Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Ami Priyono:

“Salah Asuhan” Punya Pesan Universal *)

Oleh: Dasril Ahmad

Ami Priyono, Aktor dan sutradara film

KARYA sastra yang baik adalah karya yang punya pesan-pesan universal. Hal ini membuat karya itu abadi, tidak luntur ditelan lintasan waktu dan persoalan zaman. Novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis itu, misalnya, merupakan sebuah karya sastra Indonesia yang baik dan abadi karena di dalamnya terkandung pesan-pesan universal itu tadi. Itu pula sebabnya, meski novel itu kini telah berusia 65 tahun (sejak diterbitkan pertama tahun 1928), namun persoalan berikut pesan-pesan yang disampaikannya masih tetap relevan sampai sekarang. Beralasanlah jika novel itu masih enak dibaca dan dinikmati saat ini, apalagi kalau dijadikan film dan sinetron.


Aktor dan sutradara film (dan sinetron “Salah Asuhan”) Ami Priyono (54) mengemukakan hal itu dalam wawancara singkat di Padang, Kamis malam (30/9/1993), menjawab pertanyaan kenapa ia tertarik menyutradarai sinetron “Salah Asuhan” (produksi SCTV dan PT. Ranah Artha Mulia), yang Oktober 1993 ini mulai melakukan shotting di beberapa lokasi di daerah Sumatera Barat. Hal lain, menurut Ami, yang membuat ia tertarik menggarap sinetron, yang skenarionya ditulis oleh Alex Suprapto, itu adalah karena ia sendiri memang sudah lama ingin membuat film di daerah Minangkabau, karena keunikan budayanya. Dikatakan, sejak dulu ia tertarik pada cerita “Sabai Nan Aluhi” (sebuah cerita rakyat Minangkabau), yang mengungkapkan keperkasaan wanita Minangkabau itu. “Sampai sekarang pun, saya masih bermimpi tentang martabat kehidupan kaum wanita Minangkabau, terutama sistem matrilineal (keturunan menurut garis ibu) yang dianut masyarakat Minangkabau, yang tak begitu banyak ditemui di Indonesia,” kata Ami.
Lebih Kental
Pernyataan di atas sekaligus merupakan bantahan Ami terhadap anggapan bahwa pembuatan sinetron “Salah Asuhan” kali ini diilhami oleh suksesnya film “Salah Asuhan” garapan sutradara Asrul Sani di tahun 1970-an dulu. Selain menampik bahwa anggapan itu sama sekali tidak benar, Ami Priyono pun kembali menegaskan sesungguhnya karya itu sendiri memang bagus. “Sedangkan sutradara besar seperti Asrul Sani tertarik menyutradarai filmnya, apalagi saya yang masih serpihan-serpihan ini,” timpalnya merendah.
Diakuinya pula bahwa tafsiran Asrul Sani terhadap naskah “Salah Asuhan” itu jelas berbeda dengan tafsiran yang dimilikinya. “Karena sastra punya pesan universal, maka tafsiran Asrul Sani dan saya tentu saja berbeda. Tafsiran Asrul mungkin lebih kental, karena Asrul sendiri kan orang Minangkabau asli,” ujar lekaki kelahiran Jakarta tahun 1939 dan sama-sama mengenyam pendidikan formal film di Akademi Film Moskow (1959-1965) dengan alm. Syumandjaya ini.
Ami Priyono menilai, terlalu “riskan” jika telah muncul keinginan membandingkan film “Salah Asuhan” garapan Asrul Sani itu dengan sinetronnya yang kini masih dalam proses pembuatan, apalagi adanya anggapan kehadiran sinetron itu untuk menandingi film tersebut. Menurutnya, sebaiknya kita tak perlu berpandangan secara sempit begitu. Justru dengan kehadiran sinetron “Salah Asuhan” ini, merupakan salah satu upaya kita untuk menguji apakah karya sastra itu benar-benar “klasik” (tinggi mutunya) atau tidak. “Untuk itu pula saya berharap, sinetron ini kelak akan membuka kemungkinan luas bagi pengamat, pengulas, kritikus sastra dan film untuk menumpahkan aneka pendapat, aneka ulasan, aneka komentar, aneka kritikan dan lain sebagainya secara objektif dan konstruktif,” tegas Ami pula optimistis. Sementara Ami pun belum berani meramalkan apakah sinetron itu sendiri kelak akan sukses di tengah masyarakat. “Jika sinetron “Sitti Nurbaya” dan “Sengsara Membawa Nikmat” terdahulu mendapat sambutan baik dari masyarakat, harapan kita sudah tentu “Salah Asuhan” begitu pula hendaknya,” ujarnya.
Meski terkesan hati-hati dan selalu “merendah” dalam mengeluarkan pendapat, namun harapan Ami Priyono itu agaknya tepat dan beralasan. Kepiawaiannya dalam dunia perfilman Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara, kecuali tak diragukan lagi juga tampaknya dipertaruhkan di sini. Lelaki yang mengaku hidup dari dunia film ini sudah main film sejak tahun 1970. Film pertamanya tahun itu adalah “Tuan Tanah Kedaung”, disusul kemudian oleh “Beranak dalam Kubur” (1971). “Pokoknya, sudah ratusan film yang saya bintangi. Jumlah persisnya tak pernah saya hitung, sejak tahun 1970 itu hingga sekarang,” tuturnya. Selain itu, sejak 1974 Ami pun melangkah karirnya di bidang sutradara film, dan belakangan sering main dalam berbagai sinetron televisi. “Tapi untuk menyutradarai sebuah sinetron, baru sinetron “Salah Asuhan” ini pertama kali saya coba,” tuturnya lagi.
Skenario yang Baik
Makin banyak karya sastra yang digubah jadi skenario film dan sinetron, dinilai Ami Priyono sebagai langkah yang positif ke arah pengembangan penulisan dan penulis naskah skenario itu sendiri. Upaya pihak televisi dengan makin gencarnya mengangkat karya sastra untuk disinetronkan belakangan ini, setidaknya sudah merupakan peluang untuk makin berkembangnya jumlah penulis skenario yang diharapkan itu. Menurut pengamatan Ami, sejak tahun 1970-an, kita sudah merasakan kekurangan penulis skenario. Di tahun itu, tambahnya, penulis skenario yang ada di antaranya, Asrul Sani, Syumandjaya, Arifin C. Noer, Teguh Karya, dan N. Riantiarno. “Barulah kemudian muncul penulis skenario yang muda-muda, seperti Alex suprapto –penulis skenario sinetron “Salah Asuhan” ini,” tandasnya.
Oleh karena itu, Ami berpendapat, penulis dan penulisan skenario sudah saatnya untuk berkembang dan dikembangkan. Menurut dia, masih banyak karya sastra dari sastrawan Indonesia (termasuk yang berasal dari Minangkabau), yang patut ditulis skenarionya, jangan hanya terbatas pada karya-karya tahun 1920-an itu saja. Tapi dalam hal ini Ami punya penilaian. “Skenario yang baik itu adalah skenario yang bisa dinikmati seperti kita membaca novelnya,” kata pemeran Brahmana Ratu Kuning dalam Sinetron “Mahkota Mayang Kara” produksi TPI ini lagi.
Merangsang Minat Baca
Menyinggung munculnya fenomena yang merisaukan banyak pihak bahwa sinetron (yang diangkat dari karya sastra ini) dapat menurunkan minat baca masyarakat (terutama pelajar) terhadap karya sastra itu sendiri, dinilai Ami Priyono sebagai sesuatu yang relatif saja. Anggota Dewan Film Nasional (1981-1986) ini menyatakan, hal itu tak perlu dirisaukan. Sebab, sinetron itu adalah tafsir, sedangkan novel adalah kitab/buku. Minat baca seseorang tentu saja akan muncul, bila ia mencoba secara harfiah mencocokkan gambaran dari sinetron itu ke buku. Tapi, tambahnya, akan lain halnya bila seseorang itu telah merasa puas saja begitu selesai menyaksikan tayangan sinetronnya. ”Lagi pula, dalam sinetron imajinasi kita terbatas (dibatasi), sedangkan kalau membaca bukunya imajinasi kita bebas,” Ami mayakinkan.
"Bagi saya sinetron “Salah Asuhan” ini kelak akan dapat merangsang minat masyarakat untuk membaca buku novelnya, dan membaca buku-buku novel lainnya,” papar Ami, yang tahun 1989 menjadi salah seorang anggota Dewan Juri “Festival Film Asia Pasific” di Kuching Malaysia ini. Akhirnya, bapak satu anak dan suami tercinta dari Julia Suryakusuma (penulis free-lance masalah-masalah politik) ini, mengajak kita untuk berlomba meningkatkan minat baca di tengah banjirnya stasiun televisi di negara kita dewasa ini. (Dasril Ahmad) ***
*) Artikel ini pernah dimuat di harian Haluan (Padang) edisi Selasa, 12 Oktober 1993 (Halaman XI), dan Tabloid Mutiara, Jakarta, edisi Minggu V – November 1993 (Halaman IX).—(d.a)--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.