal ini disampaikan Ery Mefri saat memberikan sambutan sebagai tuan rumah.
Saya baru kali ini menonton Salawaik Dulang secara full dalam durasi yang panjang. Dan banyaknya ketidaktahuan saya dapat dipuaskan dengan bertanya kepada Budayawan Syarifuddin Arifin yang akrab saya panggil Pak If kebetulan duduk berdampingan dengan saya. Selain kepada beliau, di sebelah kanan saya juga duduk santai menikmati pertunjukan malam itu Kepala Taman Budaya Sumbar Muasri. Mereka berdua ini saya kira berkompeten dan sangat tahu tentang Salawaik Dulang yang kami tonton di Ladang Tari Nan Jombang itu. Tetapi, irama diatonik di panggung depan itu sesungguhnya hal yang akrab bagi saya atau bagi masyarakat badarai di Sumatera Barat ini. Tanpa kita sadari kita sangat akrab dengan tingkah, degup, pukul, bunyi, irama atau sebutan lainnya sebagaimana pertunjukan tradisi di panggung itu. Karena begitu akrabnya, maka nyaris kita pun abai akan keberadaannya di sekitar kita.
DR. Hermawan AN
Hermawan AN, akademisi dan sastrawan mendapatkan kehormatan untuk membuka acara sekaligus meluncurkan program Nan Jombang Grup dan komunitas Galombang Minangkabau tahun 2019. Uniknya, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat Gemala Ranti yang turut hadir saat itu justru mengambil tempat layaknya penonton kebanyakan. Ia tak canggung sedikitpun berbaur dengan penonton di sekeliling panggung.
“Pemain Salawaik Dulang tahan duduk dan bernyanyi jawab berjawab seperti itu sampai dua jam bahkan lebih lama,” bisik Pak If. “Awak ni tak akan tahan duduk selama itu. Diperlukan latihan yang keras dan konsisten agar bisa tampil bagus di atas panggung. Saat mudalah waktunya belajar dan berproses sebab jika sudah berumur, agak payah dapat tampil sempurna dan menghibur seperti mereka di hadapan kita saat ini,” terangnya lagi.[]
窗体底端
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.