BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
Oleh: Fahrezi, SIP. MM**
Masyarakat
Mandailing
memiliki bahasa Mandailing sebagai alat komunikasi antar sesama anggota
masyarakat di wilayah Mandailing dan juga di perantauan bagi sesama masyarakat
Mandailing. Langgam bicara orang Mandailing lemah lembut dengan lantunan lagu
kalimat yang merdu, nada suaranya rendah, tidak lantang, disebabkan keadaan
alam Mandailing yang subur, banyak ditumbuhi pohon, sehingga tidak perlu
bersuara keras ketika sedang berbicara. Langgam bicara yang lemah lembut
tersebut menyebabkan bicara masyarakat Mandailing disebut dengan istilah lembut mangalangoi (lemah lembut namun
membuat orang melangu).
Masyarakat Mandailing
masih memelihara bahasa dan adat istiadatnya, meskipun telah berada di
perantauan disebabkan sifat merantau masyarakat Mandailing yang menjadikan rantau
sebagai kampung halaman kedua. Budaya yang ada di kampung halamannya dibawa
keperantauan sehingga situasi kampung halaman tetap tergambar dalam masayarakat
Mandailing di perantauan. Hal ini menyebabkan perantau Mandailing betah tinggal
diperantauan.
Bahasa Ibu bagi
masyarakat Mandailing sering disebut Hata
Mandailing (bahasa mandailing) yang secara tradisional terdiri dari lima
ragam, yaitu; 1). Hata Somal, ialah
ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. 2). Hata Andung, yaitu semacam ragam bahasa
sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan pada waktu meratapi jenazah
dalam upacara kematian dan seorang gadis yang meratap di hadapan orangtuanya
pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk di bawa ke rumah keluarga
calon suaminya. 3). Hata Teas Dohot
Jampolak, adalah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika
terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian). 4). Hata Sibaso, ialah ragam bahasa yang
khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan alam ghaib)
ketika dalam keadaan kesurupan dan juga digunakan oleh datu (penyembuh
tradisional) pada waktu melakukan pengobatan. Dan 5). Hata Parkapur, yaitu ragam bahasa sirkumlokusi yang dahulu digunakan oleh orang-orang Mandailing
pencari kapur barus ketika berada di dalam hutan.
Dalam hal ini, ragam
bahasa Hata Somal lah yang terjadi benturan
(buluran) dengan bahasa Minang di Nagari Ujunggading. Hata Somal sebagai bahasa ibu di Mandailing masih mampu bertahan
hingga sekarang. Tetapi seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi
puluhan tahun, termasuk masyarakat Mandailing yang telah hidup ratusan tahun di
Minangkabau, menyebabkan bahasa ini sudah berubah ketika berhadapan dengan
bahasa Minang. Masyarakat Nagari Ujunggading lebih mau menyebut bahasa yang
mereka gunakan ini dengan sebutan “Bahasa Malayu” ketimbang menyebutnya Bahasa
Mandailing ataupun Minang.
Bahasa Malayu di Nagari
Ujunggading tercipta karena ada perubahan kata, baik dalam pengucapan asli
dalam Bahasa Mandailing, dan sebaliknya begitu juga dalam pengucapan Bahasa Minang.
Perubahan ini terjadi dengan sejarah yang lama dan telah berumur 200 tahun
lebih, sejak Nagari Ujunggading didirikan pada awal abad ke-19. Perkataan
seperti kata “tidak” dalam Bahasa
Mandailing diucapkan dengan kata “Inda”,
sedangkan kata “tidak” diucapkan dengan kata “Indak” dalam bahasa Minang. Dari benturan kedua bahasa ini menciptakan
kata sendiri di Ujung Gading yakni “Indo”
(yang artinya Tidak).
Dalam penyebutan angka
pun terjadi perubahan kata dan cara ucapan, misalnya angka empat dalam bahasa
Mandailing adalah “Opat”, sedangkan
dalam bahasa Minang adalah “Ampek”
dalam bahasa percakapan sehari-hari
masyarakat Nagari Ujunggading berubah menjadi “Ompek” (empat). Selain itu, misalnya dalam penyebutan “kakek” yang
dalam bahasa masyarakat Mandailing adalah “Ompung”,
ketika dibenturkan dengan Bahasa Minangkabau yang mengatakan “Angku” untuk penyebutan kakek maka dalam
masyarakat Ujung Gading sendiri ini telah berubah menjadi kata “Ongku” untuk menyebut seorang kakek.
Bahaso
kami lah bocampua, adat kami juo lah bocampua. Ujuanggadiang Nagari Mandailiang,
tapi adat disiko sudah bocampua (Bahasa kami sudah bercampur, adat kami juga
sudah bercampur. Ujunggading Nagari Mandailing, tetapi adat di sini sudah
bercampur).
Keberadaan Nagari
Ujunggading yang dibangun sejak awal abad ke-19 di Minangkabau, merupakan
Nagari yang awal penduduknya adalah dari Mandailing. Nagari Ujunggading pada awalnya
diinisiasi oleh dua orang pimpinan kedatangan masyarakat Mandailing yang
mencari pemukiman baru, yakni Datuk Rajo Kinaya, dan Datuk Gompo Rayo. Kedua
aktor ini direstui oleh Daulat Parit Batu selaku Pucuk Adat di Pasaman untuk
mendirikan Nagari.
Sejak didirikan pada
tahun 1821, Nagari Ujunggading telah melalui beberapa perubahan. Peran-peran
aktor di Ujunggading yang dikenal sangat intelektual, mampu mempertahankan
Nagari ini tetap eksis, meskipun asal penduduknya berasal dari Mandailing namun
adat yang digunakan adalah Minangkabau yang juga mengakomodir budaya-budaya Mandailing.
Perbenturan antara dua budaya yang berbeda, di mana masyarakat patrilineal yang hidup di ranah matrilienal, menciptakan keunikan tersendiri bagi Nagari Ujunggading. Kebudayaan-kebudayaan di Nagari Ujunggading sudah sangat berbaur, salah satunya acara adat “Bagimba”, yang merupakan perpaduan antara budaya Minangkabau dengan budaya Mandailing. Bahasa yang digunakan pun sangat berbeda dengan bahasa pada Nagari-Nagari lain di Sumatera Barat. Bahasa masyarakat Nagari Ujunggading merupakan bahasa yang lahir dari interaksi masyarakat Mandailing dengan Minangkabau yang telah berlangsung ratusan tahun. Bahasa pada masyarakat Ujunggading lebih senang disebut saja dengan istilah “Bahasa Malayu Ujunggading”, daripada disebut bahasa Minangkabau ataupun Mandailing. **
Fahrezi, Staf Ahli Menteri BAPPENAS, S-2 di UGM Yogyakarta. (naskah ini diambil dari Tesis yang bersangkutan)
Perbenturan antara dua budaya yang berbeda, di mana masyarakat patrilineal yang hidup di ranah matrilienal, menciptakan keunikan tersendiri bagi Nagari Ujunggading. Kebudayaan-kebudayaan di Nagari Ujunggading sudah sangat berbaur, salah satunya acara adat “Bagimba”, yang merupakan perpaduan antara budaya Minangkabau dengan budaya Mandailing. Bahasa yang digunakan pun sangat berbeda dengan bahasa pada Nagari-Nagari lain di Sumatera Barat. Bahasa masyarakat Nagari Ujunggading merupakan bahasa yang lahir dari interaksi masyarakat Mandailing dengan Minangkabau yang telah berlangsung ratusan tahun. Bahasa pada masyarakat Ujunggading lebih senang disebut saja dengan istilah “Bahasa Malayu Ujunggading”, daripada disebut bahasa Minangkabau ataupun Mandailing. **
Fahrezi, Staf Ahli Menteri BAPPENAS, S-2 di UGM Yogyakarta. (naskah ini diambil dari Tesis yang bersangkutan)
Jadi melayu ujung gading tu keturunan dari suku mandaling yg merantau?menurut saya kalau dari segi bahasanya lebih mirip kebahasa minang hanya terdapat beberapa perbedaan pertukaran huruf (a) dengan huruf (o) atau (e) tapi kalau dari logatnya bahasanya lebih mirip bahasa mandailing.
BalasHapus