Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Matinya Toko Buku Kami, Buku-buku yang Merindukan Pembacanya

(Artikel berikut merupakan saduran lengkap dari sebuah status di laman akun FB Boy Chandra, seorang Penulis Indonesia)

Bacalah Sampai Habis. Ini Penting!

Akhir-akhir ini ada beberapa hal yang membuat sedih di dunia perbukuan dan membaca di Indonesia. Selain fakta bahwa minat baca orang Indonesia yang semakin rendah. Berdasarkan 61 negara di dunia yang memiliki daftar literatur, kedudukan Indonesia berada pada peringkat nomor 60. Kita bahkan minat baca yang paling rendah. Hampir menjadi nomor terakhir, dan itu mungkin saja, jika tidak ada perubahan akan kebiasaan membaca . Sementara dari data Perpusnas, orang Indonesia hanya membaca 0-1 buku pertahun. Jumlah itu jauh lebih rendah dibanding data penduduk ASEAN yang lain, yang rata-rata membaca 2-3 buku pertahun. Sementara warga amerika serikat terbiasa membaca 10-20 buku pertahun. Orang Jepang rata-rata membaca 0-15 buku pertahun. Rata-rata negara maju adalah negara yang penduduknya rajin membaca.


Efek dari rendahnya minat baca buku, tidak hanya akan berpengaruh pada kemajuan bangsa. Namun juga pada dunia perbukuan yang ada di negara ini. Entah sudah berapa banyak toko buku yang tutup dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Suatu hari, saya pernah berbincang dengan pemilik salah satu toko buku di Padang, dulu di Sumatra Barat ada 300an toko buku, sekarang hanya tersisa tujuh. Hal itu juga dibenarkan oleh seorang distributor buku grup agromedia yang kebetulan bertugas untuk regional sumbar-pekanbaru, saya berbincang awal tahun lalu sewaktu mengisi acara peluncuran buku saya di pekanbaru. Beliau prihatin melihat semakin rendahnya minat baca buku orang Indonesia.

Baru-baru ini, salah satu toko buku Gunung Agung di Bandung juga tutup. Satu lagi toko buku tutup. Entah berapa banyak lagi yang akan tutup. Tentu, semakin banyak toko buku yang tutup, akan semakin sulit mendapatkan buku. Dan itu bukan berita yang baik. Percayalah, tidak ada yang bisa mempertahankan sebuah toko buku untuk bertahan, selain pembaca yang peduli. Orang -orang yang membeli buku. Selain generasi muda –pun tua, yang membeli dan membaca buku.

Bukankah bangsa yang cerdas adalah bangsa yang penduduknya rajin membaca buku? Kita memiliki 250 juta lebih penduduk, jika satu orang membeli satu buku saja satu bulan, itu sudah membuat perubahan yang lebih baik. Sempatkanlah membaca dan membeli buku. Saya menulis catatan ini, bukan karena saya penulis lalu meminta kamu membeli dan membaca buku. Sama sekali tidak. Bukan juga untuk meminta kamu membeli buku saya. Kalau pun bukan buku saya yang kamu beli, tidak ada masalah sama sekali. Belilah buku penulis yang kamu sukai. Ini semata atas kegelisahan saya akan dunia perbukuan dan minat baca buku generasi muda Indonesia yang sangat rendah.

Hal terpenting bagi saya menulis catatan ini. Agar kita sama-sama tumbuh membangun minat baca buku generasi Indonesia. Karena, semakin tinggi minat baca buku. Semakin banyak pengetahuan yang didapatkan. Akan semakin banyak pula toko buku, yang memungkinkan tidak hanya menjual buku penulis Indonesia, tapi juga akan lebih banyak buku-buku terjemahan dari penulis-penulis berbagai belahan dunia. Akan semakin banyak toko buku yang dibuka di daerah-daerah.

Suatu hari saya agak sedih membaca beberapa chat teman-teman di aceh, misalnya. Mereka kesulitan mendapatkan buku –dan ada yang harus memesan di Medan, atau toko buku online, guna mendapatkan buku yang ingin mereka beli. Sementara, kita yang memiliki kesempatan memilih dan membeli buku lebih luas, karena ada toko buku di kota kita, malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Mari peduli akan pertumbuhan minat baca bangsa kita. Siapa lagi yang akan memperjuangkan kemujuan bangsa ini dalam bidang membaca buku, selain generasi bangsa itu. Mulailah dari membeli 1 buku per-enam bulan, atau 1 per-tiga bulan, atau 1 buku perbulan. Bacalah pelan-pelan, sisakan waktu satu dua jam seminggu, atau satu dua jam sehari untuk membaca buku. Sebab semakin banyak buku yang kamu baca. Semakin tumbuh pengetahuanmu. Semua akan berdampak baik untuk pertumbuhanmu dengan bangsa tercinta kita ini. Juga, akan membuat lebih hangat suasana di bangsa kita. Bangsa ini akan tumbuh dengan generasi yang lebih cerdas sebab rajin membaca buku. Belilah satu-dua buku dalam sebulan. Itu tidak akan membuat kamu mati kelaparan. Justru kamu akan membuat dunia perbukuan di Indonesia akan semakin hidup. Tetap hidup.

Salam,
Boy Candra. Generasi Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.