Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:...

Intensitas Perasaan *)


Oleh : Dasril Ahmad


KITA sering tak peduli terhadap pengistilahan, sebutan ataupun julukan yang diberikan sehubungan dengan kreativitas yang kita lakukan. Dalam dunia sastra, misalnya, sudah lama dikenal sebutan pengarang dan penyair. Sikap ketidakpedulian kita terhadap penyebutan ini, membuat kita selama ini tak pernah mengusik perbedaan antara dua sebutan tersebut. Tilikan kita justru cenderung menyejajarkannya. Seorang penyair biasanya disebut juga seorang pengarang, begitu juga sebaliknya. Malah, sebutan pengarang itu dipandang mempunyai jangkauan yang luas pula, seperti seseorang yang mengarang syair, seseorang yang mengarang cerpen, novel, esei dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita merasa tak perlu berbantahan jika seorang penyair, cerpenis, novelis dan eseis disebut sebagai pengarang. Begitulah adanya.


Akan tetapi, Carl Sanburg, penyair berkebangsaan Amerika, melihat bahwa sesungguhnya seorang pengarang berbeda dengan seorang penyair, bila hal itu dilihat dari proses kreatifnya. Menurut Sanburg, seorang pengarang menuliskan apa yang dipikirkannya sedangkan penyair menuliskan apa yang memang mesti ditulisnya pada suatu saat tertentu. Dalam hal ini kita tidaklah berasumsi bahwa Sanburg menuding penyair tak punya pikiran sama sekali. Tapi secara tersirat ia ingin menyatakan, bahwa sajak yang ditulis sesungguhnya lebih didominasi oleh intensitas perasaan ketimbang pikiran si penyairnya.
Sebuah sajak bukan untuk dipikirkan, melainkan untuk dipahami dengan segenap nurani. Ketika membaca dan memahami sebuah sajak, yang lebih dahulu mendapat sentuhan adalah perasaan kita, baru kemudian pikiran, kalau kita berkeinginan menempatkan persoalan sajak itu dalam kategori logis dan tidak logisnya. “Sajak diharapkan dapat memberikan sentuhan yang paling dalam terhadap publik,” kata penyair Yudhistira ANM Masardi (TVRI, 29 Januari 1992). Pendapat ini memberi kejelasan kepada kita bahwa sesungguhnya sebuah sajak adalah untuk dipahami dengan perasaan. Memang perasaanlah yang dapat tersentuh secara indrawi di dalam hidup dan kehidupan kita ini.
Pada prinsipnya, unsur perasaan di dalam sajak lebih dikenali dengan istilah emosi. Sebuah sajak lebih merupakan upaya mengekspresikan emosi, suasana batin si penyairnya. Unsur emosi memang dominan di dalam sajak, tetapi kita jangan lupa bahwa sumber (akar) emosi itu adalah pikiran. Maka intensitas emosi (perasaan) dalam sajak haruslah terstruktur dan berkembang dengan analisis logika yang rasional, di samping logika imajinatif.
Membaca sajak tentang cinta, kegembiraan, kesedihan, kerinduan dan kepiluan akan terasa sentuhannya di dalam perasaan kita. Kita turut merasakan kegembiraan, atau kesedihan , atau kerinduan, atau kepiluan si penyair yang dicurahkannya di dalam sajak-sajaknya tersebut. Kita pun jadi turut tersentuh oleh rasa benci, apabila di dalam sebuah sajak yang dibaca emosi demikian diungkapkan penyairnya. Dengan demikian, sajak dipandang sebagai wahana yang tepat bagi seorang penyair untuk berbagi perasaan dan pengalaman hidupnya terhadap orang lain (publik). Sajak-sajak yang baik niscaya akan mampu memberikan sentuhan yang mendalam bagi publiknya, biar sekecil apa pun persoalan yang diungkapkan di dalamnya. Seperti tiga sajak yang kita nikmati kali ini, yakni: “Sajakku Hari Ini” karya Rini F. Jamrah, “Bulanku Luka” karya Irwan B, dan “Sajak Pengembaraan” karya Ekha Satria A.Y. Intensitas perasaan penyairnya jelas kita rasakan di dalam ketiga sajak tersebut. (Padang, 07 Pebruari 1992) ***

Sajak-Sajak “Remaja Minggu Ini”, Haluan Minggu, 9 Pebruari 1992
sajakku hari ini
/rini f. jamrah
Barangkali memang hanya pada hatiku saja
ku akan berucap dan berkata cinta
Sebab angin tak lagi bertiup,
menyejukkan
Sebab mentari tak lagi bersinar,
menghangatkan
Sebab kasihku tak lagi datang,
mengantarkan cinta.
Air Tawar, Februari ‘92
bulanku luka
/ irwan b
bulanku luka malam ini
luka dari pedih sekian musim
sekian kilo perjalanan sekian darah
bersimbah duka merambah menyusuri gunung
menyusuri laut menyusuri awan menyusuri aku
dan matahari
betapa dalam liangnya
betapa panjang erangnya
dia impikan sungai mengalirkan darahnya
mengantarkan lukanya ke muara
dia impikan malam kunang-kunang
menjilati liang-liang lukanya
dia impikan bintang-bintang!
lukanya luka orang-orang papa
lukanya luka orang-orang tak berdosa
lukanya luka dari sekian luka-luka.
bulanku luka malam ini
betapa dalam liangnya
betapa panjang erangnya
dia impikan sungai mengantarkan lukanya
sampai ke muara
Barung-Barung Belantai, Mei 1991
sajak pengembara
/ekha satria a.y
ketika lelah memacu ujung kaki
akulah pengembara yang tertawa
diamkan jerit bergumul dengan pekat
adalah kesia-sian menyiram layu
dengan cipratan embun
adalah kepura-puraan
ketika letih memicu amukan dendam
akulah pengembara yang lelap
29 September ’90

*). Esei “Pengantar Sajak” (Dari Koleksi Tulisan Lama). Dimuat “RMI” Haluan Minggu, 9 Pebruari 1992.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihat...

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.