Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MENYAMBUNG HATI DENGAN BAHASA PUISI




Ada sebuah pertanyaan yang cukup unik bagi anda fans berat dunia perpuisian ataupun persajakan yaitu apakah puisi bisa menjadi penyambung hati?



Sebuah pertanyaan yang barangkali tak penting, tidak serius dan main-main begitu mungkin menurut anggapan anda. Tapi apakah memang tidak penting?

Bahasa sastra adalah bahasa yang unik karena tidak menggunakan bahasa sehari-hari. Itulah kenapa kemudian sastra lalu kait mengait dengan kultur. Seperti pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Subhan (Ketua Umum FAM Indonesia) pada pertemuan sastra di Kota Padang baru-baru ini, bahwa Bahasa sastra itu adalah bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan kebenaran dalam tujuannya untuk menghancurkan ketidakbenaran. Kalau merujuk kepada defenisi di atas maka jelaslah bahwa secara proses memang bahasa sastra dengan kaitannya terhadap pembentukan suatu kultur maka sekaligus adalah juga tulang punggung terbangunnya sebuah peradaban.


Peradaban adalah sebuah tatanan kehidupan yang dirancang bangun guna melanggengkan kehidupan di muka bumi. Kehidupan itu sendiri mesti dipilah lagi. Kehidupan yang centang perenang pun toh masih termasuk dalam batasan defenisi peradaban. Namun sebagai manusia, tentu kehidupan yang sejahtera lahir bathin dan damai sentosalah yang menjadi tujuan sebuah peradaban diciptakan. Nah, untuk membangun visi tersebut, puisi dapat menjadi jembatan guna menyambungkan tiap keinginan, mengaitkan tiap ide dan menyalami tiap perbedaan pandangan.

Puisi sebagai salah satu bentuk kesusastraan termasuk tool untuk membangun peradaban itu. Tidak ada manusia yang tidak suka dengan puisi, bahkan seorang raja lalim sekalipun gemar akan puisi. Kenapa puisi digemari? karena puisi tidak menggurui. Puisi yang ditulis oleh penyair adalah tulisan yang memang diserahkan kepada pembaca untuk dinikmati bersama dengan cara masing-masing. Puisi ataupun sajak merekam dan mematai tegaknya peradaban.

Peradaban yang baik itu adalah peradaban yang menggunakan hati sebagai tolak ukurnya. Untuk menyambungkan hati dengan lingkungannya, puisi ataupun sajak adalah bahasa yang sangat mudah dicerna, diterima dan membaur. Bukankah Tuhan juga mengirimkan firman-Nya dengan bahasa yang puitis?

Safa Marwa, Desember 2013 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.