Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Prof. Dr. Nadra, M.S. : Kalimat Efektif Mutlak dalam Penulisan Sejarah

Dari Bimtek Penulis Sejarah – 2016
Prof. Dr. Nadra, M.S. : Kalimat Efektif Mutlak dalam Penulisan Sejarah
Oleh: Dasril Ahmad (Kritikus Sastra)


KALIMAT efektif mutlak digunakan dalam penulisan sejarah, karena penulisan (karya) sejarah termasuk kategori karya ilmiah. Dalam kaidah berbahasa Indonesia yang benar, penulisan karya ilmiah mesti menggunakan ragam bahasa standar atau baku, yaitu; kalimatnya harus jelas, lugas, teratur, tepat makna, dan sistematis, yang lazim juga disebut dengan kalimat efektif.
Hal itu dikemukakan Guru Besar Linguistik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang, Prof. Dr. Nadra, M.S., ketika tampil sebagai pemateri “Bahasa Indonesia” pada “Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan bagi Penulis Sejarah – 2016” dilaksanakan Direktorat Sejarah Kemendikbud RI, bekerja sama dengan Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumbar, di Padang, Selasa (10/5).

Menurut Nadra, nilai suatu karya ilmiah biasanya ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: isi tulisan, bahasa penyajian, dan teknik penulisan. Kejelasan isi tulisan hanya tercapai jika disajikan dengan bahasa yang baik dan benar. “Justru itu, dalam penulisan karya ilmiah kita harus cermat memilih kata yang akan digunakan, sekaligus teliti menggunakan ejaan dan tanda baca. Kalau salah dalam menempatkan tanda baca bisa mengubah makna dari kalimat tersebut,” ujarnya.
Lebih jauh, Guru Besar Linguistik Unand (spesialisasi Dialektologi) kelahiran Kamang Hilir, Agam, 10 Juli 1963 ini mengemukakan ciri-ciri kalimat efektif antara lain, haruslah menggunakan bahasa baku, meliputi ejaan (penulisan huruf, kata, unsur serapan, tanda baca, dan istilah), yang mesti sesuai menurut kaidah tatabahasa. Kalimatnya harus jelas, agar mudah ditangkap maksudnya, sehingga maksud yang diterima pembaca sama dengan maksud yang diinginkan penulis. Selain jelas, kalimatnya haruslah ringkas atau lugas. “Dalam hal ini kalimat efektif itu tidak berbelit-belit dan tidak menggunakan kata-kata yang boros. Begitu juga, kalimat efektif haruslah punya koherensi: antarkata, antarkalimat, dan antarparagraf, sehingga di dalam kalimat efektif tidak ada unsur yang tidak berfungsi,” jelas Nadra yang pada kesempatan itu menyajikan 15 item sekitar penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, termasuk penjelasan tentang (diberlakukannya) buku Pedoman Umum “Ejaan Bahasa Indonesia 2015” sebagai penyempurnaan dari buku Pedoman Umum EYD.
Selain materi “Bahasa Indonesia”, Bimtek Penulis Sejarah - 2016 yang berlangsung selama 4 hari (9 s.d 13 Mei 2016) di Grand Inna Muara Hotel, Padang ini, juga menyajikan materi “Pengantar Ilmu Sejarah”, “Metode Sejarah”, “Penulisan Sejarah”, “Sejarah Lokal” dan ekskursi lapangan meninjau/meneliti bangunan tua bersejarah di kota Padang. Bimtek diikuti 30 peserta berasal dari pemerhati, peminat, sarjana, guru, dosen, dan penulis di Sumbar, yang bukan berlatarbelakang pendidikan sejarah. Kegiatan yang baru tahun ini (angkatan pertama) diadakan serentak di tiga kota di Indonesia (Padang, Denpasar, dan Pangkal Pinang) ini, dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga penulis sejarah yang dapat menulis sejarah sesuai standar. *** (Dasril Ahmad).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.