BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
Oleh : Dasril Ahmad
Akan tetapi, Carl Sanburg, penyair berkebangsaan Amerika, melihat bahwa sesungguhnya seorang pengarang berbeda dengan seorang penyair, bila hal itu dilihat dari proses kreatifnya. Menurut Sanburg, seorang pengarang menuliskan apa yang dipikirkannya sedangkan penyair menuliskan apa yang memang mesti ditulisnya pada suatu saat tertentu. Dalam hal ini kita tidaklah berasumsi bahwa Sanburg menuding penyair tak punya pikiran sama sekali. Tapi secara tersirat ia ingin menyatakan, bahwa sajak yang ditulis sesungguhnya lebih didominasi oleh intensitas perasaan ketimbang pikiran si penyairnya.
Sebuah sajak bukan untuk dipikirkan, melainkan untuk dipahami dengan segenap nurani. Ketika membaca dan memahami sebuah sajak, yang lebih dahulu mendapat sentuhan adalah perasaan kita, baru kemudian pikiran, kalau kita berkeinginan menempatkan persoalan sajak itu dalam kategori logis dan tidak logisnya. “Sajak diharapkan dapat memberikan sentuhan yang paling dalam terhadap publik,” kata penyair Yudhistira ANM Masardi (TVRI, 29 Januari 1992). Pendapat ini memberi kejelasan kepada kita bahwa sesungguhnya sebuah sajak adalah untuk dipahami dengan perasaan. Memang perasaanlah yang dapat tersentuh secara indrawi di dalam hidup dan kehidupan kita ini.
Pada prinsipnya, unsur perasaan di dalam sajak lebih dikenali dengan istilah emosi. Sebuah sajak lebih merupakan upaya mengekspresikan emosi, suasana batin si penyairnya. Unsur emosi memang dominan di dalam sajak, tetapi kita jangan lupa bahwa sumber (akar) emosi itu adalah pikiran. Maka intensitas emosi (perasaan) dalam sajak haruslah terstruktur dan berkembang dengan analisis logika yang rasional, di samping logika imajinatif.
Membaca sajak tentang cinta, kegembiraan, kesedihan, kerinduan dan kepiluan akan terasa sentuhannya di dalam perasaan kita. Kita turut merasakan kegembiraan, atau kesedihan , atau kerinduan, atau kepiluan si penyair yang dicurahkannya di dalam sajak-sajaknya tersebut. Kita pun jadi turut tersentuh oleh rasa benci, apabila di dalam sebuah sajak yang dibaca emosi demikian diungkapkan penyairnya. Dengan demikian, sajak dipandang sebagai wahana yang tepat bagi seorang penyair untuk berbagi perasaan dan pengalaman hidupnya terhadap orang lain (publik). Sajak-sajak yang baik niscaya akan mampu memberikan sentuhan yang mendalam bagi publiknya, biar sekecil apa pun persoalan yang diungkapkan di dalamnya. Seperti tiga sajak yang kita nikmati kali ini, yakni: “Sajakku Hari Ini” karya Rini F. Jamrah, “Bulanku Luka” karya Irwan B, dan “Sajak Pengembaraan” karya Ekha Satria A.Y. Intensitas perasaan penyairnya jelas kita rasakan di dalam ketiga sajak tersebut. (Padang, 07 Pebruari 1992) ***
Sajak-Sajak “Remaja Minggu Ini”, Haluan Minggu, 9 Pebruari 1992
sajakku hari ini
/rini f. jamrah
Barangkali memang hanya pada hatiku saja
ku akan berucap dan berkata cinta
Sebab angin tak lagi bertiup,
menyejukkan
Sebab mentari tak lagi bersinar,
menghangatkan
Sebab kasihku tak lagi datang,
mengantarkan cinta.
Air Tawar, Februari ‘92
bulanku luka
/ irwan b
bulanku luka malam ini
luka dari pedih sekian musim
sekian kilo perjalanan sekian darah
bersimbah duka merambah menyusuri gunung
menyusuri laut menyusuri awan menyusuri aku
dan matahari
betapa dalam liangnya
betapa panjang erangnya
dia impikan sungai mengalirkan darahnya
mengantarkan lukanya ke muara
dia impikan malam kunang-kunang
menjilati liang-liang lukanya
dia impikan bintang-bintang!
lukanya luka orang-orang papa
lukanya luka orang-orang tak berdosa
lukanya luka dari sekian luka-luka.
bulanku luka malam ini
betapa dalam liangnya
betapa panjang erangnya
dia impikan sungai mengantarkan lukanya
sampai ke muara
Barung-Barung Belantai, Mei 1991
sajak pengembara
/ekha satria a.y
ketika lelah memacu ujung kaki
akulah pengembara yang tertawa
diamkan jerit bergumul dengan pekat
adalah kesia-sian menyiram layu
dengan cipratan embun
adalah kepura-puraan
ketika letih memicu amukan dendam
akulah pengembara yang lelap
29 September ’90
*). Esei “Pengantar Sajak” (Dari Koleksi Tulisan Lama). Dimuat “RMI” Haluan Minggu, 9 Pebruari 1992.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.