Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Syair Ababil




pada sebuah masa yang tak diketahui

mari kejar bintang-bintang itu atau duduklah diam dan patuki saja detak jarum jam. atau, tunduklah kau, si bunga mekar di atas rumput basah. rumput dan cemara di tubir.
kaukah luka yang mimpinya dikunyahi semesta?

kau susunan singgasana, mengajak raja-raja mengejar bintang-bintang. malam bisu, melegam, dibakar raga sendiri. setiap kepak apapun itu, bergema sahut menyahut. pada namamu jua.

butir pepasir merajah diri dengan nama, oo
si rambut indah yang memeluk gunung-gunung
oo, pembawa telaga dalam dongeng
kau dongeng tidur di sebuah dunia yang bernama bayang-bayang. tiap jengkalnya memiuhkan keangkuhan perang. untukmu -unggunan dongeng belaka itu - bisa menyingkapkan rahasia dua juta tahun lampau yang mengurung, memampatkan pengetahun ke dalam kabar burung, mitos

mitos dalam kepala kita, o
jarum jam dalam gigitan semakin rakus mengunyah detak, detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam

mimpi  menari, masih mengelupasi dinding kesayupan masa silam, menyusun kembali singgasana raja-raja. menata tatakan gelas para raja. tetapi deru puing memanggil kawanan badai, mengelus angin, menyimbah hantam. oo prahara, detik jam mengiris tajam. gelas berhamburan menjadi bulu. menjelma api. lautan membakar. terpanggang. pilu menanti. api. api  

apakah datang salju dari kepadatan hawa sejuk berdesir?

ini dongeng itu, kecemerlangan semua membiru memagut menggamit pemeluk gunung-gunung membangun singgasana. masa silam menghujam ke dalam bebatuan. menyeret desir. meredam gemuruh. padang pasir, memendam prasasti-prasasti. bilakah tanah rengkah, prahara melenguh?

di hadapan rapal gumam (ataukah mantera?) udara merah menyingkap daulat.

gugur angin meracau. petala. sinar berkilauan menguing dengan pongah. nyanyian pepasir dan derak tanah mengadu urat-urat pasak. dalam bumi berdesak-desakan membaca prahara.
bebatuan rengkah. pekik udara mengirim anyir. perang berkelebatan seperti kumparan yang mengirim ketakutan pada malam pekat tak terkatakan. anyir perang, geger, letusan, letusan, letusan. gema kutukan memekat memeluk ketat. ia dilemparkan ke dalam rahim untuk menjadi api. untuk menjadi bunga-bunga yang pecah ketika nanti dilahirkan di udara. oo
semburat. berhamburan. terberai. berderai. untuk menyambut sunyi yang akan berkuasa lama. lama sekali.
duaribu tahun sebelum masehi
gema ruang, kata pada waktu. kata pada debu. kata pada seseorang yang datang kemudian.  kepada pelarian. kepada menara pengintai. kepada angin lesap di dalam mezbah. ke dalam kitab-kitab. kepada perang. darah. airmata. kesumat silsilah. mitos. oo

tarikan matamu semanis tanah yang dijanjikan. bangun gema dalam ruang, kau ukur jengkal tiap sudut jendela dari masa lampau ke masa kini ke masa depan, kau tebar tanda bagi hud-hud melewati ayat-ayat orang di lembah bakkah, ketika duniamu menakar sunyi, tentu saja hanya ada malam. sisa suatu hari yang dimakan dalam mitologi lama, purba.
makanlah apel itu, menusuk garis ke garis. meraut nama-nama kehilangan. mengirim jarum mengaum membumi hanguskan. kaudengar lengkingan memahat batu-batu. gelombang menjadi tarian. selubung masa lalu kau balurkan dalam hamparan peta, tanda itu. bagi penjaga dalam sunyi yang memekatkan sisa malam. doa-doa, bisu.

palung berpaut dalam matamu. peluk pula gunung-gunung. peluk pulau benua. peluk tangisan-tangisan magis. itu langit menjadi busur dalam ruang yang telah kau ukur. maka ketika para penjaga yang berkait di dalam huruf  ayat orang di lembah bakkah mengayunkan cemeti, bergetar tanah mengayak pepasir, rahimmu penuh lelehan selaput janin yang segera lahir untuk mengowek keras sekali. untuknya kau telah minum doa luth, tangisan hud dan kecemasan nuh. kaubaca semua yang kembali, dari kawanan ababil pembawa batu api.
tetapi mata di dalam tanah petamu berkali-kali malih-rupa, tanda. kau dengar auman para bayi yang lahir setelah jarum membumi hanguskan tsamud dan aad. bacalah dan berpeganglah ke pada gelang tangan sulaiman dan ikutilah ia merentangkan kerajaan daud. peluk gunung-gunung di tiang pancang mezbah-mezbah. peluk pulau-pulau di atas gemerincing lonceng jibril, penghulu para penjaga.  sekarang kau bangun tangga dan kapal sebagaimana nuh. belajarlah kepada para penjaga cara untuk berlari ke atas bukit. keluarkan kuda hitam dan putih kepunyaan suku apa saja. bacalah atasnama maha kuasa. yang menciptakan segala. bacalah!


limaratus tahun setelah masehi

mari ikuti aku, hud-hud. kubawa kau menuju dunia lama. peta, getar gema dalam ruang kosmik. dimensi yang menjalari pohon zaqqum. getar pada sulbi azazil si laknat. membakar selimut cahaya, putih malih-warna menjadi bayang, terang berpendar menghisap dada, mata, apa lagi yang tersisa. di puncak pohon khuldi semesta mencair.

"ababil, merayaplah dalam hijaiyah dan bernyanyilah dalam ruang keseratus lima, kunci menuju dunia lama itu kau tahu ialah kata berdimensi lima"

itu syits, bapak manusia nan agung. tiap jengkal tubuhnya ialah gema manusia.
dia hanyalah cahaya, hud-hud! dan kita tidak berhenti di sini, jangan sapa dia. sebentar lagi akan kau lihat banjir bah itu, segera kepak sayapmu. qabil telah membunuh habil. darah yang mengalir dibaca lautan malaikat di hadapan arsy sebagai peperangan. sebab satu nyawa terbunuh bagaikan mematikan semua manusia.
oo.. hud-hud, itu dia iqlimiya yang cantik. rambutnya langsat tergerai halus memeluk gunung-gunung.

"ababil, merayaplah dalam hijaiyah dan bernyanyilah dalam ruang keseratus lima, kunci menuju dunia lama itu kau tahu ialah kata berdimensi lima"

sedepa ujar nuh mengalir. sedikit saja yang mendengar. hitung saja hud-hud, hitung saja. di sebuah bukit entah nanti bahtera berlabuh.

oo nuh, bapak agung pemegang silsilah manusia.
oo bapak manusia! dunia air, dunia tenggelam.

hud-hud, marilah turun sejenak, kita sapa ia yang terberkati.
“ke mana kaulabuhkan bahtera ini wahai yang tangisannya telah membumikan banjir bah? telah kami jelajahi semua penjuru, tak ada lagi daratan, daratan tenggelam!”
“terbanglah engkau hai ababil ke lembah mesopotamia! di themanon kita menegakkan kota!”
“temui ibrahim di sana, dinginkan api! dinginkan api!”

"ababil, merayaplah dalam hijaiyah dan bernyanyilah dalam ruang keseratus lima, kunci menuju dunia lama itu kau tahu ialah kata berdimensi lima"

percayalah pada suara-suara batu di kakiku. porinya ialah kerak neraka (malik sendiri yang meletakkannya di situ). kau lihat sayapku ini, hud-hud? ialah gelombang gema api yang menyala di bakar ledakan kosmik. sampaikanlah kepada mereka yang menunggu, tahun-tahun manusia menyurut, fana. aku ini telah melintasi mesopotamia lama dalam bentuk tanpa rupa, ketika nyala api didinginkan ibrahim.  ribuan tahun perjalanan ke atas langit lembah bakkah untuk menguliti tentara bergajah seperti daun di makan ulat. aku adalah penjaga penantian manusia itu. kususuri langit-langit peradaban masa silam dan masa mendatang. para penjaga hanya perlu melecutkan cemetinya untuk membuatku mengepakkan sayap api.

gema ruang, kata pada waktu. kata pada debu. kata pada seseorang yang datang kemudian.  kepada pelarian. kepada menara pengintai. kepada angin lesap di dalam mezbah. ke dalam kitab-kitab. kepada perang. darah. airmata. kesumat silsilah. mitos.
oo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.