Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MEMBACA BUYA HAMKA DARI KENANGAN ANAKNYA






Judul               : AYAH… Kisah Buya Hamka
Penulis             : Irfan Hamka
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : Pertama, Mei 2013
Tebal               : xxviii + 321 Halaman
ISBN               : 978-602-8997-71-3







Siapa yang tidak mengenal sosok Buya Hamka. Profesor DR HAMKA adalah pribadi yang kompleks. Ia bukan hanya sekedar wartawan, penulis dan editor tetapi juga adalah sastrawan yang prolifik dan sekaligus sejarawan serta ulama terkemuka. Tak kurang pentingnya, Buya Hamka adalah ulama/intelektual-cum-aktivis sosial budaya dan agama yang melalui pengalaman langsung, observasi dan aktivisme  menuliskannya dalam karya tulis reflektif yang tajam dan menggigit. Membaca karya-karyanya akan terlihat bahwa beliau adalah seorang sastrawan-cum-intelektual yang rebellious. Tetapi juga Buya Hamka tetaplah seorang Ayah yang diteladani oleh putra-putrinya. Dia adalah suluh bagi keluarganya pun juga menjadi matahari bagi bangsanya.
Buya Hamka adalah sebuah nama dengan berjuta catatan sejarah. Sosoknya membekas dalam pada ingatan mereka yang pernah mengenal beliau semasa hidupnya dan bahkan juga mereka yang memang sama sekali tidak mengenal langsung Buya Hamka. Ulama besar yang lahir di Indonesia ini telah menjadi bagian dari catatan penting perjuangan seorang muslim di era pergerakan melawan penjajahan Belanda, saat kemerdekaan, maupun paska kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Buku “AYAH…  Kisah Buya Hamka” yang ditulis oleh anak beliau Irfan Hamka ini terasa lugas dan sangat informatif memberikan fakta-fakta menarik, langka sebab tidak pernah terekpos secara luas dan humanis dengan cara bercerita popular sehingga tidak menjemukan. Inilah buku yang memuat kenangan hidup sosok yang mampu tetap tegar berdiri meski fitnah, penjara, dan kebencian menghadang iman dan dakwah dalam tuturan seorang anak. Ada banyak sisi kehidupan Buya Hamka yang belum sempat diketahui oleh khalayak yang dibeberkan oleh buku ini. Ditambahkan dengan susunan silsilah keluarga yang ditampilkan utuh dan lengkap, menjadikan buku ini sangat layak untuk dibaca, dipelajari secara mendalam.
Buku “AYAH…  Kisah Buya Hamka” ini memang bukan salah satu karangan Buya Hamka tetapi ditulis oleh anak beliau berdasarkan pada ingatan, catatan serta tuturan pihak keluarga terdekat beliau. Maka peristiwa yang melatarinya pun tentu merujuk kepada usia si penulis ketika mampu untuk mengingat dan memahami sang Ayah. Sehingga melalui buku ini kita akan membaca ketokohan seorang Hamka  dari perspektif dan pengalaman yang berbeda.
Ketika anda ingin melihat Buya Hamka tidak sebagai ulama, sastrawan, cendikiawan, atau pemimpin masyarakat tetapi sebagai manusia yang dicintai istri, anak-anak, keluarga, murid-murid, dan sahabat-sahabatnya, buku “AYAH…  Kisah Buya Hamka” inilah jawabannya.
Peresensi : Denni Meilizon



*Resensi ini dimuat pada Harian Singgalang Edisi Minggu, tanggal 1 Desember 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.