Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

WABAH MENARI


Oleh Denni Meilizon

JELANG siang yang menetak ubun kepala, datanglah seorang perempuan separuh baya. Entah atas alasan apa ia kemudian berlari kencang menuju jalanan ramai yang sedang macet parah oleh kendaraan. Di tengah jalan itu, di bawah tatapan semua mata ia menari. Tak ada musik apapun. Angin kering, panas garang. Perempuan itu, membuka pakaian luarnya. Ia menggerai rambutnya. Cahaya panas matahari meliuk dari kibasan tangan, lenggokan pinggul, geraian rambut sepinggang, dan semakin girang ia menghentakkan kaki, kedua kakinya. Telapak kaki menderam ke aspal. Dalam terpananya tatapan semua mata, perempuan itu melentingkan tubuhnya lalu mendarat ke atas kap sebuah mobil sedan hitam. Pengemudi sedan, seorang remaja berwajah artis Korea terkaget bukan kepalang. Meloncat matanya menyaksikan seorang perempuan berpakaian dalam saja, melonjak-lonjak menari kesetanan di atas kap mobilnya. Sedan itu terlonjak-lonjak. Orang-orang tersentak dan mulai berkerumun. Meninggalkan macet yang tak tahu diri. Menonton kegilaan di depan mata yang juga tak tahu diri.
Remaja pengemudi sedan itu berusaha keluar pula. Tetapi tatapan perempuan yang menari di hadapannya membuat ia mengurungkan niat, kembali membenamkan badan di atas jok memegangi stir dengan kuat. Terlonjak-lonjak.

Sedang asyiknya orang-orang menonton tarian itu, tiba-tiba terdengarlah jeritan dari seseorang beberapa meter dari sana. Tanpa ada yang menyadari, seorang anak perempuan yang awalnya berkeinginan untuk menyaksikan kejadian tersebut malah membuat tarian yang sama. Ia menghentak-hentak. Menjentik-jentikkan jemari. Mengibas-ngibaskan rambutnya. Membuka pakaiannya. Lalu meloncat ke atas kap mobil di dekatnya. Pengemudi mobil itulah yang menjerit histeris itu.
Jeritan itu rupanya memicu seseorang dalam kerumunan untuk menari pula. Tarian orang ini memicu orang-orang di kiri dan kanannya. Tarian dua orang itu memancing orang-orang di dekatnya untuk menari. Lalu dalam sepersekian detik, efek berantai terjalin. Semua orang tanpa kecuali menari. Semuanya. Perempuan itu, anak perempuan itu, kerumunan itu. Lalu menjalar terus ke depan dan belakang, sepanjang jalur kemacetan yang semakin parah. Kendaraan yang di depan tak beranjak sebab pengemudinya juga ikut menari. Kendaraan di bagian belakang berhenti, kebingungan. Dalam kebingungan itu, efek tarian di depan menghantam mereka. Mereka menari. Mereka menghentak-hentak. Meloncat-loncat. Ke atas kap mobil, di atas boncengan motor. anak-anak, remaja dan orang yang lebih tua. Laki-laki dan perempuan. Mereka menari dengan surup. Pakaian sudah tak ada. Semua orang menanggalkan pakaian. Sepuas matahari membakari tubuh mereka.
Apakah musik masih dibutuhkan untuk menari? Tidak! Mereka kini tak butuh. Bukan! Bukan tak butuh sebetulnya. Sebab, berkemungkinan tiap mereka ada mendengarkan musik, musik yang ghaib. Mendenging dalam telinga mereka. Hanya saja kita tidak tahu. Kita tidak mendengar. Bukankah kita menyaksikan saja? Coba dengarkan dengan simak. Mungkin saja engkau akan mendengar musiknya. Engkau mungkin mau ikut menari. Bagaimana? Adakah terdengar? Nah! Bolehlah kau mulai dengan angguk-angguk kepala. Geleng kepala. Dengarkan lebih seksama. Gunakan inderamu terdalam. Rasakan! Rasakan. Jemarimu ingin ditetakkan sekarang. Kibaskan saja.
Sementara itu di atas kap sebuah mobil sedan, perempuan yang membuat semua orang menari ini tergeletak sekarat. Tubuhnya menyaga. Polos. Telanjang. Ia kusut masai. Darah segar berhamburan dari hidungnya yang masih bernapas satu dua. Mulut ternganga. Mata melotot.
Lalu semua orang mendadak membeku. Diam. Kesekaratan perempuan itu kiranya menghentikan musik yang berdebam di kepala tiap orang. Diam yang menjalar ke segala arah.
Remaja, pengemudi mobil sedan tadi beku di jok depan mobilnya. Kedua tangan memegang erat stir kemudi. Matanya meleleh menatap tepat perempuan telanjang di depannya.
***
Puluhan tahun kemudian, serombongan peneliti datang ke sebuah kota. Menurut literatur ilmiah, catatan rahasia Pemerintah dan berita yang mereka dapatkan bahwa puluhan tahun yang lalu sebuah kejadian aneh telah membuat semua penduduk sebuah kota di sebuah benua diketahui mati massal. Tak ada kebahagian dari wajah mayat-mayat yang tergeletak mengenaskan di sepanjang jalanan kota. Mayat-mayat itu gosong. Tanpa sehelai pakaian pun.
Dari catatan rahasia Pemerintah itu hanya disebutkan kalau kematian massal tersebut di sebabkan oleh apa yang dinamakan dengan “Wabah Menari”. Status pandemis. Laten. Siaga satu. Belum terpecahkan!***

Resto Suasso, 30 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.