Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Cerita Subuh Tadi

Aku masih berkutat dengan lembaran-lembaran penuh angka yang disusun berkolom-kolom itu. Ini sudah masuk sepertiga malam. Mata terasa berpasir. Ubun-ubun sudah dalam titik jenuh meminta untuk diistirahatkan. Ahh... sudah pukul berapa ini ? Aroma ruangan ini sudah sesak. Berlapis-lapis bau bersusun-susun membelai-belai penciuman. Aroma makanan yang sudah mulai basi, aroma makanan yang baru saja dibeli oleh seorang kawan, aroma asap rokok, aroma keringat, aroma jenuh, aroma AC yang mengeluarkan bunyi menggerung tanda sudah setengah hati berkompromi berkawan dengan suasana ruangan ini dan aroma syaiton yang berbisik untuk mengakhiri pekerjaan, tidur di atas sofa untuk selanjutnya menghanyutkan waktu subuh yang sebentar lagi mendekat. Sudah jam berapa sekarang?

Angka-angka berdigit enam dan tujuh itu kadang sudah menjelma menjadi titik-titik hitam saja. Kadang pula mata sudah salah menafsirkan bentuknya. Maka jadilah angka 0 menjadi angka 8, atau angka 5 terlihat angka 6. Begitu hebatnya otak mempengaruhi penglihatan ini untuk menyerah. Atau apakah itu juga pekerjaan syaiton yang iseng-iseng menaburkan mantara entah apa ke pelupuk mata seperti hikayat katanya entah siapa itu. Jam berapa sekarang?. Aura malam menjelang subuh terasa aneh. Bukankah waktu seperti ini katanya waktu yang rawan? saat pada demit dunia lain kembali ke dimensinya. Entah, tapi memang terasa ada yang lain bila masih terjaga di saat seperti ini. Jam di dinding menunjuk angka empat tepat. Namun, ada rasa hangat luar biasa, karena tepat di pukul empat sebagaimana sudah kebiasaan di kota ini mulai terdengar alunan ayat-ayat suci bersahutan dari menara-menara Mushalla dan masjid yang sangat banyak menabur di seantero kota. Alunan itu menurut pemahamanku justru sangat berguna untuk mengantar para makhluk halus yang akan kembali ke dunia ghaib, seperti yang kusampaikan tadi. Segelas Cappucinno panas ditawarkan seorang kawan lagi, jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima. Sudah hampir masuk parak siang rupanya, dimana ayat-ayat suci akan segera berganti pula menjadi bahana panggilan untuk menegakkan sholat Subuh, masih bersahut-sahutan, berlomba-lomba membangunkan jiwa-jiwa yang menggerayangi kelana dalam mimpi. bagiku, azan subuh adalah pertanda pekerjaan malam ini usai, ditunda untuk dilanjutkan pagi nanti yang tentu di jam kerja rutin biasa. Kuseruput nikmat cappucinno hangat itu. Hei.. kantuk itu sudah hilang pula. Itulah penyakitku kalau sudah tidak tidur sepanjang malam, bagus bagi kinerja sebuah intitusi namun tentunya cukup membuat situlang rusuk mendapatkan bahan menceramahi tentang menjaga kesehatan. Ah.. andai dia tahu betapa inginnya aku bernyenyak ria diatas kasur empuk itu...

Dengan sedikit geliat, ku ikuti tawaran seorang kawan untuk bersegera mengambil wudhu, membasuh jiwa dan mengelontorkan sisa-sisa penat semalam suntuk. Air dingin sarana bersuci ini meruap ke hati dan dengan langkah yakin kali ini kutuju mushalla kantor yang sepi itu. Bergabung dengan para sahabat karib berjamaah subuh menjemput pagi. Insya Allah dalam rasa syukur yang selalu mengaliri..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.