Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Mengantarkan Mande(h) Pulang ke Rumah





Judul                           : Rumah Mande (Novel)
Penulis                         : Irhayati Harun, Uda Agus
Penerbit                       : Elexmedia Komputindo
No. Id. Elex                : 188132050
ISBN / EAN               : 9786020223766 / 9786020223766
Jumlah Halaman          : 168 Halaman
Berat Buku                  : 225 gram
Dimensi( pxl )             : 200 mm x 135 mm
Harga                          : Rp 29.800
Cetakan                       : Pertama, November 2013




Ibu atau Mande(h) dalam masyarakat Minangkabau adalah sebuah fokus visi yang menyangkut kebergantungan kita akan kehidupan sosial, agama, budaya dan ekonomi. Sosok Mande(h) hadir dengan kuatnya. Beliau adalah perlambang kasih, sayang, penjagaan, pengawasan dan cinta Allah SWT bagi insan fana manusia. Dalam pandangan seorang anak, Mande(h) atau Ibu adalah sosok malaikat yang tampil secara nyata dalam kehidupan. Hatinya terbuat dari cahaya, matanya, rambutnya dan nyanyiannya adalah butir-butir cahaya. Namun, secara lahiriah beliau adalah manusia. Sebagai manusia, Mande(h) tentu memiliki keinginan, harapan dan kenangan. Apalagi dalam umur yang kian menua, segala harapan itu kemudian tertumpang kepada seluruh anak-anaknya.

Setting Novel yang dikarang oleh duet penulis Irhayati Harun dan Uda Agus ini mengambil cerita dari hingar bingar musibah gempa tanggal 30 September 2009 yang telah meluluh lantakkan Kota Pariaman dan sekitarnya. Dari ribuan korban jiwa dan milyaran kerugian material, Mande(h) adalah salah seorang korban terdampak. Rumah kepunyaan satu-satunya lantak rata dengan tanah. 

Rumah atau dengan apapun namanya disebut adalah sebuah pemberhentian bagi setiap manusia. Rumah adalah tempat di mana kita melakukan kontemplasi diri, menjalin kenangan, mengukur diri serta merajut cerita-cerita kehidupan untuk menjadikannya kemudian sebagai sepotong surga di mana keseluruhan dari makna kebahagian asali berasal. Begitulah arti sebuah rumah bagi Mande(h) yang tergambar dalam Novel yang memikat ini.

Ditulis dengan alur yang jelas, bahasa yang pekat mengandung pesan-pesan moral menjadikan Buku Novel ini bagaikan air salju pelepas dahaga akan karya sastra bernas dan tidak gampangan. Latar cerita berdasarkan pitutur Mande(h) ketika menggambarkan betapa sangat pentingnya bagi beliau untuk menegakkan kembali pondasi rumahnya yang telah hancur di makan gempa. Ada cinta di sana. Tetapi ada juga duka terkenang. Namun itulah memang arti sebuah rumah bagi siapa saja. Apalagi bagi Mande(h) yang sudah tak muda lagi. 

Setelah kita mengarungi halaman per halaman, kata per kata jalinan cerita yang berkelindan, Irhayati Harun dan Uda Agus memberikan kepada kita sebuah kejutan. Kejutan itu mengaduk-aduk emosi kita yang akan membuat kita menyadari betapa sosok Mande(h) atau ibu sangat berarti dalam kehidupan. Kejutan apa dan bagaimana, silahkan saja baca bukunya yang sudah beredar di toko buku-toko buku di kota Anda.  Bulan Desember bertepatan dengan diperingatinya Hari Ibu. Bila ingin mempersembahkan hadiah yang pantas dan layak bagi Ibu kita, Novel “Rumah Mande” ini adalah kado yang tepat dan pantas.
Peresensi : Denni Meilizon

*Di muat pada http://www.rimanews.com/read/20131206/130258/mengantarkan-mandeh-pulang-ke-rumah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.