Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Tempurung dan Lobang Hidung



SERING saya membayangkan jikalau bulu hidung adalah hutan yang tumbuh di dalam dua gua yang panjang. Hutan dengan semua pohonnya adalah daun-daun dalam bentuk batang berwarna hitam, pirang dan putih.
Seseorang dengan tubuhnya yang mikroskopik tentu saja kita anggap menjadi penjaga hutan, pelindung binatang (binantang bertubuh mikroskopik juga). Ia akan menjadi harapan perlindungan segenap isi hutan, terutama dari hantaman angin kencang lengket yang di dunia manusia disebut terjadi dalam situasi "bersin".
Selain angin bersin, hutan itu juga tak lepas dari asap yang datang berkala, biasanya tiga kali pada pagi hari, satu kali ketika matahari sepenggalahan naik, dua kali ketika matahari tegak di ubun-ubun, menjelang malam sepuluh kali dan di malam hari lima kali.
Asap itu, berbau sangit dan panas. Ia membawa hawa kering yang menguapkan apapun yang basah, termasuk mengubah lendir yang lengket pada dedaunan menjadi gumpalan kuning kehijauan yang nanti lama kelamaan bakal menjadi hitam, mengeras melumuri pucuk-pucuk pepohonan yang berbatang hitam.
Terkait dengan hal itu, penjaga hutan kita telah mencoba menciptakan sesuatu yang berfaedah berbahan limpahan materi bergumpal kuning kehijauan itu. Ia mendapatkan inspirasi ketika sedang asyik melamun, memikirkan bagaimana caranya ia dapat menapis asap yang berbau sangit. Ceritanya begini, suatu hari ketika bulan sedang rendah, ia melihat Simpanse, binatang bertubuh sebesar dirinya denga ekor bergulung delapan kali dan berkepala kotak melakukan sesuatu yang selama ini tidak terpikirkan olehnya. Simpan -begitu binatang kepala kotak itu dipanggil- memanen gumpalan yang berwarna hitam. Betul, ia tidak salah lihat. Simpan menjilati dan mengikisi gumpalan yang berwarna hitam saja. Gumpalan itu dimasukkannya ke dalam kantong yang ada di dadanya. Terpanalah penjaga hutan kita, mulutnya mengaga sebab kepalanya mendongak penuh mengawasi kerja paruh waktu Simpanse itu.
Pohon-pohon berdaun hitam bergerak seiring giatnya Simpanse mengikisi gumpalan demi gumpalan itu. Tak lama berselang, penjaga hutan menyadari bahwa Simpan tidak sendirian, tetapi ada lima atau setidaknya tujuh ekor paling tidak melakukan kegiatan yang sama, memanen sumber daya hutan yang melimpah di sana. Aktifitas tersebut tentu saja membuat seisi hutan menjadi berisik dan riuh.
Ada yang dikhawatirkan oleh si Penjaga Hutan. Biasanya, jika hutan sudah riuh rendah seperti itu, angin kencang akan datang. Penjaga kita paham sekali soal ini. Sebelum angin kencang, biasanya akan timbul suara entah apa yang berbunyi menggerung atau tercekat. Setelah itu ada tarikan membikin geli lalu sebuah dorongan keras dan sebuah suara pecah berdenging mengempas. Serangkaian kejadian itu terjadi dalam satu atau dua detik saja menurut waktu yang disepakati oleh dirinya sendiri, berlangsung cepat dan konstan. Kadang, tetapi ini amat jarang, yang terjadi hanya tarikan lembut saja lalu disusul suara menggema tanpa adanya angin kencang.
Yang cukup sering dan membuat pohon-pohon bergerak serentak terjadi manakala menguarnya sesuatu yang... asing, yang tidak teraba oleh kulit tubuh si penjaga hutan. Agaknya, serangkaian fenomena tersebut, yang kadung paling merasakan kehadiran sesuatu itu hanya pohon-pohon hitam tua.
Seperti sudah menjadi kesepakatan saja, jika sesuatu itu tiba maka semua pohon tua bakal meliuk-liukkan puncaknya yang runcing. Sesekali akan terdengar bunyi dengan nada indah yang tentunya hasil dari getaran-getaran hebat puncak pepohonan itu. Pelindung binatang yang merangkap jadi penjaga hutan itu menyebutnya sebagai nyanyian yang meliuk. Sebutan itu sesungguhnya hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Ia punya banyak sebutan lain bagi tiap kejadian yang terjadi di hutan di dalam gua yang panjang itu. Tetapi nyanyian yang meliuk itulah yang paling ia sukai dari seluruh hal di sana.
Rasa senang terhadap nyanyian yang meliuk itu menjadi penghibur baginya apabila ia melihat jauh di pinggir hutan ada dinding lembut tetapi tidak dapat ia panjati. Ia hanya menerka, bahwa di balik dinding itu ada hutan lain. Mungkin sama dengan hutannya ini. Mungkin, beda. Penjaga hutan atau pelindung hutan kita berpikir jika suatu hari nanti ia dapat membuat pondok tepat di kaki dinding lembut itu. Dia hanya butuh melobi sekeluarga rusa bertanduk emas lima tingkat yang konon telah berhabitat di sekitar itu sejak nyanyian yang meliuk belum berbentuk nyanyian. Untuk maksud tersebut, ia tahu ke mana akan meminta pertolongan. Simpanse bisa membantunya. Apalagi, ia melihat dengan terang benderang kalau ternyata hasil panen gumpalan hitam paling keras telah diberikan oleh Simpan kepada Rusa bertanduk emas sebagai taruh tawar persahabatan dua binatang mikroskopik di hutan tersebut. Konon, sejak ratusan purnama Simpan, Simpanse paling tua dalam gerombolan kera pemanen tersebut tidaklah terlalu menyukai keluarga Rusa itu. Kenyataannya, Simpan dan keluarganya juga tidak terlalu menyukainya juga. Sejak lama, ada naluri dalam dirinya yang berbisik bahwa secepatnya nanti akan terjadi sebuah pertarungan antara dia dengan Simpanse tua itu. Realitas yang terjadi di depan mata bahwa keluarga Simpanse dan keluarga Rusa sudah rujuk secara damai tentu merisaukan hatinya. Firasatnya yang mikroskopik menangkap sinyal konspirasi. Simpanse dan Rusa bersekongkol untuk suatu maksud yang buruk. Sebelum terjadi sesuatu yang buruk pula pada dirinya, tak dapat lain, penjaga hutan itu harus berbuat sesuatu. Mendahului atau didahului.
***
Cerita di atas merupakan ilustrasi yang bisa saya renungkan ketika menafsirkan sebuah ungkapan legendaris berbunyi “bagaikan katak di bawah tempurung”. Memperhatikan ungkapan itu, kita bisa menerka bahwa ia diucapkan oleh seseorang yang berada di luar tempurung dan bukan sebangsa dengan katak (apa yang ada di bawah tempurung). Ia berjarak dari objek tempurung dan katak di bawahnya dengan melimpahkan kepercayaan secara penuh kepada dua matanya.
Persoalannya adalah ada yang tidak diketahui oleh mata kasat, sesuatu di balik batas pandangan. Sesuatu yang terjadi di bawah tempurung. Berbagai kemungkinan dapat saja berlangsung di bawah tempurung itu. Pengetahuan mata hanya sampai apa yang dapat dilihatnya saja. Di balik pembatas berbentuk tempurung itu merupakan wilayah yang tak terjangkau olehnya. Mata butuh hal lain untuk mengetahui lebih jauh. Untuk itu Tuhan tidaklah abai. Kepada manusia diberikan rasa penasaran dan rasa keingintahuan. Imajinasi yang bersumber dari otak pikiran menjadi hal yang penting. Selain hal itu, kecerdasan otak manusia juga dapat memanipulasi, meniru dan menciptakan alat yang dapat memuaskan rasa keingintahuan.
Jangan percaya begitu saja kepada pandangan mata. Apalagi hanya memandang sekilas lalu seenaknya saja dengan cepat memberikan penilaian terhadap sesuatu. Bisa jadi yang dilihat hanya fatamorgana belaka dan disisi lain fatamorgana itulah realitas kehidupan terjadi sesungguhnya. Walaupun hanya sebatas tempurung, tetapi di dalamnya seekor katak sah saja menikmati dunianya. Demikian pula, walaupun hanya sebatas lobang hidung, tetapi mata kasat tidak akan pernah dapat memahami apa sejatinya yang sedang terjadi di dalamnya.
Jadi, tidak usah pongah dan sombong dan merasa sudah paling tahu, sebab untuk melihat isi di dalam hidungmu sendiri pun matamu tidaklah punya daya dan kesanggupan. Mari menjadi bijak dan saling menghargai agar hidup damai dan membahagiakan. 

                                                                                         Simpang Ampek, 16 April 2019


*Artikel ini sebelumnya dipublikasikan di koran Haluan edisi Minggu 22 April 2019 berjudul "Batas Nalar".   
Foto disediakan oleh Google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.