BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
BONEKA dikategorikan
sebagai benda hasil kerajinan tangan seni rupa tiga dimensi. Melihat bentuk
kata, bisa jadi kata “boneka” berasal dari kata “boneca” dalam bahasa Portugis.
Sedangkan dalam bahasa daerah di Indonesia sendiri, kata “boneka” dalam bahasa
Indonesia berarti “patong meuneuen” dalam Bahasa Aceh, “kakanak” dalam bahasa
Lampung, “golek” dalam bahasa Jawa dan lain sebagainya.
Pendeknya, boneka dapat
diartikan sebagai karya seni rupa tiga dimensi baik itu
berbentuk patung yang merupakan tiruan dari bermacam figur yang dapat
difungsikan maupun sebagai benda hias maupun sejenis mainan yang berbentuk
manusia atau binatang.
![]() |
http://kakarika87.blogspot.com |
Demikianlah kemudian, pemahaman kita
tentang figur boneka kembali dirujuk guna menjelaskan adanya prilaku yang diklaim
sama seperti boneka, terdapat dalam diri manusia ditengah tatanan pergaulan
bermasyarakat. Jika boneka secara umum digunakan sebagai mainan, perhiasan dan
pujaan maka ia mendapatkan pemaknaan sebagai mewakili, menggantikan,
seolah-olah dan menyerupai yang berarti bukan dia yang sebenarnya. Hal ini
ditambah lagi dengan kenyataan bahwa boneka bukanlah makhluk yang berpikir
padahal manusia adalah makhluk yang memiliki akal pikiran. Maka makna simbolik
boneka apabila dilekatkan kepada manusia jatuh kepada tafsiran yang memiliki
sifat tak lazim. Manusia sebagai boneka, merujuk kepada pemaknaan di atas,
berarti seseorang yang bukan dirinya yang tidak lagi menggunakan akal dan
pikirannya dalam hidup pergaulan sosial.
Saya mendapatkan istilah
"Kebonekaan" ini dari Bang Zaiman, seorang tokoh muda dan inspiratif di
kampung saya dalam sebuah diskusi yang jernih, tanpa jumawa dan mau melepaskan
diri dari ego dirinya sebagai seorang tokoh yang banyak membaca. Tentu saja
istilah tersebut ia plesetkan dari "kebhinnekaan" suatu istilah yang
dipakai secara umum untuk mengungkapkan suasana atau keadaan yang beragam dan
berbeda-beda terutama di Indonesia.
"Kebonekaan" dan
"Kebhinnekaan" tentu juga tidak
berkorelasi satu sama lain. Apabila didefinisikan pun tidak akan bertemu.
Artinya, istilah tersebut bukan bicara soal perbedaan, keberagaman dan pluralisme.
Kebonekaan yang berakar pada kata "boneka" itu, bolehlah kita anggap
sebagai istilah yang jujur untuk kepura-puraan dan prilaku menghamba diri demi
kepentingan pribadi. Kebonekaan beralas kepada kecemasan yang disebabkan
ketakutan untuk tidak mendapat atau memperoleh keselamatan, pendapatan, peluang
pekerjaan, jabatan, prestise, kehormatan dan perhatian.
Adanya awalan "ke" pada istilah tersebut
mengantarkan kita untuk melihat kondisi yang sudah melekat, menjadi kebiasaan,
disengaja, dan sudah lama betah dalam kondisi seperti itu. Orang dengan
kebonekaan yang paling militan sudah tidak menjadi manusia lagi. Ia boneka 100%
tidak lagi merdeka 100%. Boneka 100% ini
bukan robot. Robot masih punya alat sebagai sumber data untuk kepintaran.
Boneka hanyalah seonggok materi yang hanya akan bergerak semau pemain boneka.
Terkadang ada boneka yang punya catu daya (baterai). Ia sedikit bisa bergerak,
bergerak dalam kebakuan yang kaku. Selebihnya, tetap saja pemain bonekalah yang
mempunyai kuasa atas dirinya. Ia sendiri tak punya pilihan lain. Jangankan
memilih, bahkan untuk berpikir pun tidak ada daya dan upayanya sama sekali
karena boneka tidak punya pikiran. Pilihan baginya tidak berpengaruh apapun.
Tidak bisa dijangkau oleh dirinya. Pilihan bagi dirinya adalah pilihan sang
pemain, orang yang memainkan dirinya untuk kesenangan si pemain. Diantara lalu
lalang dan kerumunan, orang-orang dengan kebonekaan ini semakin rimbun saja
banyaknya. Jumlahnya kian bertambah sebagaimana deret ukur.
Hal ini tentu jadi sinyal bahaya bagi kelangsungan
tradisi berpikir kritis yang solutif. Bom waktu bagi makhluk manusia yang semestinya berpikir
merdeka. Merdeka agar bisa tetap bertahan hidup dengan membangun peradaban.
Merdeka dengan ide dan gagasan sebagai homo
sapiens. Tetap bebas merawat dan mengembangkan akal budi.
Kebonekaan adalah simbol perbudakan pada zaman ini. Dan
laiknya boneka sebagai benda mati, ia boleh saja dikalungi tali kekang dan
manakala dicabik-cabik ia akan diam saja tanpa geming. Tak ada kemampuan untuk
melawan ataupun membela dirinya sendiri.[]
Simpang Ampek, Maret 2019
*Penulis pembaca buku. Penikmat kopi dan menulis puisi, esai dan cerita. Suka musik dan penikmat seni. Bercita-cita menjadi penyanyi terkenal. Kini sebagai Redaktur Tamu Tetap Halaman Budaya Harian Umum Haluan Padang.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.