BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
(Membaca
kumpulan puisi “Jalan Menangis Menuju Surga” )
IG:
@dennimeilizon
BUKU
kumpulan puisi “Jalan Menangis Menuju Surga” merupakan rumah bagi 73 (tujuhpuluh
tiga) puisi yang unik dan bikin gemas.
Pertama sekali membuka lembarannya, terpikirlah kesulitan pertama bagaimana
hendak menarik benang merah dari sekumpulan puisi di dalamnya, sebab seketika
dalam pandangan pertama, tersimpulkan betapa gagasan puitik penyair Mohammad
Isa Gautama yang terkandung di dalamnya begitu meriah. Menyerahkan kesimpulan
kepada judul buku itu sendiri, jelas merupakan tindakan tanpa harapan, sebab ia
ditarik dari judul salah satu puisi yang artinya judul buku bukanlah gambaran tema
besar, tidak memberikan gambaran apapun terhadap isi buku puisi ini.
Penyair Mohammad Isa
Gautama bukanlah sastrawan kemarin sore. Perjalanan panjang kepenyairannya
tidak dapat dibaca sekali lalu saja melalui aneka puisi dalam buku kumpulan
puisi ini. Penerbit buku barangkali sudah bersungguh-sungguh menguratori
puluhan puisi penyair kelahiran Padang 21 November 1976 silam ini. sehingga
membaca buku puisi Jalan Menangis Menuju Surga bagaikan memasuki sebuah pusat
keramaian atau merunut kemungkinan tema puisi dalam buku, tersaji tentang beragam
emosi manusia, yang terbingkai dari rupa-rupa pengalaman dan perjalanan.
Adalah sebuah keharusan
jika sekumpulan puisi yang puluhan banyaknya dalam sebuah buku dibaca
dua kali
atau berulang-ulang. Sifat bahasa puisi yang ambigu, metafor dan multitafsir
(tergantung pengalaman, wawasan, kedalaman emosi dan pemahaman pembaca)
menegaskan secara teknis bagaimana perbedaan cara membaca puisi dengan prosa.
Jangan menggunakan teknik membaca prosa jika hendak membaca puisi (buku puisi).
Maka, pada pembacaan yang kesekianlah segaris benang merah berkedip-kedip dalam
benak, kesyakwasangkaan kalau puisi-puisi penyair yang diundang secara istimewa
pada perhelatan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 ini berkabut,
tegak sendiri, dan tak mampu mengantarkan ide gagasan penyair, justru tercairkan
memberi rasa manis setelah pembacaan berulang kali.
Pada beberapa puisi, Mohammad
Isa Gautama mengusung gagasan tentang cinta. Jika melihat titi mangsa bertahun
1990-an hingga 2017 (sayangnya, karena keterbatasan ruang kita hanya akan
membahas beberapa puisi yang menurut saya kuat dan imajinatif saja), kitapun
mahfum dalam suasana usia berapakah ia menuliskan puisi ini. Perkembangan puisi
yang ditulis penyair dari tahun ke tahun, menunjukkan kepada kita, tidak ada
kata berhenti bagi Mohammad Isa Gautama. Ia selalu melakukan percobaan bahasa,
membaca, merenung dan mengamati (kontemplasi, elaborasi, eksplorasi dan
eksperimentasi) yang menjadi asupan, memberi mutu tiap puisi. Apabila ditilik sesuai
titi mangsa, didapati bentuk peningkatan yang mengagumkan. Ia berproses dengan
kreatif. Melakukan pembaharuan daya ungkap dan kedalaman penjelajahan pada tema.
Penyair menciptakan puisi bukan sebab ada kesan, dari pesanan dan bukan dari
keharusan menulis puisi. Bahan baku puisi ia peroleh dari pembauran segala hal
yang memenuhi tempurung kepalanya. Ia meramu bahan baku dengan pengalaman
sehari-hari. Puisi lahir karena memang sudah waktunya untuk dilahirkan sebagai
sebuah dunia kreasi dari pikirannya. (terkait alasan Penyair menulis puisi
dapat dibaca dalam kata pengantar dalam buku puisi Jalan Menangis Menuju Surga,
Penerbit Basabasi, 2017).
Tahun 2012 ketika
Mohammad Isa Gautama berdomisili di Kingston Hull Inggris sebuah kota ketika
pada tahun 2016 silam digunakan oleh seniman Fotografi Spencer Tunick sebagai
lokasi pengambilan foto bugil massal bertema Sea of Hull dengan objek ribuan manusia yang tubuh telanjangnya
dilukisi warna biru laut (Saya harus menanyakan kepada Mohammad Isa Gautama
apakah pada bulan Juli 2016 dia masih di Hull atau sudah pulang ke Padang, saya
ingin tanya bagaimana rasanya melihat ribuan orang bugil bak cerita di padang
masyar). Di Kota Budaya Inggris Raya itu, penyair sedikitnya menulis 13 (tigabelas)
puisi yang terkurasi menjadi bagian dari buku ini. Selain Hull, Ia berjalan
dari Padang, kota pantai dengan ombak Purusnya yang beriak curiga, Batusangkar
di mana cintanya mungkin terpaut, Tegallarang, Keliki dan Ubud di Bali ketika
menjadi Emerging Writers UWRF 2017, dan kota Bandung, sebuah kota yang didirikan
konon di atas tempat yang 125 ribu tahun silam merupakan danau purba.
Melalui puisi-puisinya,
Mohammad Isa Gautama menggali tema-tema kecil. Ia menulis dalam kata pengantar
bahwa menulis puisi baginya merupakan suatu cara untuk membangun ruang yang
lebih komunikatif terhadap realitas. Realitas setiap orang tentu berbeda
sehingga akan berbeda cara memandangnya. Puisi-puisinya dibangun dari kondisi
tragik kehidupan manusia, tentunya yang paling akrab menjalin interaksi dengan
penyair yang seperti ia sampaikan sangat
sayang dilewatkan begitu saja tanpa memiliki cara atau medium yang bersifat
reflektif. Ia menyebutnya sebagai hubungan istimewa antara penyair,
realitas dan puisi.
Maka, tahun 1991 ia
menulis “Sajak Tentang Kita”, sebuah saja satu bait pendek dengan metafora.
Sebuah teropong mainan ia konotasikan secara simbolik sebagai “aku ingat Rakib dan Atib/ yang setia
mengintip/ di balik layar kehidupan/ manusia sibuk main/ aku ada di dalamnya//.
Puisi yang ditulis pada bulan Mei 1991 di Padang ini memberi kita sebuah
imajinasi yang literat. Pengetahuan penyair tentang tugas malaikat Rakib dan
Atib dalam ajaran agama Islam, menjadi pemandangan puitik dan membaluri puisi
pendek ini. Tingkat pengetahuan seseorang menjadikan tafsiran puisi menjadi
berbeda dari tiap pembaca. Hal tersebut tercermin pula dalam puisi “Jawa, Aku
Datang”. Penyair dengan keluguan remaja menggambarkan Jawa sebagai sebuah
tempat yang bakal mengubah masa depan. Tentu ia membayangkan masa depan yang
baik dan cerah. Puisi ini di tulis di atas kapal laut yang menyeberangi Selat
Sunda, sebuah selat yang memisahkan pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Adakah kenangan masa depan yang akan
kutempuh di tanahmu seindah tenggelamnya surya itu, tulis Mohammad Isa
Gautama. Ada beberapa diksi menarik yang kita peroleh dari puisi pada halaman
18, buku “Jalan Menangis Menuju Surga” itu. beberapa sekedar menyebutkan
contoh, bergulung-gulung rasa, tertatih lajunya oleh angan-angan dan dingin angin berebutan melumuri tubuhku.
Pergumulan penyair dengan literatur yang bermutu, kemampuan membaca dan suasana
keluarga yang mendukung tentu saja menjadi pemantik kekayaan diksi, yang
menjadi sebuah keniscayaan dalam mencipta puisi.
Diksi yang nikmat dapat
kita baca pada puisi “Mataku: Matamu” (hal. 34). Puisi ini terdiri dari 4
(empat) bait. Mataku jendela yang senang/
mengintai cintamu/ yang tak mau keluar dari sarangnya berdebu// mataku ruang
yang akrab/ mengukur gerakmu/ yang tak ingin membagi jaraknya/ ke arahku//.
Puisi ini mencoba memposisikan mata sebagai ukuran dan ruang bagi sebuah emosi
purba yang dimiliki manusia yaitu cinta. Di sana aku liris menjadi seseorang
yang bahagia, tabah, mengukur, dan menaruh harapan. Puisi ini mengukur cinta
dengan menggunakan mata sebagai layar dan wadahnya.
Selama menetap di
Inggris karena melanjutkan pendidikan, penyair sempat memotret Kingswood dengan
sebuah toko yang menjual mainan yang
menggoda/ di gerai paling berwarna. Mainan yang dibutuhkan oleh anak gadis
dengan cara menyeret langkahmu ke sana.
Ia seret langkah ibunya memasuki toko atau gerai penuh mainan. Kingswood
dimainkan dalam ungkapan absurd berikut, ibu,
aku ingin tertipu oleh boneka itu/biar kuusir seluruh luka, dan masa depan tak
lagi ragu/ mendekat dan bermain, mempesiangi tawaku// (Orang-orang
Berbelanja di Kingswood). Sajak-sajak
perjalanan memang memenuhi isi buku ini. Sebagaimana telah disampaikan di atas,
penyair menuruti nasibnya sebagai “pengelana” yang diberkahi dapat mengunjungi
beberapa kota. Kingston Hull di Inggris salah satunya beserta kota-kota Inggris
Raya di sekitarnya. Penyair mencatat musim (dingin dan gugur) dalam sajak liris
dan emosional.
Salah satu puisi yang
berbicara tentang musim, puisi Hujan di Tepi Musim terasa imajinatif. Pembaca
dapat merasakan hujan yang turun setelah musim panas. Meriapkan laksana salju/ menggusur daun-daun tua. Puisi ini
dipersembahkan untuk seseorang bernama Hayan. Sayangnya kita tidak punya
informasi siapa Hayan yang dimaksud dalam puisi ini. Barangkali teman penyair
sendiri. Tetapi, melalui puisi ini dapat kita bayangkan suasana orang-orang
yang pulang perlahan alih-alih tergesa ke rumah. Orang-orang yang menunggu bus merah pengantar sunyi. Memasuki bus
antar kota lalu mendapati tidak ada bunyi perbincangan selain orang-orang yang
berbincang dengan diri sendiri. Maka dalam sunyi yang asyik itu, mata menghitung wajah-wajah skizofreni. Apa
yang dihasilkan oleh kumpulan manusia dalam sebuah ruang tanpa perbincangan
adalah ketakutan yang misterius, mungkin kecurigaan yang asing. Bait penutup
puisi ini mengantarkan kita kepada suasana perjumpaan sebuah keluarga. Aku
liris bercerita tentang kampung halaman, sebuah negeri di timur. Negeri yang
dihias pelangi ketika hujan reda.
Dalam perjalanan
puitiknya ke pulau Bali, sebuah puisi tercipta lalu dipersembahkan kepada I
Wayan Juniarta. “Orang-orang Sembahyang di Lodtunduh” merupakan sebuah puisi
dalam 5 (lima) bait yang disusun masing-masing 4 (empat) larik bersajak. Merupakan
sebuah puisi yang berhasil dari beberapa puisi dalam buku “Jalan Menangis
Menuju Surga” ini. Pada titik inilah dapat disebut bahwa penyair yang tabah
menjalani proses ini menemukan bentuk. Pada tahun belakangan ini, lewat
pembacaan kita pada puisi-puisi Mohammad Isa Gautama, penyair yang matang di
batang bak buah ranum ini agaknya semakin didera kenikmatan mencipta. Ia tanpa
tedeng aling-aling berkata, sawah dan
nyanyian yang kau tonton di televise/ dan seringai orang yang berkuasa dengan
lapar/ masih akan selalu kau dapati kain pantai Sukowati/ atau lapak ibuku yang
menawar benih puisi//.
Benih puisi akan selalu
lahir dari pena penyair Mohammad Isa Gautama, walaupun kelak puisi tetap sunyi,
sendiri, tercecer di luka Puputan/ di
bulir manik tergerai/ kusambut jemari Leak insaf/ membasuh pura rinai.[]
Simpang Ampek, 6
Februari 2019
*Redaktur Tamu Tetap Halaman BUDAYA HALUAN, Harian
Umum Haluan Padang.
Artikel ini telah dimuat oleh Harian Umum HALUAN PADANG edisi Minggu 10 Februari 2019 pada halaman BUDAYA.
Artikel ini telah dimuat oleh Harian Umum HALUAN PADANG edisi Minggu 10 Februari 2019 pada halaman BUDAYA.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.