Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Kebenaran Tanpa Rasa Takut



Judul               : Sastra Sastri Dalam Puisi
Penulis             : Sastri Bakry
Penerbit           : FAM Publishing
Cetakan           : Pertama, Juli 2013
Tebal               : 147 Halaman
ISBN               : 978-602-7956-24-7




Boleh jadi, setiap manusia mengalami kejadian-kejadian yang hampir mirip dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tindakan masing-masing individu dalam menyikapi kejadian itulah yang kemudian menjadi pembeda kualitasnya. Kehidupan yang kita jalani bagaikan alur sebuah ceritera. Semua terpampang begitu saja di hadapan kita. Yang teringat untuk mencatatnya maka dia telah menyimpan waktu yang segera berlalu itu, untuk kemudian bisa dinikmati kembali di suatu waktu yang lain. Sedangkan yang acuh dan membiarkan kehidupan itu berlalu begitu saja maka dia sudahberbuat sia-sia dan kehilangan banyak hal berupa kesempatan-kesempatan untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.

Untuk menghasilkan tulisan yang bermutu dengan bahan bakar kehidupan sehari-hari mestilah menggunakan hati. Dengan dituntun oleh hati, segera saja bakal diperoleh kepekaan jiwa yang memang sangat menentukan untuk menghasilkan rekaman kejadian demi kejadian yang kita jalani tersusun layak sesuai apa adanya, tidak dilebih-lebihkan dan tertakar manis. Ibarat secangkir kopi yang rasa asalnya adalah pahit dengan adukan gula yang pas oleh tangan terampil malah kemudian menjelma menjadi secangkir minuman pelepas lelah, mengobati kerisauan hati serta mempererat tali silaturahim. Beragam peristiwa kemudian bisa dihayati untuk kemudian diambil hikmahnya.

Puisi juga merupakan salah satu sarana untuk mencatatkan kehidupan. Kata-kata saling mengurung guna bersatu padu merenungkan butir-butir mutiara hikmah yang tercecer bersama perputaran waktu. Persoalan diri sendiri, orang lain, lingkungan, sebuah bangsa atau gerak semesta menjadi sedap dibaca dalam irama melodi permainan kata. Melalui bahasa puisi dengan sudut pandangnya yang tidak biasa maka kita bisa membaca hal yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu hal yang terasa baru lalu terbawa arus sebelum kemudian mengangguk ataupun menggeleng tanpa sadar.

Sastri Bakry, yang selama ini dikenal sebagai seorang novelis ternyata cukup piawai menulis puisi. Sebanyak 71 (tujuh puluh satu) puisi ditulis untuk mencatatkan kegelisahannya dalam banyak hal, dalam persinggungannya dengan banyak kalangan, memotret realitas sosial bagaikan menghadirkan sebuah pameran galeri foto berbingkaikan kemanusiaan dengan kerangka ungkapan yang tak sulit dipahami dan terang. Puisi-puisi dalam buku ini sederhana dan komunikatif, namun tetap indah dan menawan hati.

Sosok seorang Ibu menulis puisi itu sudah sangat luar biasa. Tapi keberaniannya mengungkapkan kebenaran tanpa rasa takut melalui puisi-puisinya sangat patut untuk diberikan apresiasi dalam ruang pembicaraan sastra. Pastikan buku puisi ini ada dalam daftar bacaan anda sebagai bahan untuk perenungan dalam menghayati kehidupan dan berkaca diri untuk berani tanpa rasa takut.

Peresensi : Denni Meilizon



Komentar

  1. Terimakasih denni meilizon sudah meresensi buku puisi saya. Jalinan kata2 peresensi justru lebih kuat dibanding puisi yang diresensi, sehingga menarik keinginan tahu saya tentang puisi yang sudah saya tulis untuk membaca lagi, terutama puisi2 yang memang menarrik perhatian Denni Meilizon. Kebenaran Tanpa Rasa Takut, zaman sekarang agak susah mengartikulasikannya pada orang inferior, salam sastra

    BalasHapus
  2. sama-sama Ni. Masih belajar saya ini. Mohon bimbingannya. :-)
    Salam sastra

    BalasHapus

Posting Komentar

Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.