Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

LAKI-LAKI RAMBUT BAWANG




Oleh: Denni Meilizon

BAWANG menyimpan semua hal yang membuatmu menangis. Ia menyimpannya dengan rapi dalam setiap lapisan kulit. Terkunci dalam tiap kerat dagingnya. Lapis demi lapis. Mengalir di dalam tanah. Dihisap akarnya. Dibawa turun temurun dalam kecambah. Menyimpan rapat beban pikiran. Sampai suatu saat entah kapan, ia akan menumpahkannya kembali kepada siapapun yang sedang kemaruk berpikir sebagai yang dialami si Sawir.
            Apalagi Sawir merasakan hari-hari yang kian berat. Hidup sulit. Dan ia mulai asyik menikmati bunyi tertawanya sendiri. Semakin keras ia tertawa, semakin terasa olehnya tak ada lagi orang yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Maka ia semakin sering bermenung. Terpikir olehnya tagihan cicilan rumah, rekening listrik, telepon, air, internet, isi dapur, beras, susu untuk anak atau untuk istrinya yang sedang mengandung, uang sekolah anak-anak, bensin motor dan biaya dokter seandainya nanti istrinya meminta untuk memeriksakan kandungan. Semakin Sawir memikirkan itu semua, semakin sering bawang hadir mengunjunginya. Semakin rajin bawang melintas. 

            Gelagat Sawir yang sering bermenung membuat istrinya khawatir.
“Jangan Uda sering bermenung, masuk pula yang tidak-tidak nanti,” ujar istrinya.
Ondeh kau perempuan tahu apa. Senang-senang sajalah kau di rumah,” ucapnya dingin.
“Janganlah Uda berpikir berat. Uda sudah sering kulihat tertawa sendiri.”
“Kau tak tahu beban pikiran Uda. Ah, sebaiknya kau tak perlu tahu.”
“Bagilah pikiran Uda itu kepada saya.”
“Sudahlah. Tidur sajalah kau!” sergahnya.
            Istrinya mulai memikirkan kondisi suaminya itu. Perempuan, di mana-mana memang pandai menyimpan perasaannya. Mereka bisa membaca yang tersirat. Maka perempuan sama seperti bawang. Ahli mengelola gundah gulana. Mereka sering memendam sendiri persoalan hatinya. Seperti Istri si Sawir sekarang. Tanpa banyak cakap. Ia sudah merasakan kalau uang belanja yang selalu diserahkan Sawir kepadanya saban bulan semakin berkurang. Semakin runcing ke ujung. Ia tahu akhir-akhir ini penghasilan suaminya semakin kecil.
            Besoknya, istri Sawir diam-diam pergi ke pasar. Ia membawa cincin mahar pernikahan. Beratnya satu mas. Dengan rela ia jual bukti cinta mereka itu kepada tukang mas. Ia tidak memberitahu Sawir. Nanti saja. Ia takut, Sawir akan marah. Cincin itu satu-satunya. Dahulu, ketika mereka akan menikah, Sawir bekerja sangat keras untuk bisa membeli cincin itu. Nanti saja kalau keuangan keluarga sudah membaik, ia akan menebusnya kembali. 
Namun, ia tidak menduga akan mendengar hal ini.
            “Motor kita kujual buat menutupi hutang. Sudah dua bulan kita menunggak pembayaran di bank,” kata Sawir.
            “Aduh, kenapa Uda tidak bilang dulu kepada saya?” tanyanya jengkel.
            “Ah, kau perempuan tahu apa,” jawab Sawir dingin.
            Kejadian selanjutnya semakin diluar dugaan. Sawir semakin kalap. Ia mulai menjual barang-barang elektronik di rumah itu. Pertama ia menjual televisi. Katanya ia sudah muak dengan tayangan televisi. Kepada anak-anaknya ia memberi alasan kalau saat ini di televisi banyak pendusta. Dan ia sebagai ayah yang baik tak mau anak-anak menonton tayangan yang dipenuhi para pendusta. Berikutnya ia menjual perangkat pemutar DVD. Lalu piano milik anaknya yang sulung. Anaknya protes.
“Kau tak perlu main piano. Pemain piano tak punya masa depan. Kau sebaiknya banyak-banyak membaca buku saja,” bujuk Sawir kepada anaknya.
            “Tapi, Yah…”
            “Sudah, tak ada tapi-tapian. Kau tidak tahu apa-apa,” pungkasnya. Anak sulungnya itu terdiam, masuk ke kamar menghempaskan pintu dengan kesal.
            Sawir kini sering marah. Dengan begitu iapun dibenci anak-anaknya. Sawir gelap mata. Barang milik anak-anaknya ia jual juga. Sepeda, skuter, laptop dan lain-lain berpindah tangan di pasar loak. Istrinya mencoba menahan kelakukan Sawir yang sudah kalap itu.
            Uda, menurutku sudah cukup barang-barang kita dijual. Cobalah Uda cari jalan lain. Manatahu ada…”
            “Sudahlah, tak ada lagi jalan lain. Kita ini pegawai. Suruhan orang. Rezeki kita menurut mereka. Sekarang rezeki itu dikurangi. Dibikin susah. Dibuatkan aturan begini begitu. Ya sudah, Mau menangis darah pun tetap segitu juga. Diam sajalah kau di rumah. Aku sudah mengatakan itu kepadamu, kan?”
            Istrinya kembali terdiam. Ia menatap nanar isi rumah mereka. Lapang. Semua barang sudah dijual suaminya. Akan tetapi walaupun Sawir mulai sedikit gembira karena ada uang yang didapat,  tidak begitu halnya dengan anak-anak. Suasana rumah menjadi aneh. Anak-anak menjadi pendiam. Mereka murung dan sering mengurung diri di kamar. Sayangnya Sawir tidak peduli. Kali ini Sawir berniat mau menjual kulkas.
            “Kulkas harus kita jual. Pengeluaran kita untuk bayar listrik banyak sekali bulan ini,” tukasnya. Ia tidak menunggu persetujuan istrinya. Sawir hanya memberitahukan saja. Sebab baginya perempuan tidak tahu apa-apa.
            Istrinya hanya pasrah. Ia sudah kehabisan kalimat untuk membantah suaminya.
            Suatu hari, tiba-tiba Sawir berhenti menjual isi rumah. Bukan karena keuangan keluarga sudah membaik. Bukan! Tetapi disebabkan oleh satu hal yang kembali membuat Sawir mulai sering terlihat termenung: tak ada lagi barang yang akan dijual!
            Kembali bawang melintas. Apabila Sawir sudah mulai berpikir lalu termenung maka bawang niscaya akan datang. Ia memenuhi kepala Sawir dengan semua hal yang dimilikinya: kulit bawang, daging bawang dan bau bawang. Sawir kemaruk didatangi bawang. Teror bawang ini sudah tidak bisa ia terima lagi. Ia lalu mendatangi istrinya.
            “Tak ada lagi yang bisa kita jual,” katanya kepada istrinya.
            “Lalu apa rencana Uda?” tanya istrinya.
            “Saya mau menjual anak-anak saja. Kabarnya ada orang yang mau membayar mahal,” ucapnya datar.
            Istrinya kaget. Setan apa yang merasuki suaminya hingga berkata demikian? Menjual anak-anak? Gawat!
            Uda, sabar ya. Itu tidak boleh kita lakukan. Dosa..”
            “Kau tahu apa! Kepalaku sudah pusing. Pusing..! Tiap bulan kita selalu begini. Aku macam pengangguran saja. Berseragam iya, berduit tidak. Tahu apa kau, Roih..! Tahu apa..?”
            Sawir marah-marah. Ia meninggalkan istrinya, masuk ke kamar dengan mendengus kesal. Pintu kamar tertutup berdebam keras.
            Malam datang. Sawir bermimpi ditelan bawang yang sangat besar. Ia meronta dan muntah-muntah. Tetapi sampai habis napas, ia tidak bisa melepaskan diri dari terkaman bawang besar itu. Ia tergoncang, ia lelah. Sawir tergugu dan menangis ketakutan.
            Pagi hari Sawit terbangun dengan bersimbah keringat. Perasaannya terasa aneh. Sangat aneh. Kepalanya berat sekali. Sebentuk aroma busuk menyeruak. Bau bawang besar dalam mimpinya semalam. Ingat bawang tiba-tiba perutnya mual. Ia ingin muntah. Dan aroma itu malah terasa lekat dan kian dekat.
Istrinya terbangun. Lebih pula kagetnya. Ternganga ia manakala memandangi Sawir. Ia menjerit histeris. Pucat pasi menunjuk kepala Sawir.
            Uda..! Ada bawang di kepalamu..!” Teriaknya tertahan.
            “Ba…baa..wang, apa? Maakk…maak..suudnya?” jawab Sawir tergagap. Refleks tangan kirinya menyentuh kepala. Tangan itu menjamah benda berbunyi gemerosok, berbentuk kecil, bulat dan banyak.
            “Rambut Uda menjadi bawang! Tengok ke cermin, Uda! Tengok!” kata istrinya lagi. Histerisnya belum berkurang. Ia menyeret lengan suaminya menuju cermin.
            “Astaga!” jerit Sawir. “Potong, Roihh! Potong! Ambil gunting. Ya, di sana, di laci!”
            Tangan Sawir ligat menggunting urat bawang yang tertanam di kepalanya. Bawan-bawang itu jatuh bergulingan di dekat kakinya. Namun, istrinya kembali menjerit sebab di tempat tumbuh bawang yang dipotong tadi kini tumbuh rumpun bawang baru dengan cepat.
            Melihat bawang rimbun di kepala Sawir yang tumbuh dengan cara aneh demikian, tiba-tiba sebuah kilat lampu menyala di kepala istri si Sawir. Ia tersenyum penuh arti.
            “Ayo Da potong lagi. Sini guntingnya biar saya yang memotong,” katanya. Tanpa menunggu ia menyambar gunting itu dari tangan suaminya.
            Betul dugaannya, bawang itu kembali tumbuh. Dengan sigap ia memotong lagi. Bawang tumbuh lagi. Semangat istri Sawir menggebu-gebu. Sawir sampai kewalahan menghadapi istrinya yang tiba-tiba begitu kesetanan.
            Tanpa mereka sadari setumpuk besar bawang hampir saja memenuhi kamar. Bawang-bawang segar dari kepala Sawir.
            “Teruslah murung, Uda. Teruslah berpikir. Semakin banyak beban pikiran Uda semakin banyak bawang kita peroleh,” tukas istrinya kepada Sawir dengan gembira.
            Sawir masih belum mengerti. Kepalanya sangat berat. Tetapi istrinya sudah tidak peduli lagi. Mulut perempuan itu mengoceh gembira tak terkendali.
            “Mulai besok kita jualan bawang saja, Da! Uda tak perlu bekerja. Cukup berpikir saja yang banyak. Murung saja di rumah. Pokoknya beban pikiran Uda harus berat. Ya, agar bawang-bawang tumbuh dari kepala Uda. Aku akan memotongnya. Kubawa nanti ke pasar. Aku dan anak-anak akan berjualan bawang,” katanya dengan berbinar.
            Sawir muntah. Semaput dan lupa entah sedang berada di mana.

Padang, 22 Mei 2015 

Dimuat oleh Harian Padang Ekspres, Minggu 12 Juli 2015
             



TENTANG PENULIS

Denni Meilizon, lahir tanggal 6 Mei 1983 di Silaping Pasaman Barat. Menulis puisi, cerita pendek dan esai. Bergiat di FAM Indonesia. Tinggal di Lubuk Minturun Kota Padang, Sumatera Barat.

Komentar

  1. keren abang. Selamat, ya!

    Sedikit saran, sepertinya adegan istrinya menjual mas kawin itu tak perlu, karena fokus berikutnya yg suka jual barang si Sawir. Buktinya, si istri kaget dan minta diberitahu kalau sawir mau menjual barang2 (dialog jual motor), tetapi dia sendiri menjual mas kawin diam2. Ah, tapi memang begitu kehidupan nyatanya, ya, bang?

    Kok, ade merasa cerpen ini curhatan bang Denni, ya? wkwkkw *meski di pesbuk bilang dedikasi untuk PNS :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. https://www.blogger.com/profile/03606796236739121801

      Perempuan tahu apa, De. hahahahaha

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus

Posting Komentar

Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.