Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Proses Kreatif "KIDUNG PENGELANA HUJAN" : MENDEFENISIKAN MAKNA DALAM SATU KATA


"Aku adalah puisi. Kita adalah puisi. Seluruh alam semesta adalah puisi. Seluruh ciptaan Allah bagai berpuisi memuja kebesaran-Nya. Sebab sebuah proses adalah rangkai puisi dimana keindahan dan keteraturan menjadi sunnatullah. Alangkah pentingnya berpuisi. Setidaknya bagi diriku. "

Kalimat-kalimat diatas adalah sepenggal paragraf yang saya tuliskan kembali dari Kata Pengantar Buku Puisi "KIDUNG PENGELANA HUJAN", sebaris paragraf yang memuat visi dan misi saya menceburkan diri ke dalam dunia literasi. Bagi saya, semua proses yang dinamakan dengan penciptaan sesungguhnya tidak akan bisa lepas dari sebuah kalimat pamungkas dari Allah ketika Dia menciptakan dunia dan seisinya ini pada awal mula waktu, "KUN FAYA KUN". Itulah kemudian saya menyebutkan bahwasanya Allah pun ternyata, dalam menciptakan segala sesuatunya memakai pola syair, sajak ataupun puisi sebagai sebuah konseptual pernyataan ketuhanan.

Kalimat "KUN FAYA KUN" tidaklah sama dengan kata "Abrakadabra" ataupun juga "Simsalabim". Dua kata terakhir itu identik dengan suatu keadaan tanpa proses, tiba-tiba saja ada begitu rupa. Itulah yang membedakannya. Kalimat KUN FAYA KUN justru mengandung nuansa yang penuh dengan proses dari tidak ada menjadi ada. Ada beberapa proses dan tingkatan penciptaan termaktub dalam rangkaian kalimat ketuhanan itu. Ketika Allah berfirman "KUN !! (Jadilah !!), maka yang terjadi kemudian adalah serangkaian proses menuju keinginan-Nya untuk terjadinya sesuatu (FAYA KUN). Ditiap kata itu ternyata ada begitu banyak proses sebagai sunnatullah dalam tataran ruang dan waktu. Sehingga kita bisa melihat bahwa sesuatu hal diatas dunia ini tidaklah terjadi secara kebetulan. Semuanya kembali kepada proses penciptaan. Nah, pada proses itu pulalah kita bisa membaca keinginan-Nya, menelaah ayat-ayat-Nya dan menyelami diri kita sendiri dalam keberadaan di tengah dahsyatnya proses penciptaan ilahiah. Tapi yang perlu kita sadari adalah Allah sesungguhnya berada diluar segala proses itu sebab Dia berada diluar ruang dan waktu, makhluk-Nya lah yang kemudian merasakan segala macam proses penciptaan itu.

Lalu jadilah seluruh alam semesta. Jadilah kita. Jadilah saya. Karena setiap kejadian bermula dari kalimat yang dipuisikan Allah, maka sesungguhnya semua hasil kreasinya juga adalah puisi. Dari pemikiran inilah saya kemudian memantapkan visi dan misi saya dalam memproses puisi-puisi saya sebagaimana dikumpulkan dalam buku KIDUNG PENGELANA HUJAN.

Bagi saya, setiap kata yang dirangkaikan dalam bait-bait adalah sebuah kesimpulan substansial dari proses perjalanan kehidupan. Puisi jauh berbeda dengan sebuah cerita pendek atau sebuah novel. Menulis puisi adalah sebuah seni menggabungkan segala macam sumber daya akal, pikiran, nalar, imajinasi dan wawasan kedalam “satu kata” yang penuh makna. Maka bila ada yang mengatakan bahwa sajak, syair ataupun puisi adalah puncak segala ragam sastra, saya sependapat dengan hal itu. Puisi bahkan bisa mempress-kan dunia dan seisinya bisa jadi dalam satu atau dua kata saja. Mungkin pengalaman saya menulis puisi misalnya cukup menjelaskan akan hal ini. Cara saya menuliskan puisi tidaklah berdasarkan ide-ide yang direncanakan terlebih dahulu. Saya malah mendapatkan ide sebuah puisi dari mana saja dan kapan saja, sembarangan tempat dan waktu saja. Maka sejak proyek penulisan buku KIDUNG PENGELANA HUJAN saya proklamirkan, saya akan berpuisi dimana-mana, mempuisikan apa saja. Begitu saya didepan komputer, terpampanglah dengan jelas segala hal menyangkut dengan puisi yang akan saya tulis. Terbuka saja semuanya. Bila saya menulis tentang hujan, maka saya akan melihat hujan itu sampai ke sub-sub atomnya, teksturnya dan baunya. Saya seperti melayang-layang disudut-sudut semesta ketika menulis tentang alam raya, ekskalasi bintang-bintang, kosmos dan debu-debu semesta. Saya melihat dengan mata bathin saya bagaimana Rasulullah SAW bertahannuts, berjuang, berdakwah, dicaci maki, berjaya kemudian di puji-puji oleh segala bangsa (proses kreatif Puisi TAHANNUTS SANG NABI). Saya membayangkan diri saya sebagai seorang PERAMU TUBA saat mendeskripsikannya ke dalam kata-kata puitis. Saya menempatkan diri saya sebagai seorang ayah yang kehilangan anaknya yang terbunuh akibat tawuran dalam puisi SIANG TADI SEORANG AYAH KEHILANGAN ANAKNYA. Intinya saya menempatkan diri saya pada tiap kata, kalimat dan makna puisi-puisi itu.

Selama dalam proses penulisan kumpulan puisi KIDUNG PENGELANA HUJAN itulah saya bagaikan hidup dalam dunia-dunia yang ironisnya saya ciptakan sendiri. Ya, saya seperti menyaksikan sebuah layar kehidupan dimana sayalah pemeran utamanya. Sebuah dunia yang akhirnya memberikan pencerahan bagi alam pikiran saya secara pribadi. Berbagai literatur baik diperpustakaan pribadi saya ataupun berselancar di dunia maya saya lahap untuk mempertegas makna puisi-puisi yang saya tulis. Banyak pelajaran-pelajaran, hikmah dan pengetahuan yang dapat saya petik dari proses itu.

Ketika sebuah puisi saya yang saya putuskan menjadi pamungkas buku KIDUNG PENGELANA HUJAN saya tuntaskan, menitik air mata saya. Gemetar raga ini. 99 buah puisi yang ditulis oleh tanganku sendiri. Yang diproses oleh hati dan pikiranku sendiri, sekarang menjadi sebuah buku yang bisa dibagikan kepada sesama. Tiba-tiba aku merasa lelah. Benar – benar lelah…

Lubuk Minturun, Oktober 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.