Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Sajak-Sajak Yanie Wuryandari:


Merekam Kenangan Secara Artistik
Oleh : Dasril Ahmad

MEMBACA sajak untuk memahami makna yang dikandungnya tidaklah mudah, meskipun kita tahu bahwa pemaknaan karya sastra lebih bersifat multitafsir. Semakin banyak tafsiran yang diberikan kepada karya sastra, dipandang semakin bermutu karya sastra tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa karya sastra tidak hanya mengandung satu kemungkinan penafsiran, tetapi banyak, dan sastra selalu terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru yang diberikan kepadanya. Namun demikian, setiap penafsiran yang diberikan haruslah bisa dikembalikan kepada karya sastra itu sendiri secara elegan disertai argumentasi yang jelas. Dalam hal ini, sama sekali harus dihindari penafsiran yang artifisial.


Keberhasilan memaknai karya sastra akan memberi kepuasan batin dan rasa senang yang sulit dilukiskan. Subagio Sastrowardoyo (1989 : 208) mengungkapkan, “Senang kepada sesuatu karya sastra adalah mirip dengan jatuh cinta kepada seseorang. Dalam keadaan itu kita tidak peduli apa yang hendak dikatakan orang, pokoknya kita senang”. Hal ini bisa dimaklumi, terutama jika makna yang kita temukan dalam karya sastra itu identik dengan pengalaman hidup kita sendiri, apalagi tentang masa lalu sebagai kenangan yang mungkin sulit dilupakan. Penyair Rainer Maria Rilke juga menyatakan, puisi menghubungkan masa lampau yang sudah jauh dengan masa depan yang paling ujung.
***
Rekaman peristiwa masa lalu (kenangan) itu pula yang dominan saya rasakan ketika membaca sajak-sajak Yanie Wuryandari di dalam buku “Bumi Gugat”: Antologi Sastra Etnik 11 Penyair (Interlude, Yogyakarta: 2014). Ada 10 sajak Yanie dalam kumpulan ini, yang bukan saja memancarkan kembali rekaman berbagai nuansa kenangan masa lalunya, tetapi beberapa sajaknya juga merekam dan mengungkapkan persoalan masa kini dan kemungkinan persoalan di masa depan secara artistik.
Bagi Yanie, betapapun pahit masa lalu yang dialaminya selalu direkam dan menjadi pengalaman intuitif yang sangat berharga. Rekaman pengalaman itu berproses melewati lintasan waktu yang tumpang-tindih dengan berbagai peristiwa lain, dilumuri pula dengan imajinasi, penghayatan kreatif dan kontemplatif, maka persoalan pahit (di masa lalu) itu kini tak lagi mengundang kesedihan ketika ia diungkapkan di dalam sajak. Ia telah menjadi sebuah pengalaman estetis dan artistik.
Siapa pun tak akan menyangkal, kepergian ibunda tercinta untuk selama-lamanya, merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan dalam hidup kita, dan kesedihan itu tidak bisa dilupakan selama hayat masih di kandung badan. Namun bagi Yanie, persoalan sedih tersebut di dalam sajak diungkapkan sebagai sebuah kenangan indah, artistik, dengan emosi terkontrol, dan tentu saja jauh dari suasana sedih dan tak pula mengundang kesedihan. Kita simak sebuah sajak Yanie Wuryandari berikut.
Bianglala untuk Ibu
Ada bianglala warna-warni di matamu
menyihirku luluh-lantak dalam pesonamu
menenggelamkanku pada mimpi-mimpi
Ada rasa yang kau tukar dengan rindu
ada kata yang kau tulis berderet dekat kalbu
Bersama kita menjelajah ladang dan kenangan
kerikil, luka, mawar, duri-duri yang terbanting
menggigil namun hangat hatimu menyerap airmata
kacauku
Ada iman yang kautanam
Ada tegar yang kausebar
Masih kumiliki bianglala itu
di dalam kamarku yang tak lagi
ada hangat tanganmu saat senja
sengaja pergi dengan hati-hati
Lalu kusadari gelapnya langit tanpa mimpi
apakah Tuhan akan memberi ruang saat
rindu jatuh tak tertahankan, wahai Bundaku
:tersayang
Jakarta, Februari 2014
*kenangan bagi almarhum ibuku
Ungkapan-ungkapan metaforik kental kita rasakan dalam sajak Yanie di atas, yang sesungguhnya, selain menjadi roh dan memancarkan kekuatan estetika dari sajak di atas, juga tanpa diduga menciptakan suasana khas sebuah sajak lirik-romantis. Sebagai ekspresi kecintaan dan rasa hormat penyair kepada ibunda yang telah tiada, sangat tepat si ibu diberikan “bianglala” (simbol keindahan). Tetapi tak hanya sekadar diberikan, namun keindahan itu sendiri telah terpancar di mata si ibu, dan menjadi motivasi bagi hidup penyairnya di masa depan. “Ada bianglala warna-warni di matamu/ menyihirku luluh lantak dalam pesonamu/ menenggelamkanku pada mimpi-mimpi”
Ungkapan “bianglala warna-warni” terasa hiperbolis, sebab yang namanya bianglala sudah pasti berwarna-warni. Namun demikian, kepuitisan dan kuatnya pesan yang disampaikan sajak ini tak berkurang dengan sebuah ungkapan hiperbolis tersebut, justru di bait-bait selanjutnya kita terpesona dengan ungkapan-ungkapan majas yang indah lagi, di antaranya: “Lalu kusadari gelapnya langit tanpa mimpi/apakah Tuhan akan memberi ruang saat/ rindu jatuh tak tertahankan, wahai Bundaku/: tersayang.”
Sajak “Di mana Kamu” masih mengungkapkan kisah masa lalu (kenangan) yang diproyeksikan ke masa kini secara artistik, Sajak ini penuh dengan bahasa majas personifikasi. Meski menggunakan diksi sederhana dan taat pada struktur persajakan, namun sajak ini jadi menarik, karena kenangan direkam dan diracik penyairnya menjadi sesuatu yang “menggugah” di masa kini. Sesuatu yang mencipratkan suasana “haru” tak terduga bagi kita.
Di mana Kamu
Masihkah kerikil-kerikil
meneriakkan namamu
di pinggir jalan berbatu
saat kauikatkan tali sepatuku
lalu ransel dan kompas
kau ambil dari bahuku
Kita akan mengarungi dua titik
dalam satu peta, katamu akan
terlukis satu garis sepanjang usia
tanpa ada petir, banjir, galau, khawatir
yang bakal kita genggam bersama doa,
cinta, keindahan bersama hari-hari nanti
Masih kudekap angan itu
masih kugenggam pepat setiaku
tapi kemana arah kutuju setelah sepatu
dan hatiku tertata rapi kau tak ada lagi
:disini.
Jakarta, 23 Januari 2014
Perguliran waktu dalam goresan kenangan membuat kita menyadari urgennya arti kehadiran seseorang di masa lalu setelah ia kini tak lagi bersama kita. Intensitas memaknai kenangan seperti itu semakin tinggi tatkala kehadiran seseorang itu dibumbui pula oleh pernak-pernik indah, bernuansa cinta dalam buhul kesetiaan berupa keinginan (yang kemudian hanya tinggal ‘keanganan’) untuk meraih keindahan hidup bersama di masa depan. Menghadapi kondisi seperti itu, imajinasi penyair berloncatan tatkala citraan pandang berlabuh di lokasi di mana kenangan itu terukir dahulunya, Penyair kini kesepian di sana, namun bukan penyair namanya, kalau (di dalam sajaknya) ia tak bisa bercengkerama dengan alam dan benda-benda di sekitarnya, menyuarakan rintihan hatinya yang nostalgik. Justru itulah, sajak “Di mana Kamu” hadir menyentuh rasa kita dengan bahasa majas personifikasi yang kental, namun indah dan menarik. “Masihkah kerikil-kerikil/ meneriakkan namamu/ di pinggir jalan berbatu/ saat kauikatkan tali sepatuku/ lalu ransel dan kompas/ kau ambil dari bahuku.”
Masih dalam buhul kenangan, sajak-sajak semakin akrab dengan alam, flora dan fauna, yang pada saatnya menjadi medium artistik pelukisan jiwa nostalgik penyair. Sajak “Kaukah Itu” yang cuma tiga bait dari Yanie Wuryandari, termasuk sajak yang indah, lincah dan ceria lewat penggunaan bahasa metafora dan simbolik dari fenomena alam, flora dan fauna tersebut secara subtil.
Kaukah Itu
Ada bintik memercik di ranting mawar itu
kelopak dadu menyeruak malu-malu
ahai kaukah itu
Ada kenangan yang tengah dilukis
ada masa depan yang tengah ditulis
sepasang kupu-kupu mengepak sayap
Sepasang rindu
mulai berderap
ahai itukah kamu
Jakarta, Februari 2014
*untuk osi dan gilang
Inilah sebuah di antara sajak Yanie Wuryandari yang (seperti saya katakan di awal tulisan ini) merekam persoalan masa kini dengan merujuk ke masa lalu (kenangan). Fenomena yang terjadi di masa kini serta-merta menghadirkan pengalaman nostalgik penyairnya ke masa lalu sebagai kenangan indah yang tak akan terlupakan selamanya. Dengan pengungkapan yang subtil penyair berusaha menghindari ungkapan klise, cara terindah untuk itu adalah dengan menggunakan bahasa metafora dan simbolik. Betapa indahnya apa yang disimbolkan dari ungkapan “Ada bintik memercik di ranting mawar itu” dan “sepasang kupu-kupu mengepak sayap”, serta “sepasang rindu/ mulai berderap”. Masa lalu yang tak indah, terkikis oleh masa kini yang cerah bak sekuntum “mawar”. Namun masih ada “bintik” (kenangan masa lalu) memercik di mawar itu. Padahal “sepasang kupu-kupu” dan “sepasang rindu” mengepakkan sayap dan mulai berderap. Dua ungkapan ini begitu “indah” dan “halus” (subtil), menyimbolkan kebahagiaan dua insan (boleh jadi) osi dan gilang, kepada siapa sajak ini ditujukan penyairnya.
Boleh jadi juga, melihat mesranya dua insan Osi dan Gilang memadu cinta yang diungkapkan penyair dalam sajak “Kaukah Itu” di atas, maka dalam sajak “Biar Aku Jatuh Cinta”, justru penyair sendiri tak mau kalah untuk juga kembali ingin merajut kemesraan bercinta, biarpun hanya dalam wujud kenangan. Kita baca sajak itu.
Biar Aku Jatuh Cinta
Biarkan aku jatuh cinta
pada tiap embun yang jatuh
pada ranting-ranting
sarat dengan bening
warna-warni rindu
Biarkan aku jatuh cinta
pada tiap helai cahaya pagi
yang merambat pelan-pelan
di sekujur tubuh bumi
padat kemesraan
Biarkan aku terperangkap
pada kelam lorong itu
agar tetap bisa menyusuri
sunyi saat kehilangan
Adakah yang lebih indah dari
sekeping masa lalu yang lupa
untuk membeku?
Biarkan aku tenggelam
dalam terjal lembah-lembah
agar mampu kembali menemu
mimpi-mimpi yang tercecer
di sepanjang umurmu
Bukankah indah untuk
menikmati setiap berkah
yang jatuh ke pangkuan
yang mustahil kita angankan
yang ternyata pernah hilang
Jakarta, 19 Januari 2014
Sebagai sebuah sajak lirik-romantis , sajak “Biar Aku Jatuh Cinta” sarat mengungkapkan kerinduan penyairnya untuk kembali merasakan jatuh cinta. Namun, bukan jatuh cinta kepada seseorang seperti waktu usia muda, di masa lalunya, melainkan jatuh cinta pada alam dan fenomenanya yang sesungguhnya mampu mengembalikan mimpi-mimpi masa lalunya yang tercecer. Jiwa romantis penyair dominan dirasakan dalam sajak ini, yaitu dalam bentuk perhatiannya yang berlebih-lebihan kepada alam yang luas beserta isinya, sebagai wujud untuk melabuhkan perasaan cintanya kini, tanpa melupakan goresan kenangan masa lalu, karena tetap saja penyair tak ingin kehilangan kenangan masa lalunya tersebut. “Adakah yang lebih indah dari/ sekeping masa lalu yang lupa/ untuk membeku?” Kemudian “Biarkan aku terperangkap/ pada kelam lorong itu/ agar tetap bisa menyusuri/ sunyi saat kehilangan”. Lagi-lagi sajak ini berhasil merekam dan mengungkapkan kenangan masa lalu penyairnya secara artistik lewat penggunaan bahasa bermajas, yang indah dan memesona.
***
Yanie Wuryandari termasuk penyair wanita di Indonesia yang dewasa ini sangat produktif menulis sajak. Sajak-sajaknya telah diterbitkan dalam beberapa buku antologi, dua di antaranya adalah dalam antologi “Negeri Langit” --Dari Negeri Poci 5 : Antologi 153 Penyair Indonesia (Kosa Kata Kita, Jakarta : 2014), dan “Bumi Gugat” : Antologi Sastra Etnik 11 Penyair, (Interlude, Yogyakarta, 2014). Dalam antologi “Negeri Langit” terdapat 4 sajak Yanie yang masih merekam dan mengungkapkan kenangan masa lalunya, malah 3 sajaknya dalam antologi itu, yaitu “Api Untuk Bandung Bandawasa”, “Inbox Rahwana Untuk Sinta”, dan “Asmara Ki Ageng Mangir” adalah sajak-sajak yang bertolak dan mengungkapkan (kembali) kisah legenda dari cerita-cerita rakyat yang hidup di daerah Jawa itu secara artistik, dan tentu saja sangat menarik.
Meski dalam buku “Bumi Gugat”, penyair wanita dengan nama lengkap Handayani Srie Wuryandari, kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 21 Pebruari 1950 ini menyatakan bahwa ia baru belajar menulis puisi November 2013, namun pengakuannya itu, menurut saya, berbanding terbalik dengan kekuatan sajak-sajak yang ditulisnya, baik dari kemampuan puitika dan estetikanya dalam berbahasa maupun dari penguasaan struktur sajak. Dalam pengamatan saya, menulis sajak mungkin saja baru dilakukan Yanie sejak November 2013, namun jauh puluhan tahun sebelumnya, Yanie telah intens juga bergelut dalam penulisan sastra berupa fiksi, terutama cerita pendek, yang dipublikasikan di berbagai koran dan majalah terbitan Jakarta. Di samping itu, ia juga seorang jurnalis, Dengan demikian, kemampuan Yanie Wuryandari dalam menjinakkan kata, merangkai kalimat dan membangun suasana dalam sajak-sajaknya, tentu tak diragukan lagi, biarpun sajak-sajaknya itu belakangan lebih banyak kita temukan dipostingnya di media sosial facebook ini. (Padang, 5 Nopember 2014). ***
- Dasril Ahmad : Penulis yang bukan penyair, tinggal di Padang, Sumbar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.