Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

ZIKIR GERIMIS DALAM PUISI –PUISI SYARIFUDDIN ARIFIN



(Catatan terhadap Buku Puisi “Galodo: Di antara Dua Sungai”)
Dimuat HARIAN RAKYAT SUMBAR (Kolom Budaya), 8 Agustus 2015

Oleh: Denni Meilizon**


ADEK ALWI (Sastrawan dan Dosen Jurnalistik Politeknik UI) dalam Prolog buku puisi Galodo: Di antara Dua Sungai (Gambang Buku Budaya, 2015) menuliskan sebuah pepatah yang menuntun saya membaca lebih simak puisi-puisi Syarifuddin Arifin utamanya terhadap puisi-puisi yang mencatat perjalanan (badaniah maupun sprituil). Pepatah itu, “Lama berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak termaknai” terasa sekali digaungkan lewat ungkapan-ungkapan puitis dengan teknik tingkat tinggi yang terbaca seperti penggalan puisi berikut ini: “siapa yang menggigil/di antara zikir tak kusuk/aku menghitung denyut nadi/seperti mengeja kata/dan menulis; pulang” (Gerimis Mengajakku Pulang, hal. 51).

Puisi tersebut, dengan kata “pulang” ditegaskan berulang-ulang dalam tiap bait semakin mengingatkan kepada kita bahwa penyair telah lama berjalan, telah lama hidup mencari makna.  Namun, penyair bukanlah orang yang mudah untuk pulang. Sepanjang ia masih bersyair maka ia adalah pengembara. “Mengikuti arus, mengikuti gerak alam/jangan membelenggu/arus akan memorakporandakan segala/maka membendungnya dengan iman/tunduklah pada hukum alam” (Mengikuti Arus, hal. 11). Syarifuddin Arifin menulis puisi yang mengalir bak sungai. Lalu ia mencatat, “aku tertancap bagai pohon tak berdaun/lalu desir suara ular meliuk menyirap darahku/lampion, ya lampion itu membawaku/ke sebuah kota yang lenyap seketika/ditimbun bah dari samudera” (Hujan Desember, hal. 8). Ke mana sebetulnya kata pulang akan membawa badan? Apabila asal semua yang hidup dari air apakah memang begini, “berkaca pada air, airnya beriak ditiup angin/keringat siapa yang amis bau darah?/siapa yang mengalir pada terik tak dingin/terikat mata lupa membaca arah” (Berkaca pada Air, hal 16). Pulang nyatanya bukanlah kembali. Tak ada waktu untuk bersantai. Dunia masih butuh para penyair. Dunia yang penuh omong kosong. Kotor. Syarifuddin Arifin kembali menyentak buhul saraf kita, “seberapakah dosa-dosa yang harus kusucikan?” (Menjelang Kurban, hal. 63).
Dibandingkan dengan kumpulan puisi Maling Kondang (Teras Budaya, 2012) yang menghimpun puisi-puisi Syarifuddin Arifin lainnya, puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi Galodo: Di antara Dua Sungai (Gambang Buku Budaya, 2015) lebih sedikit lembut. Misalnya di dalam Maling Kondang, kita akan menjumpai puisi Syarifuddin Arifin macam begini lebih sering, halaman demi halaman: “bagaikan benalu yang menghisap tempatnya berpijak/meregangkan cambium yang tahan segala cuaca/kau berteriak dari atas podium lalu memecah atmosfir kehidupan negeri ini/menarik neraca angka kemiskinan lalu merangkak ke negeri lain/ meminta (memohon) bantuan atas segala bencana// Tuhan! campakkan mereka ke nerakamu, karena selalu merindukan benalu di atas penderitaan kami” (Rindu Benalu, MALING KONDANG, hal. 25). Namun, Galodo: Di antara Dua Sungai tak melulu mengungkapkan pemberontakan dan perlawanan, puisi-puisi dalam buku ini mendominasikan persajakan yang romantik. Bukan cinta sembarang cinta. Tetapi ia membicarakan cinta nan dalam. Percintaan menurut pandangan seorang anak manusia yang telah makan pengalaman hidup. Kelembutan juga terasa dalam pelbagai pengungkapan umpamanya, setelah membicarakan soal kencing yang berenang-renang disebuah restoran hotel bintang lima antara Cikini – Depok (Dalam Commuter (herman syahara), hal. 34) dengan enaknya, puisi-puisi berikut yang bermunculan adalah soal Menanti Janji (hal. 39), Selamat Ulangtahun (hal. 41) Padamu Aku (hal. 45) Tentang Cinta (hal.61), Ketika Cinta Membusai (hal. 71) dan lain sebagainya. Belum lagi kemunculan puisi-puisi bertema hujan, Ibu, air, gerimis, sawah, ladang, pegunungan, betis perawan, semut bermanis-manis, pesta, pagi, siang, malam, tentang bunga, embun, kopi gayo, kunang-kunang, dan lain sebagainya sejatinya membuat pembaca menyungkupkan emosi ke dalam baluran rasa tenang dan damai. Alih-alih kita akan membaca soal koruptor, begundal-begundal busuk dalam pemerintahan atau ironi-ironi kehidupan sebagaimana yang menjiwai kumpulan puisi Syarifuddin Arifin sebelumnya (baca: Maling Kondang, pen).  

Namun jangan salah menduga jikalau produktifitas kepenyairan Syarifuddin Arifin sudah lekang oleh usia. Saya mengikuti ternyata puisi-puisi bertema perlawanan dari penyair kelahiran 1 Juni 1956 ini dapat segera kita temui dalam antologi Puisi Menolak Korupsi (Jilid 1 dan 2 terbitan Forum Sastra Surakarta), antologi Dari Negeri Poci: Negeri Abal-abal (Kosakata Kita, 2013) atau dalam antologi Memo untuk Presiden (Komunitas Sastra Surakarta, 2014). Agaknya, Syarifuddin Arifin telah membuka panggung di mana-mana. Dibacanya pasar pembaca. Dengan itu ia ada di mana-mana. Bersuara lantang. Semakin tua semakin menjadi. Belum lagi, baru-baru ini ia menerima Anugerah Utama Puisi Dunia 2014 dari Numera Malaysia membuat namanya dalam tataran ASEAN menjadi pembicaraan. Tak salah kemudian Tengsoe Tjahjono (Sastrawan, Dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies Seoul, Korea Selatan) menamai puisi-puisi Syarifuddin Arifin sebagai “Narasi Melayu”. Atau mengikut kepada pandangan Dr.Hj.Esti Ismawati, MPd (Dosen Sastra Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten) sebagai “Puisi-puisi Airmata”. Tiap pembaca tentunya boleh saja punya penilaian sendiri. Silakan berikan istilah penamaan lainnya setelah membaca semua puisi-puisi Syarifuddin Arifin dalam kumpulan puisi Galodo: Di antara Dua Sungai tersebut.
Sebagai penutup, mari kita baca sajak berikut: “kembalilah/ pada fitrah/ penuh ruah/ di sajadah// zikirlah/ sujud sembah/ pada Allah// bersyukurlah/ umur bertambah/ menimbun lembah/ menumpuk gelisah/ sampai lelah/ menghitung salah” (Penuh Ruah di Sajadah, hal. 64).
Teruslah menulis syair “mencurah darah, tak sampai-sampai” (hal.76), Pak If!***

Padang, 25 Juli 2015

**Denni Meilizon lahir tanggal 6 Mei 1983 di Silaping Pasaman Barat. Menulis Novel, Cerpen, Puisi dan Essai. Bergiat pada Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Berdomisili di Lubuk Minturun Kota Padang, Sumatera Barat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.