BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
IG: @dennimeilizon
![]() |
foto disediakan oleh Picbon.com |
JIKA kritikus Ivan Adilla memandang melalui kumpulan puisi "Lelaki
dan Tangkai Sapu", bahwa Iyut Fitra telah bermetamorfosis dengan perspektif yang
terbarukan, maka sangat benarlah pemandangan tersebut. Tak kurang dari berbagai
diskusi informal, membicarakan juga kelahiran buku puisi penyair Iyut Fitra ini
sebagai bentuk masterpiece Iyut
Fitra, melampaui pencapaian daripada puisi-puisi yang terkumpul dalam beberapa
buku puisinya, yang beruntun terbit beberapa tahun berselang ini. Memang, membandingkan pencapaian dari produk
pikiran, buku yang ditulis penulis yang sama, merupakan cara mudah untuk
menggumuli proses kreatif. Terhadap banyak kumpulan puisi yang dilahirkan
penyair kelahiran Payakumbuh ini, mengajukan kumpulan puisi Baromban, Lelaki
dan Tangkai Sapu, dan Mencari Jalan Mendaki, sebagai kajian perbandingan puisi
yang dilahirkan Iyut Fitra cukup membantu pembaca dalam memilah, mendalami
proses kepenyairan dan meraup kekuatan kata dalam puisi sampai di mana ia
berpengaruh ke dalam pengalaman puitik pembaca. Di antara ketiga buku itu,
sekali lagi, buku kumpulan puisi Lelaki dan Tangkai Sapu (Penerbit Kabarita,
2017) merupakan yang terbaik dengan pencapaian daya ucap, daya ungkap dan
kedalaman tema yang bermetamorfosis dengan perspektif yang terbarukan.
Puisi-puisi dalam buku Lelaki dan
Tangkai Sapu memuat puisi yang dibagi ke dalam 41 (XLI) puisi. Memakai gaya
tuturan, bercerita atau berkaba.
Objek penceritaan adalah seorang tokoh imajiner bernama Malin (puisi ke XII,
bagaimanapun Malin merupakan nama lelaki kebanyakan di Minangkabau). Sedangkan
latar instrinsik dan ekstrinsiknya antara kampung (ranah) dan rantau, dua
tempat yang ditandai sebagai wilayah kemanusiaan Malin sebagaimana disebutkan dalam
puisi (I), “jadilah kau jantan yang akan
melangkahi tangkai sapu!”/ dan jalan-jalan kecil sepanjang ranah/ dua tiga
kelokan juga lembah/ orang-orang himbaukan perihal kehidupan/asal mula
kedatangan/lalu musim mengalir//. Setiap kelahiran lelaki Minangkabau
adalah dibukanya jalan lapang menuju perantauan. Lelaki di Minangkabau
ditradisikan untuk merantau, bukan penetak, peneruka, pencangkul kampung
halaman. Tradisi merantau mengajarkan bahwa kampung halaman merupakan sebuah
tempat pulang setelah lelah, setelah habis kaji, setelah tidak berguna lagi.
(bagi kampung halaman, bukan fisik perantau yang terpenting tetapi mengalirnya
investasi, modal, dana, dan benda berharga lainnya ke kampung). jantan yang telah melengkingkan kata
pertama/ ia lihat semua yang hanyut merasuki mimpi/ menjadi pepatah dan
petitih/ menjelma gulungan-gulungan pituah/ alas pun diletakkan// serupa
kepalan nasi di simpang dan tikungan/ suatu saat nanti akan dipahami/ ia telah
lahir sebagai bujang kampung ini/ merantaui kehidupan//.
Puisi sebagai teks sastra merupakan
karya intelektual. Sastrawan selaku intelektual atau
cendekiawan adalah pemantik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dengan ide-ide gagasan
barunya di bidang sastra. Terlepas apakah kemudian sastrawan dan karyanya
dibaca dengan kacamata gramcian, sosiologi pengetahuan, sejarah mental dan lain
sebagainya. Bagi banyak penulis istilah intelektual dan intelegensia
mengesankan sebagai pemikir yang kritis, progresif, ditambah dalam bahasa Karl
Menhaim “terasing dan terpisah dari masyarakat.” (S.Jai dalam essai “Perang dingin Estetik Puisi dan Fiksi”, 2011).
Iyut Fitra sebagai seorang penyair menunjukkan keintelektualannya melalui
pengamatan, pemaknaan dan perenungan yang pada akhirnya berujung kepada
kelahiran karya sastra, puisi (sesekali Iyut Fitra juga menulis cerita pendek)
yang walaupun bernilai subjektif tetapi karena sastra mencatat dan memberi
pengetahuan, maka fungsinya dapat mengubah kehidupan malah dapat membangun
peradaban. Teks puisi ke-IX dalam Lelaki dan Tangkai Sapu dapat kita jadikan
contoh. Puisi ditulis dalam dua bait saja, mengisahkan perjalanan Malin menuju
rantau. dan ia lelaki yang terus mencari
kata-kata/singgah di lepau itu/bermula dari rimbun daun/ jemur di tungku dan
disangai/ di pondok bambu//…. dan ia lelaki yang tersandar di lepau itu/
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga/ konon, 1840 gudang-gudang berdiri
angkuh/ kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke mana/ (teks
lengkap dapat dibaca pada halaman 17 buku puisi “Lelaki dan Tangkai Sapu”). Penyair berbicara melalui teks yang ia
bangun. Pemikiran dapat ditelusuri dari kata dan daya ungkapnya. Dan,
puisi-puisi Iyut Fitra telah memasuki wilayah intelektual, sarat pengetahuan
dalam konteks tema buku Lelaki dan Tangkai Sapu ia bicara perantau, rantaunya
dan sosio-kultural masyarakatnya. Penyair meneliti, merenung dan memandang
dengan mata lahir dan batin. Sebab itulah puisi-puisi Iyut Fitra terwujud indah
dan sampai ke hati.
Aktivitas
kejiwaan yang dikandung puisi-puisi dalam buku yang sedang kita bicarakan ini
dapat ditinjau dalam beberapa puisi, antara lain Puisi (I) ketika bicara
kelahiran, Puisi (III) yang berbicara pengenalan diri; akulah jantan yang tumbuh dengan tubuh menggeliat dari jendela/ kulihat
kanak-kanak berombongan meningggalkan rumah/ pergi mengejar kaji/ setelahnya
bermain bernyanyi-nyanyi/ sudah berapakah usiaku?/, Puisi (IV s/d XII)
menyoal eksistensi si-aku liris (dan kitapun menemukan nama Malin pada puisi ke
XII ketika ia berkenalan dengan Puti, gadis bersunting pada puisi ke-XI), Puisi
(XIII s/d XXIII) perjuangan sebagai manusia (berlatar perantauan, tanah orang),
Puisi (XXIV) kilas balik kesadaran jiwa, kurasa
debur itu, dada yang gemuruh/ malin namaku/ lelaki yang tak punya kapal. Lelaki
yang tak ada dalam legenda/ mengurak langkah menuju pulang//, Puisi (XXV)
tentang lintasan kenangan masa lalu di kampung, Puisi (XXVI) kepulangan ke
kampung halaman (ranah). Malin menderita secara psikologis. Puisi ke-XXV
merekam kesedihan pada kemalangan, kegalauan, kecanggungan orang rantau dan
perasaan yang mengharubiru lainnya. Teks puisi yang mencatat pengalaman batin
ini bakal membuat airmata terurai. Ia merupakan pengalaman semua orang. Dirasakan
oleh setiap manusia yang hidup dan berakal.
Oleh sebab
penderitaan itulah, yang akhirnya membuat seseorang - kita sebut saja Malin - mengambil
keputusan untuk menikmati penderitaan itu dalam ruang sempit saja, kampung
halaman. Ruang sempit yang mungkin dapat meluas apabila menampung emosi dan
empati dalam diri. Puisi ke-XXVII hingga ke-XLI menyiratkan hal tersebut. Untuk
apa merantau jika rasanya sama aja, emosi itu yang menghujam ke pangkal jantung
terasa pedihnya sama saja? Dari jauh di
tengah baying kampung dan kota/ dendang rusuh tentang pergi dan kembali/ atau
rantau juga risau/ ia lihat sekawanan pipit dihempas-hempas angin/ cuaca dan
udara betapa bimbang/ antara lengkung gonjong dan lumbung/ juga sudut-sudut
kafe dan lirih penyanyi tua/segala kata dalam petuah// (XLI).
Keseluruhan
puisi dalam buku ini memang disusun dengan matang. Beberapa bagian mungkin
telah disesuaikan, sebab pada pelbagai media massa dapat kita jumpai
puisi-puisi Penyair Iyut Fitra yang termaktub dalam buku ini telah tersebar
luas dengan judul yang berbeda, tentu saja. Akhir kalam, “Lelaki dan Tangkai
Sapu” sebuah buku puisi yang layak mendapatkan apresiasi tinggi dalam khazanah
kesusastraan Indonesia. Barangkali juga bagi dunia, jika suatu saat buku ini
dapat diterjemahkan ke berbagai bahasa.[]
Simpang
Ampek, Februari 2019
Denni Meilizon adalah Pembaca buku, menulis puisi dan penyuka kopi. Redaktur Tamu Tetap Halaman BUDAYA HALUAN, Harian Umum Haluan Padang. Tinggal di Simpang Ampek, Pasaman Barat.
*Essai ini dimuat Harian Umum HALUAN PADANG, edisi Minggu 3 Februari 2019.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.