Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

RELATIVITAS KEBENARAN



Oleh: Denni Meilizon
Foto disediakan oleh google


BAGAIMANAKAH awal mulanya hingga bibit pohon itu tiba-tiba ada di rumah kami? Pertanyaan itu berdentam-dentam disulut orang tanpa jeda kepada keluargaku.
Asal kautahu saja kawan, sebetulnya yang ditanya tidaklah lebih tahu dari yang bertanya. Kau pernah dengan kalimat demikian bukan? Artinya tak ada yang tahu atau tepatnya tidak ada yang lebih tahu dari siapapun –termasuk dalam keluargaku- kenapa bibit yang sekarang kelihatan kecil itu tetapi nantinya (bisa jadi) bakal menjadi pohon itu ada di sana.
Yang kami tahu, ia tiba-tiba saja ada di sana. Tergeletak begitu saja di dekat pintu. Dari posisi letaknya, mungkin saja ada seseorang, entah siapa yang sudah meletakkannya di sana. Entah siapa itu karena sampai cerita ini kusampaikan kepadamu, aku tidak tahu yang kusebut “siapa” itu merujuk kepada “siapa”. Tak ada catatan yang ditinggal.
Namun, ah nanti dulu. Apagunanya aku bercerita kepadamu jika persoalan karakterpun aku kesulitan untuk membangunnya dalam cerita ini. Tak ada faedahnya cerita zonder karakter. Jadi begini saja, seingatku begini kejadian sehari sebelum bibit pohon itu ditemukan. Sama seperti yang terjadi pada hari-hari kita saat ini, hari itu bukanlah sebuah hari yang membikin perasaan gembira dan bahagia. Hari itu pun, serangkai dengan hari-hari sebelumnya, mungkin hari-hari yang muram semenjak kantor pos berhenti mengirimkan surat-surat cinta kepada orang-orang yang dimabuk asmara. Sejak beras membanjiri pasaran ditengah menyempitnya areal sawah dan ladang di negeri ini.  
Pokoknya, banyak hal yang agaknya seperti sengaja dibuat-buat agar hari-hari tercipta muram. Tak usahlah kuceritakan satu per satu soal itu, kawan. Aku tahu kau pun paham situasinya sebab aku dapat menebak kalau sesungguhnya kau juga sering mengalami kejadian begini; jika sedari pagi buta, udara disasar rasa dingin seperti ular yang merayap diam-diam di tengkukmu, awan hitam pekat seperti perut kera di langit dan angin berembus tidak sesepoi dalam puisi cengeng, maka jelas sekali itu merupakan hari yang murung. Murung semurung-murungnya. Itu bukanlah hari yang gembira. Apalagi, setelah kemurungan itu menguar menjadi gerimis, lalu gerimis menjadi hujan yang deras, dan selama duapuluh empat jam kemudian hujan deras itu ternyata begitu teramat betah menari-nari. Selain menari, ia juga bernyanyi-nyanyi di atas genteng, di atas daun, di atas pohon, di atas tanah, di mana-mana.
Bisakah kau bayangkan, sekiranya ada kemudian kemurungan yang tercipta dari suasana demikian itu, menggumpal dalam keruh maka yang terjadi ada ledakan yang meluap, bisa luapan apa saja tergantung bagaimana kondisimu ketika semua itu terjadi. Maka semua tumpah ruah. Perasaanmu, isi kepalamu dan… air.
Air kawanku, kautahu sesuatu yang amat sangat purba di atas bumi ini sama halnya seperti tanah dan langit. Jutaan atau jika boleh sedikit jumawa agar dramatis, milyaran tahun lampau antara ketiganya amat sangat berkuasa. Di atas kuasa ketiganya hanya Tuhan saja yang lepas dari persekongkolan terencana dan abadi ketiganya terhadap bumi kita ini. Maka beginilah selalu yang terjadi sejak zaman Banjir Bah Nabi Nuh alaihissalam: apabila kedatangan hujan itu melewati batas duapuluh empat jam maka mereka bertiga; air, tanah dan langit akan kompak tidak ketulungan menjelmakan makhluk menakutkan bernama bah. Bah membanjiri seluruh areal seluas mata memandang. Ia tentu tak butuh izin kepada manusia yang dibumi terhampar ini hanyalah pelengkap penderita, walaupun dalam teori sejak manusia beragama disebutkan jika manusia adalah khalifah bumi. Jangankan meminta izin kawan, ketiga sekongkol purba itu malah semena-mena mengirimkan bah dikala semua manusia sedang lengah terlelap dibuai mimpi. Kelelahan mewarnai hari-hari yang muram itu.   
Bayangkan ini, bah mulanya menggenangi jalan di depan rumah dengan pelan-pelan. Selokan yang tak pernah digali dengan bahagia dan gembira itu lama-lama meluap. Bagaimanapun, selokan itu tentu akan meluap juga walau tanpa kusebutkan alasan berupa persekongkolan antara air, tanah dan langit. Maksudku begini, cukup air sebagai hujan itu saja yang turun, tak perlu sederas hari kemarin, maka selokan yang, selain menampung air hujan juga menampung air bekas deterjen cucian piring atau pakaian, minyak lemak sisa makanan, air sisa mandi, sampah plastik kemasan makanan ringan yang dicampakkan anak-anakmu secara sengaja, dan jumlahnya sangat banyak, menumpuk di sana berbulan-bulan, bertahun-tahun. Ada pula dedaunan kering lalu membusuk, walau kemudian hancur juga, namun kau tahu pembusukan daun yang menumpuk di dalam selokan tetap akan memakan waktu yang lama, kaleng bekas kerupuk dan biskuit yang masih bisa kau lihat sisa gambar coreng moreng sebuah keluarga kecil tersenyum gembira memakan roti -mungkin pada pagi hari- di permukaan kaleng. Kadang kawan, ada juga sisa tai. Bisa saja memang sengaja dibuang ke selokan itu atau berasal dari bekas popok anakmu yang paling kecil, tambah dengan bekas pembalut “itunya” perempuan, dilengkapi kantong kresek warna-warni dan banyak sebagainya lagi. Selokan adalah tempat sampah terpanjang di dunia setelah pantai kalau kudengar pula cerita kawanku yang tinggal di kota pinggir pantai.
Kalau kau mau melongok ke dalam gorong-gorong sebagaimana pernah dilakukan oleh seseorang yang beberapa tahun kemudian menjadi Presiden, niscaya akan kau temui segala macam benda yang kusebutkan di atas. Menumpuk, menutupi aliran air. Berdesakan mereka di sana. Berjejal-jejal. Cokelat kehitaman. Belum lagi, daun-daun busuk tadi bersama air hujan yang menggenang berhari-hari, berbulan-bulan lalu membentuk endapan lumpur. Lumpur itu jika sudah menumpuk tak ada yang akan diperbuatnya selain membikin selokan mampet dan mendangkalkan selokan. Kau tahu, jika sesuatu sudah didangkalkan, apapun itu, maka tidak perlu menunggu terlalu lama untuk melihat, isinya akan meluber dank au akan melihat ia akan melimpah juga. Kalau tak percaya, coba sajalah dangkalkan isi kepalamu.
 Kau akan tahu kemudian apa yang terjadi. Kepalamu yang dangkal itu tak akan bisa bertahan menampung apapun. Seseorang tak akan sanggup menasehatimu. Guru-guru akan menghindari engkau, dan pacarmu akan meminta putus tanpa sebab yang jelas. Itupun jika ada seseorang yang mau kau jadikan pacar, yang dikemudian hari menyadari kalau ia telah memacari seseorang yang isi kepalanya dangkal. Boleh saja kau berkilah ia meninggalkanmu tanpa alasan. Tentu kau berlagak untuk tidak bisa menerima. Harga dirimu rasanya diinjak-injak. Mungkin pada kali pertama pacarmu itu tidak tega mengatakan apa alasannya hingga memutuskan hubungan perpacaran kalian. Sebagai mantan pacar, ia masih punya sedikit rasa di lubuk hati terdalamnya, rasa segan mengatakan kepadamu bahwa ia teramat kesal dan kecewa akan kedangkalan isi kepalamu. Egois. Ingin menang sendiri. Tidak mampu melimpahkan kasih sayang.
 Bisa jadi, salah satu kesulitan motivator sehandal apapun dalam menghadapi kepala yang isinya dangkal terletak pada kenyataan ini. Misalnya kini profesimu sebagai guru budi pekerti, maka kau akan tahu kalau isi kepala yang sudah dangkal itu akan membuat pemerintah pun bakal kesulitan untuk mengimplementasikan program pendidikan berkarakter dan budi pekerti luhur di dalam kehidupan keluarga, berbangsa dan bernegara.
Begitulah kalau kau mau tahu bagaimana pendangkalan bekerja. Selokan itu meluap sebab ia sudah dangkal. Ketika bah melimpah ruah ke mana-mana, masuk ke dalam rumah, menenggelamkan apa saja yang tidak bisa berenang.  Kau akan melihat setelah semua yang tidak pandai berenang ini masuk ke dalam kantong mayat (jika manusia), berserakan dengan posisi yang mengerikan (jika balok kayu dan material rumah lainnya), atau apapun yang dulunya menjadi sahabat karib manusia kini disebut rongsokan, maka semua orang sadar dari kesalahan lalu tiba-tiba saleh.
Nanti sambil mengepel lantai rumah, menggosok dinding yang berlumpur atau memunguti sisa barang yang mungkin suatu hari dulu pernah mempunyai kenangan, mereka akan bersungut-sungut. Mengomel. Menyalahkan diri sendiri. Lalu menyalahkan istri atau suaminya. Anak-anaknya. Orangtuanya. Tetangganya. Ketua rukun tetangga. Ketua RW. Begitu seterusnya hingga kadang, entah bagaimana korelasinya, menyalahkan Presiden. Namun, di atas semua sumpah serapah, aku paling iba melihat anak-anak.
Lihatlah mereka itu begitu amat gembira menikmati kolam renang besar itu. Jika kau peduli soal remeh temeh, maka mereka tidak terlalu peduli pada cokelatnya warna bah berupa air yang butek itu. Mereka juga tidak peduli dengan buku-buku pelajaran sekolah yang ikut berenang ke mana-mana. Kadang kawanku yang baik, buku-buku memang bisa berenang jika kebetulan buku itu sedang terkembang. Biasanya buku dikembangkan jika ada yang membaca. Kesialan yang dalam bagi sebuah buku adalah ketika air bah datang tiba-tiba sedang buku-buku tetap tertutup, maka dipastikan ia akan ikut tenggelam, paling tidak terendam bersama dengan segala hal yang tidak pandai berenang tadi. Anak-anak itu menurut pikiranku bisa jadi gembira begitu karena salah satu buku yang tenggelam, sebab jarang sekali dibuka adalah buku rapor.
Kau tahu ini, nilai apapun yang kauperoleh selama engkau sekolah akan dituliskan ke dalam buku istimewa itu oleh gurumu. Maka bergembiralah jika kemudian air bah menghanyutkan buku rapormu. Anggap saja nilai-nilaimu yang jelek, yang ditulis dengan angka merah di sana, untuk sementara dihapuskan. Berharaplah agar guru kelas lupa merekap nilai-nilai itu (biasanya sih tidak!). Atasnama bencana dan kedaruratan, lalu atasnama nama baik sekolah, nilai-nilai di dalam rapor bisa saja ditulis ulang kembali. Bisa saja dibagus-baguskan lagi.
Ketika pagi esok harinya keluarga kami menemukan bibit pohon itu, bah sudah tidak banjir lagi. Hanya saja sekarang luluak lumpur di mana-mana. Tapi tak apa. Seperti halnya nilai di dalam rapor tadi, semua hal bisa dibersihkan. Dikondisikan kembali seperti semula. Maka jangan kuatir akan hal itu. Tetapi, bibit pohon satu ini  malah menyita perhatian semua orang.
Pertama tentu keluargaku. Lalu setelah keluarga, para tetangga kami ikut-ikutan tertarik. Bibit pohon jenis ini belum pernah ditemukan di manapun. Tidak ada yang tahu namanya. Menurutku, ia unik dan oleh sebab itu perlu untuk dikembangbiakkan. Sebagai kepala keluarga yang keputusannya tidak boleh dibantah oleh siapapun, kuambil saja keputusan stategis untuk merencanakan penanaman bibit pohon tersebut di pekarangan rumah. Maka guna keperluan penanaman tersebut keesokan harinya lagi, keluargaku pun melangsungkan sedikit ritual, semacam pemberian nama. Anakku yang bungsu yang menuliskan cita-citanya untuk jadi menteri kelautan di atas buku yang diredam banjir bah, spontan menamai bibit pohon itu “Pohon Kenapa”.
Kau tentu saja bertanya, mengapa ia memberikan nama demikian. Entahlah, aku juga tak tahu dan tidak ambil pusing untuk mempertanyakannya. Beberapa hal dalam hidup ini memang terkadang tidak usah terlalu dipertanyakan alasannya. Misalnya saja, kenapa bibit pohon temuan kami itu bernama “Pohon Kenapa”. Bisa jadi begini kawan, sebab ia diberi nama oleh seorang anak kecil, dalam hal ini anakku, maka bisa jadi nama itu berasal dari luapan isi kepalanya saja. Isi kepala kanak-kanak yang sehari-hari sudah penuh dijejali oleh tayangan televisi, permainan game dan omelan-omelan orangtua.
Dan kau pasti sudah tahu pula bukan, jika pada galibnya sebagian besar tayangan-tayangan televisi itu sebetulnya juga tanpa memiliki alasan yang jelas betul manfaatnya kenapa dipertontonkan kepada keluargamu. Banyak hal disekitar kita, yang kita nikmati dengan gembira ternyata hanyalah omong kosong belaka, tidak berarti apapun.[]

Padang, 2018

TENTANG PENULIS
Denni Meilizon, lahir 6 Mei 1983 di Silaping Pasaman Barat. Seorang pembaca dan pecinta buku. Senang mendengarkan musik, diskusi dan traveling. Blogger dan coffee addictive. Tinggal di Kota Padang.

(Dimuat Harian Umum HALUAN PADANG edisi Ahad 13 Januari 2019, halaman 13).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.