Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Mandehe Holi: Meraup yang Terserak, Menggali yang Terbenam




Beri aku Tambo jangan Sejarah.  Aku ingin tuak penuh ragi dan tidak bangkai-bangkai yang menyerah! - (RUSLI MARZUKI SARIA)

ADALAH benar jika nenek moyang orang Mandailing bukanlah turunan dari Raja Batak jika merujuk kepada Kitab kuno Nagarakertagama (berasal dari abad ke-14) yang ditulis oleh Mpu Prapanca.  Pada Pupuh XIII dari kitab yang menjadi salah satu sumber sejarah zaman kuno itu disebutkan bahwa Mandahiling merupakan salah satu “Negara bawahan” dari kerajaan Majapahit.  Begini bunyinya: “Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ning Jambi mwang Palembang I Teba len Darmmacraya tumut.kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak I Rekan Kampar mwang Pane/kampe Haru athawa Mandahiling I Tumihang Perlak mwang I Barat.”
Dan ketika keotentikan  Nagarakertagama tidak terbantah, maka dapat ditarik kesimpulan pula bahwa Kerajaan Mandahiling merupakan salah satu wilayah ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1287 caka (1365 M).
Selain itu, ada satu lagi bukti menarik yang dapat kita peroleh dari sastra klasik Toba-tua, dari Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar (Batara Sangti, 1977:278), penyebutan Mandailing sebagai tano padang bakkil bandailing. Adapun bunyinya sebagai berikut:

“Baen ma gondang ni Ompunta, Tuan Humara-Hiri, Si Humara Naboru, par-aji tamba-tua, par-aji pulung-pulungan; sinonduk ni Ompunta Sibaso Nabolon, na marsigantung ditali siubar, na meat di mombang boru”
“Sian tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano bakkil bandailing, tano siogung-ogung, parsirangan ni tano, pardomuan ni aek, Sian ima dalam laho tu  ginjang, partiatan ni Ompunta: Debata Natolu Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on.”
“Disi ma parangin-anginan ni Ompunta ‘Siboru Deak Parujar’, sideak uti-utian, sigodang ujar-ujaran.”
Menurut Batara Sangti, Tonggo-tonggo ialah doa yang disusun secara puitis dan diucapkan dalam ritual sajian besar dan kecil (1977:270). Dalam Tonggo-tonggo sebagaimana kita paparkan di atas, jelas disebutkan sekali lagi bahwa tano padang bakkil bandailing/mandailing tanah yang termasyhur, bagaikan suara gong (ogung, sejenis alat musik yang berbunyi keras sehingga dapat didengar dari jarak jauh) yang merdu sehingga menarik perhatian. Dari Tano (tanah) Mandailing itu terdapatlah jalan untuk menuju ke atas (ke langit) sebab pada tanah itu pulalah ada tempat turun (penurunan) dari nenek moyang (Ompu) kita (Batak): Debata Natolu Suhu, Empat kerajaan turun ke “benua tengah” (bumi).  Tanah Mandailing, jika kita cermati mitologi yang diramukan dalam Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar tersebut mengindikasikan satu hal bahwa di tanah Mandailing-lah merupakan tangga jalan menuju ke atas (langit, kahyangan) dan sekaligus juga merupakan tempat turunnya Debata (dewa) nan tiga ke bumi (banua tengah).
Ahai, membaca berulang kali tonggo-tonggo ini malahan menguatkan asumsi saya jangan-jangan Batak justru berasal mula dari tanah Mandailing bukan sebaliknya. Apalagi disebutkan pula jika Si Boru Deak Parujar acap bertamasya dan berkunjung ke tanah Mandailing (Disi ma parangin-anginan ni Ompunta ‘Siboru Deak Parujar’). Selaras dengan larik yang berbunyi ”… Sian ima dalam laho tu  ginjang, partiatan ni Ompunta…”. Sebab keagunganlah maka sebuah tempat menjadi begitu penting dan istimewa bagi para dewa, dalam mitologi.
Kemudian bagi masyarakat dalam lokus budaya tersebut ketika diberikan pertanyaan iseng seperti mana yang penting menjadi rujukan sejarah ataukah mitos (mitologi)? Umumnya bakal menjawab akan mempertimbangkan pemakaian dua jalur tersebut. Namun, bagi kalangan akademisi tentu tidaklah demikian adanya. Cerita dalam tambo (di Minangkabau) atau tonggo-tonggo (Batak) dan turi turian (Mandailing) mesti kesahihannya diragukan sekaligus tidak juga harus diabaikan begitu saja.
Membahas kebudayaan tentu tidak akan pernah cukup ruang, apalagi jika kebudayaan yang dibicarakan itu telah berhujan panas ratusan atau ribuan tahun di muka bumi ini. Dibutuhkan aneka ragam sudut pandang kearifan berpikir dan ilmu pengetahuan untuk dapat menjelaskan minimal memberikan gambaran umum bagaimana dan apa budaya Mandailing, Batak dan Minangkabau itu.
Misalnya, karena diperoleh sebuah kesimpulan jika Marga Nasution memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau maka, oleh Budayawan Mandailing sekaligus juga sutradara film daerah Drs. Askolani Nasution telah mulai mengerjakan proyek awal bertajuk Pembuatan Film kolosal bekerja sama dengan Ikanas (Ikatan Keluarga Nasution) demi memberikan kepada khalayak gambaran hubungan Mandailing dengan Minangkabau. Kepada penulis diberikan sedikit bocoran sinopsis cerita film ini.
Bermula dari niat Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau untuk memperluas wilayah kerajaannya ke wilayah Mandailing. Maka diutuslah panglima perang Batara Gorga Pinayungan. Pemberangkatan itu dilakukan di halaman istana Pagaruyung dengan upacara resmi kerajaan.
Sepanjang perjalanan menuju Mandailing, Batara Gorga Pinayungan melakukan penaklukan daerah-daerah mulai dari Panti, Rao, Talu, Simpang Ampek, dan Batahan di Pasaman. Sambil meneruskan perjalanan, tiap daerah taklukan ditinggalkan pasukan Bala Tentara Kerajaan. Pasukan selebihnya bergerak ke wilayah Lingga Bayu dengan Langga Bayu sebagai pimpinan pasukannya. Sebagian lagi berbasis di wilayah Banjar Malayu, tepatnya di Kerajaan Talamau, sebuah kerajaan Orang Bunian.
Putri Rumondang Bulan, sebagai putri Kerajaan Talamau, setiap malam menggoda Batara Gorga Pinayungan yang sedang tidur. Ikat kepala Batara Gorga Pinayungan dicuri oleh Putri Rumondang Bulan dan ditukar dengan selendang. Tiga malam lamanya godaan-godaan itu dilakukan oleh Putri Rumondang Bulan. Pada hari ke empat, Putri Rumondang Bulan muncuk dengan tubuh kasar. Mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Hingga pada hari yang ditentukan, Batara Gorga Pinayungan dan Putri Rumondang Bulan dinikahkan di Kerajaan Talamau dengan pesta besar-besaran.
Ketika kehamilan Putri Rumondang Bulan berusia enam bulan, Batara Gorga Pinayungan dipanggil pulang ke kerajaan Pagaruyung. Tinggallah Putri Rumondang Bulan dengan kesedihan ditinggal suami, hanya ditemani beberapa pengawal dan dayang-dayang Talamau saja. Ia kemudian melahirkan anak laki-laki yang sakti, Sibaroar.
Tokoh Sibaroar ini pada ujung cerita ditetapkan sebagai Raja Panusunan Pertama membawahi kerajaan-kerajaan di bawahnya dengan menyembelih tujuh kerbau untuk proses penabalan. Pengangkatan itu disertai sumpah setia dan dihadiri semua masyarakat “nasutio” (yang setia). Klan Sibaroar sejak itu disebut dengan Nasution.
Menariknya, jika di Minangkabau suku-suku berinduk kepada Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang maka di Mandailing setiap puak atau marga justeru punya nenek moyang yang berbeda-beda, berdiri sendiri dan punya kisah masing-masing. Lain pula jika kita mengkaji Tarombo Si Raja Batak yang dikatakan merupakan asal nenek moyang orang Batak.
Untuk mengkaji persoalan tarombo inilah, pada hari Minggu (7/1) lalu oleh gabungan Organisasi Mahasiswa Daerah terutama dari Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Pasaman Barat, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Pasaman Timur, dan Tapanuli Selatan yang sedang menimba ilmu di segenap perguruan tinggi di kota Padang dilangsungkan acara Seminar Kebudayaan bertajuk Tarombo Marga. Didatangkanlah tiga orang pemapar materi yakni Raja Panusunan Huta Siantar Hasanul Arifin Nasution, Budayawan Mandailing dan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Dikbud Kab. Mandailing Natal Drs. Askolani Nasution dan  Ketua Karang Taruna Mandailing Natal Al-Hasan Nasution.
Dalam kegiatan tersebut Hasanul Arifin Nasution mengkaji persoalan Marga dan dimensi kekerabatan tradisional Mandailing, sedangkan  Al-Hasan Nasution mengkaji sisi sejarah persoalan Batak dan Non-Batak sementara  Askolani Nasution dari segi dimensi arkeologi dan linguistik.

Seminar ini menjadi menarik karena antusiasme para peserta mempertanyakan berbagai konteks kekinian kebudayaan Mandailing. Termasuk apa yang Mandailing, marga-marga lain, batasan budaya, konteks Angkola, Padang Lawas, hingga kawasan pesisir timur Sumatera.

Dalam seminar tersebut menyepakati kesimpulan bersama bahwa kebudayaan Mandailing sudah sangat tua, bahkan jauh sebelum masuknya peradaban Megalitikum di Desa Runding. Mandailing juga disimpulkan sebagai satu bangsa yang utuh, bukan sekedar etnik.

Kesimpulan penting lainnya adalah pemahaman bersama bahwa kawasan Angkola-Sipirok-Padang Lawas dan Mandailing merupakan satuan wilayah adat yang sama dan kohesif. Perbedaan antara Mandailing-Angkola-Padang Lawas hanya pada tataran linguistik saja, pada logat dan cara pengucapan, bukan pada perbedaan entitas kebudayaan.
Salah satu unsur penanda keberadaban budaya bangsa Mandailing adalah dengan keberadaan Aksara Tulak-Tulak. Aksara Tulak-Tulak merupakan kumpulan komposisi simbol atau karakter khas, mirip dengan Pallawa dan Sangsakerta. Setiap simbol mewakili satu suku kata. Berjumlah 28 simbol karakter huruf. Di Mandailing surat tulak-tulak dipergunakan untuk menulis pustaha. Ada pustaha yang terbuat dari kulit kayu atau lak-lak yang dilipat-lipat, dan ada juga yang terbuat dari satu ruas atau beberapa ruas bambu. Pustaha yang terbuat dari kulit kayu yang dilipat-lipat biasanya berisi mantra-mantra dan cara-cara penyembuhan tradisional. Selain itu ada juga yang berisi ilmu perbintangan (semacam ilmu astrologi), ilmu meramal, dan ilmu-ilmu gaib. Sedangkan pustaha yang terbuat dari bambu satu ruas atau lebih, biasanya berisi tarombo atau silsilah keluarga. Maka, sebagai bagian dari pelestarian dan edukasi oleh budayawan Mandailing Drs. Askolani Nasution dkk. aksara kuno ini didigitalisasi kemudian diimplementasikan pemakaiannya (masih versi beta) untuk pengguna Microsoft Office. Menurut Askolani Nasution, aplikasi ini menggunakan huruf yang disesuaikan dengan batasan-batasan kaidah penulisan penggalan kata Mandailing. Selain itu, ada beberapa karakter yang didesain lebih lentur, selaras dengan tipikal manusia Mandailing.
Harry Parkin dalam “Batak Fruit of Hindu Thought” (1978:101) menyimpulkan bahwa aksara tersebut masuk ke daerah Toba dari Mandailing. Dan secara bertahap dan alamiah, dari Toba jalan yang dilaluinya bercabang dua mengelilingi danau, satu cabang bergerak memasuki Simalungun dan cabang yang satu lagi memasuki Dairi. Dari sana masuk pula ke Karo.
Sementara itu, Prof. Dr. Uli Kozok dari University of Hawaii, dalam “Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII” (Jakarta 2009: École française d’Extrême-Orient, Kepustakaan Populer Gramedia), menyebutkan aksara di kawasan Tapanuli mula-mula ada di Mandailing. Kesimpulan itu berdasarkan perbandingan dan analisa nama-nama huruf diakritik oleh Uli Kozok.
Kita tentu tidak boleh pula menafikan teks berupa laporan perjalanan orang-orang asing sebagaimana dimuat dalam buku yang disusun oleh Anthony Reid, Witnesses to Sumatra, A Travellers’ Anthology (terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Komunitas Bambu dengan judul Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka).   Dalam catatan William Marsden, F.R.S dalam The History of Sumatra (1811), dapat pula kita baca dan menelaah kehidupan masyarakat abad ke 17 – 18 di pulau Sumatera, termasuk pembahasan tentang kawasan Sumatera bagian Tengah, Timur dan Utara. Tentu masih banyak buku sumber bacaan soal ini ditulis dan dapat diakses dengan mudah.  
Sekiranya ditariklah sejarah ini hingga ke tahun 1922 dan 1925, menjadi jelas duduk soal bagaimana polemik saling klaim, saling bantah dan lainnya itu tak lain badai besar yang ditimbulkan dengan sengaja oleh kolonial Belanda. Politik adu domba telah merambah tatanan yang sebelumnya relatif aman dan damai di Sumatera bagian Utara hingga ke Selatan.
Indonesia sebagai simpul erat kebudayaan nasional ditopang kuat oleh dinamika kebudayaan daerah yang ratusan jumlahnya. Artinya, begitu kebudayaan daerah goyah, maka kebudayaan nasional pun ikut terbawa arus. Merawat keberagaman dengan cara memelihara dan mengembangkan kebudayaan daerah dan kearifan lokal harusnya lebih utama untuk kemajuan Bangsa Indonesia.
Bukankah hidup berbangsa, berbudaya, berbahasa dan bertanah air satu dalam bingkai NKRI lebih kita utamakan daripada tetap terbawa angin pasca kolonial belaka?

  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.