Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

PERJUMPAAN KITA DISUATU SENJA


Oleh: Denni Meilizon


"BAIKLAH, apa yang ingin kau bicarakan?" ia berhenti. Kedua pipinya menyemu ditampar bau garam. Suaranya disengat matahari senja.
Tapi riap anak rambut di dahinya membuat hatiku tersenyum. Walau tentu saja ia merenggut. Tentu saja.
Aku tak menjawab. Dari balik batinku yang masih mengaguminya, aku mencoba menyibak dan menghela angin, berusaha ada di hadapannya.
"Lho, kok malah diam sih!" ujarnya jengkel.
Aduh, aku harus utuh, dinding angin yang membatas ruang dan waktu harus mengantarkanku betul-betul hadir di hadapannya. Lihatlah, bahkan sisa terang matahari bagai terlempar oleh kilau sosoknya itu. Gegaslah!

Ia melepaskan tangan yang kugenggam sedari tadi. Diambilnya sebuah sudut. Sudut dalam ruang yang dihiasi senja. Senja yang meriak manakala mata buah plum itu menusuk lurus ke padaku. Aku tersengat.
"Aku masih menunggu, maka bicaralah. Kalau tidak aku pergi sekarang," ucapnya lagi.
Aku yang tersengat baru saja terlempar ke hadapannya. Terpaksa. Mengingat aku lebih suka berada dalam batas ruang dan waktu dalam binar kekaguman, mengagumi setiap jengkal sosoknya.
"Jangan! Jangan pergi. Aku mencintaimu," kataku terburu-buru. Aku sudah kehilangan banyak waktu. "Cintakah engkau padaku?" kejarku lagi.
Ia terdiam. Atau mungkin tercekat. Sudahlah, pasti ia sedang mengagumi ucapanku. Ia sedang mencerna. Sudahlah. Berikan waktu.
Jingga di langit semakin terhalau ke barat. Kepak burung-burung hitam dan putih merubah udara menjadi molekul-molekul tak terhingga. Laut, adakah kedalamannya bakal menyimpan cerita senja ini? Garam, adakah ia bakal membuat kisah disublim terhisap angin? Aku menunggu.
"Kenapa diam?" aku bertanya. Ia jumawa. Sudut-sudut ruang bersilang. Aku terhenyak.
"Aku tak bisa menjawab," katanya.
"Kenapa? Apa susahnya menjawab cinta?" desakku. Aku tahu sebentar lagi aku akan kalah.
"Bukan perkara cintanya itu yang harus kujawab. Bukan itu. Kamu. Ya, Aku tak bisa menerima kamu. Walau aku mencintai cintamu.."
"Aku tak mengerti."
"Apa mencintai butuh dimengerti?"
"Tentu saja. Kalau tidak begitu bagaimana kita bakal menyelaminya?"
"Apa cinta butuh penyelaman?"
Ia menarik diri sekarang. Aku dikekang sudut, ruang dan waktu, laut, senja, matahari, burung-burung. Bau asin garam semakin menenggelamkanku dalam ketidakpahaman. Sudah kukatakan kalau aku akan kalah.
"Sudah. Pokoknya aku tidak mencintaimu. Itu saja. Biarkan saja aku mencintai cintamu. Aku tak ingin memilikimu. Aku sudah cukup, tak butuh tambahan diri, dirimu. Bebaslah. Kau bebas!" ucapnya menjauh, menoleh meninggalkan gerak lambat riap rambut dan denting angin yang berdebur di dadaku.
Apakah aku boleh bergabung dengan senja di ufuk sana, sekarang?
****
Padang, 24 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.