Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

ANAK-ANAK PANGARO: VISI BAGI GENERASI MUDA DALAM SEBUAH NOVEL




Oleh: Denni Meilizon**

GLOBAL WARMING atau isu pemanasan global hari-hari ini menjadi tren dan topik diskusi keren. Es di kutub bumi mencair perlahan. Sejengkal demi sejengkal. Pecah menjadi air, menaikkan volume air laut di seluruh benua. Sementara daratan mengering, tak bisa menyimpan cadangan air sebab pepohonan yang menjadi tumpuan untuk penyerapan air tanah malah semakin beringas ditebangi. Hutan digunduli. Tak ditanami kembali. Sabana gersang, hewan-hewan banyak yang mati. Sawah berubah menjadi perumahan. Padi sulit ditanam, maka pemerintah mengimpor beras dari Negara-negara yang masih setia menanam padi. Bahan pangan semakin sulit. Laut kehilangan biota hayati. Hasil laut semakin merisaukan nelayan. Imbasnya, sebagai pemuncak dalam piramida rantai makanan, manusia merana. Bukan saja raga yang kehilangan asupan gizi tetapi juga mental dan sikap menjadi jatuh. Dari manusia yang dibekali kearifan berpikir menjadi makhluk serupa binatang yang mengedepankan naluriah untuk bertahan hidup semata. Siapa kuat dialah yang berkuasa.
Begitulah ide sentral yang coba diangkat oleh Novel Anak-anak Pangaro besutan terbaru Novelis Indonesia, Nun Urnoto El Banbary.
Dengan mengambil latar tempat di sebuah pulau bernama Pulau Giliraja, Madura segala intrik, kejadian ataupun konflik jiwa manusia dan alam disatukan serta disajikan. Anak-anak Pangaro menceritakan kisah sekelompok siswa sebuah Pesantren di Kota Sumenep Madura yang digelari Anak-anak Pangaro oleh lingkungannya sebab berinisiatif untuk mengentaskan bencana kekeringan dan kemarau nan panjang di salah sebuah pulau dalam formasi kepulauan Madura. Pulau itu pulau Giliraja. Sebuah pulau yang diidentifikasikan bagaikan dilemparkan dari surga sebagaimana dapat kita baca dalam dialog novel tersebut. Sayang “keping surga” itu beberapa tahun belakangan berubah bak neraka. Hawa damai, makmur dan sejahteranya bagai tersirap langit atau dihela angin kencang entah ke mana, tak pernah kembali walau harap dan doa menggantung dalam setiap dada penduduknya, masyarakat pulau. Masyarakat petani dan nelayan. Masyarakat yang menjadi korban bencana alam yang tak terjamah oleh Pemerintah. Hingga kedatangan siswa-siswi Pengurus OSIS Pesantren Nurul Iman membawa secercah harapan baru di hati penduduk pulau.
Nun Urnoto El Barbary, Novelis asal Madura Jawa Timur yang memulai debut novelnya lewat Anak-Anak Revolusi (Alif Gemilang Pressindo, 2013) disusul Memanjat Pesona; Jalan Terjal Meminang Cinta (Pintu Kata, 2014) kemudian paling terkini novel yang menjadi pembicaraan dalam artikel ini: Anak-anak Pangaro yang diterbitkan oleh Metamind-Tiga Serangkai tahun 2015 nyatanya sudah kawakan malang melintang dalam dunia kepenulisan sastra. Beberapa kali ia menjadi Nominator berbagai lomba dan sayembara kepenulisan. Belum lagi keterlibatannya dalam beberapa antologi bersama baik Cerita Pendek dan juga Puisi. Selain menulis fiksi Nun Urnoto juga menulis buku-buku non Fiksi semisal Otokritik Pendidikan dan Peradaban Pesantren, Kebangkitan Peradaban Madura atau ini Sastra yang Indah: Sastra Kemanusiaan serta lainnya. Tulisannya juga disiarkan dalam pelbagai suratkabar.
Membaca Novel Anak-anak Pangaro kita diberikan kunci tema berupa sebuah kata asli yang terambil dari Bahasa Madura: PANGARO. Menurut pembacaan saya, ada beberapa kali penulis mencoba selalu mengingatkan pembaca untuk terikat dalam tema ini. Dari konsistensi penulis menampilkan kata “Pangaro” itu pembaca disuguhi makna bahwa Anak-anak Pangaro berarti Anak-anak yang membawa keberuntungan. Maksud dan tujuan penulis untuk mengangkat kearifan lokal (dalam hal ini: Madura) sangat terbaca dengan jelas. Ada cerita soal Karapan Sapi. Uraian tentang kesenian tradisional Madura seperti: Ludruk, Ketoprak, Samman, Macapat, Saronen, Samroh dan Thong-thong. Hal ini tentu tak menjadi masalah, sebab kecenderungan Penulis Indonesia memang lumrah seperti itu. Dan inilah yang membuat novel-novel dengan tema sejenis begitu disukai pembaca tanah air. Dengan mengangkat tema kearifan lokal, penulis mendekatkan pembaca ke dalam kisah yang dibangun. Kisah dalam novel toh juga kisah mereka sehari-hari. Sesekali penulis menuangkan ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah. Bagi pembaca bukan orang Madura seperti saya jelas ini sangat menguntungkan, saya bisa belajar bahasa Madura sedikit-sedikit. Bahasa yang unik dan indah. Bahasa yang dikenal tidak saja dari keunikan vokal pengucapan namun melekat dalam sikap dan perilaku pemakainya. Tegas tanpa tedeng aling-aling. Namun menyimpan kebaikan dan kesetiakawan yang jempolan.
Lewat tokoh Ummi yang bernarasi sebagai Aku, kita dibawa menelusuri lika-liku perjuangan hidup anak remaja yang dipaksa keadaan untuk meninggalkan pulau, rumah kelahiran yang teramat sangat dicintainya. Meninggalkan keluarga sanak famili dan juga sawah, ladang serta laut dengan pantainya yang selalu mengimbau pulang. Bagaimana akan pulang?
Pulau Giliraja (kadang pada beberapa bab disebutkan Pulau Raja saja) sudah tak memberikan rasa aman dan damai untuk melangsungkan kehidupan. Apalagi bagi seorang Ummi yang sudah tidak berbapak, hanya hidup dibawah asuhan Ibunya yang juga menanggung hidup dua adik lelakinya. Belum lagi kemunculan para begundal yang menamakan diri “Grup Pettheng”, peggambaran sisi kasar keputusasaan sebagian manusia, tokoh-tokoh antagonis yang menjadi biang kerok terjadinya teror berupa perampokan dan pembunuhan di pulau itu. Perjudian, perampokan, pembunuhan dan perzinahan di mana-mana memang menjadi tema yang menarik manakala kita akan membicarakan sebab musabab terjadinya bencana. Keserakahan, ketamakan dan hilangnya tepa selira, rasa kemanusiaan dan kepedulian akan kepentingan umum sejatinya juga akan mendapat tempat sebagai pangkal bala. Bukankah Allah SWT berfirman kalau bencana dan kerusakan di muka bumi ini tiada lain adalah akibat kejahilan tangan-tangan manusia itu sendiri? Itulah gambaran situasi Pulau Giliraja yang dikisahkan dalam Novel ini.
Di mana ada kejahatan, di sana juga pasti ada kebaikan. Di mana ada orang jahat maka di sana pula dipastikan ada orang baiknya. Dalam Anak-anak Pangaro, tokoh Ummi sebagai protagonis disandingkan dengan sekelompok siswa seperti Zainal (Ketua OSIS), Ali Wafa (Wakil Ketua OSIS), Rahayu (Sekretaris OSIS), Muallimah, Untung, Fatah, Maslahah, Mathlub, Hong Chang-Chang (yang digambarkan sebagai penganut Kristen taat namun fasih bicara soal perlunya taubatan nasuha bagi penduduk pulau) serta guru-guru yang cerdas dan pendobrak seperti tokoh Pak Putra Kusuma Bangsa (Pembina OSIS).
Sebab dipicu oleh kematian orangtua laki-laki Fatah yang juga berasal dari Pulau Giliraja (sama dengan tokoh Ummi), akhirnya mereka dapat menggalang dukungan dan kolaborasi dari pihak Pesantren dan para donator untuk sama-sama mengentaskan bencana yang menimpa Pulau Giliraja. Mereka datangi pulau dan penduduknya. Mereka menghadapi gerombolan begundal yang ternyata dipimpin oleh Ayah tokoh Zainal yang tidak dikenalnya selama ini. Sebuah kisah tragis menjadi klimaks pertemuan ayah dan anak ini. Pimpinan Grup Pettheng, Pak Masdikun yang juga Ayah dari Zainal ditemukan mati akibat Carok dengan sesama rekannya. Budaya Carok memang dikenal dekat dengan etnis Madura. Sebuah penyelesaian masalah antara hidup dan mati.
Pangaro atau keberuntungan yang dibawa oleh Ummi dan kawan-kawannya ke pulau Giliraja kiranya berbuah manis. Surau dan Mesjid ramai kembali. Penduduk disuruh untuk taubatan nasuha massal. Kematian pemimpin begundal membuat pembuat onar di Giliraja menjadi tercerai berai. Ketakutan akan teror menguap seketika. Kedatangan wartawan dan pihak kepolisian untuk mengusut kematian itu ternyata jalan lapang lain yang menyampaikan kegiatan sekelompak anak muda ini kepada mata Pemerintah. Ketika hujan yang lama tak berkabar turun dengan lebat, upaya penanaman kembali pepohonan dan tanaman yang meranggas segera dicanangkan. Pulau Giliraja kembali megah, sedikit demi sedikit mulai merona bak sekeping surga sebagaimana ia dahulu dikenal.
Novel Anak-anak Pangaro membawa pesan yang sangat lugas bahwa sebuah perubahan membutuhkan tindakan dan proses. Tidak ada perubahan dalam pendiaman. Kebaikan yang diorganisir dengan cemerlang akan mengalahkan kejahatan dengan telak. Perubahan berlangsung tanpa mengenal usia. Siapa yang hendak mengubah keadaan maka ia telah membawa keberuntungan bagi lingkungannya. ***

Padang, 25 Juli 2015

Tentang Penulis


**Denni Meilizon lahir tanggal 6 Mei 1983 di Silaping Pasaman Barat. Menulis Cerpen, Puisi dan Essai. Bergiat di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Berdomisili di Lubuk Minturun Kota Padang, Sumatera Barat 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.