Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

KOTAKU KOTA YANG TERANCAM





Kota ini seperti takdir. Ribuan manusia mengunjunginya sembarang waktu. Berbagai keperluan silih berganti berlaku. Maka disini digantungkan harapan dan tujuan muara segala ingin. Adalah niscaya yang semestinya kota ini menyambut dengan ramah tiap pendatang yang berlabuh. Tiap pengunjung yang beranjangsana. Sambutan yang manis dan tentunya mesti dikenang sepanjang hayat.


Kota ini dibangun dipinggiran pantai berlaut yang bergelombang tinggi. Diatas pasir dan tanah merah yang memang tak cocok untuk pertanian. Maka sebagian besar mata pencaharian manusia disini adalah nelayan dan pedagang. Kalau ingin bercocok tanam juga maka mesti memilih mukim di pedalaman, di pinggir pebukitan yang memang mengelilingi topografi wilayah kota ini. Wilayahnya secara dimensional memang agak landai dan sedikit menjorok ke pantai.

Kehidupan dikota ini sejak kuketahui sangatlah tenang dan damai. Pembangunan digalakkan secara teratur merujuk kepada master plan tata kota. Tambah cantik dengan dibangunnya kanal-kanal besar, mengarahkan sungai-sungai yang membelah kota tepat menuju muara dilautan luas. Dimuara, batu-batu karang yang besar dionggok-onggokkan untuk berguna memecah ombak dan dapat pula beralih fungsi menjadi tempat yang pantas untuk sekedar duduk-duduk menikmati senja yang dibalur mentari keemasan. Warna yang dipantulkan oleh air laut yang sepoi bergelombang ditiup angin.

Hingga kemudian disuatu hari sebuah goncangan yang dahsyat memporak porandakan segala yang berdiri tegak diatas tanah. Memporak porandakan ketenangan hati para penghuninya. Hari yang takkan mungkin dilupakan oleh setiap orang. Karena sejak hari itu, ancaman yang membayang selalu berhembus sembarang waktu. Ancaman yang dikatakan akan datang dari tengah lautan yang sepoi itu. Ancaman yang dikatakan akan dipicu oleh bergesernya lempeng-lempeng bumi, tanah dimana pada hari ini aku mencari penghidupan diatasnya.
Duhai Allah, semoga kiranya bencana terlepas dari kehidupan kami di kota ini. Semoga penduduknya segera berbenah kembali mengerjakan hal yang benar. Hingga tak ada lagi maksiat dan dosa di bumi-Mu ini.

Saat azab dan bencana itu menghantui, tiada lain kita semestinya semakin mendekat kepada-Nya. Bukan malah semakin menjauhinya.

Denni Meilizon, 2012



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.