Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Berkenalan dengan HAIKU

Haiku (orisinalnya) adalah salah satu dari sekian jenis puisi Jepang, dimana pada penciptaannya banyak mengemukakan tentang alam, dengan patron 17 suku kata dengan silabel 5-7-5. Salah satu contoh haiku adalah senryu, konsepnya sama ...dengan haiku, cuma senryu lebih membebaskan tema dan ringan pada haiku klasik, perlu ada refleksi waktu.




Haiku hanyalah matra, sajak adalah anatominya, kata-kata adalah strukturnya, hanya dengan cara memperlebar cara pandang terhadap sebuah matra, kita akan lebih dalam mengenal dan mempelajari anatomi kita..


Sekali lagi, haiku hanyalah matra, ia hanya sebagian matra dari keragaman dari induknya, yaitu PUISI, keterkaitan puisi itu  adalah dialog, bagaimana dialog secara vertikal dan dialog secara horizontal...


Kalau kita membuat puisi itu inspirasinya dari mana ? Alam interior atau pikiran ? Kalau orang bilang, alam interior katanya itu alam gaib, di situ terjadi dialog antara kita dan batin kita, pun kepada horizontal, bagaimana kita melakukan dialog pula antara kita dan latar kita (baca : sekitar kita).


Terori berpuisi itu pada dasarnya sama, hanya butuh ketekunan dan eksplorasi yang mendalam terhadap alam interior kita, bagaimana kita menyampaikannya itu kembali lagi pada kematangan teknis...


demikian sedikit menyinggung haiku......( sumber Dave Sky)

Tjiptaadi Iman Resoatmodjo

HAIKU (batja haik')

  Nama sadjak jang se-pendek2nja dalam sastera Djepun, terbentuk dari 17 patah-kata, terkadang dalam tiga baris, kegandjilannja lagi, bahwa sadjak ini tiada bersadjak dan tiada pula berirama, tetapi tiada mengapa, sebab
bahasa Djepun itu maha merdu.

Adapun haiku itu ialah nama pada pigura.
Dimanakah pigura itu?
Pigura itu tersembunji dalam hati sanubari pembatjanja.

  Adapun haitu itu ialah panggilan pada pikiran pembatja, terhadap kedjadian 'alam jang telah lampau, jang menggetarkan taliketjapi-hati pudjangga.
  Umpamanja :

Paja tua beradu tjendera
Tersingkir, sunji
Katak terdjun, plung

(komentar saya : barangkali kalau diterjemahkan seperti ini jadi bukan 17 patah kata eh atau suku kata ya?)
Dekat teratak Basho ada (Basho) sebuah paja tempat ikan, katakpun banjak hidup dalamnja. alam sekeliling sunji, Basho dalam tafkur. Plung, katak terdjun dalam air. Terasalah pada Basho bagaimana sunjinja hari itu, hingga plung itu sampai ke telingnja

** copas apa adanya dari "Setanggi Timur" Amir Hamzah terbitan Pudjangga Baru Tahun VII No. 4 Tahun 1939. dicetak oleh Pustaka Rakjat

  * karena merupakan sajak Jepang sebagaimana kultur masyarakat yang erat dengan sajak, lukisan dan kaligrafi, biasanya haiku ini menyatu dengan lukisan ditorehkan sebagai kaligrafi yang indah (seindah ucapannya - dalam bahasa aslinya tentu -). Di sana tidak disebutkan rumus 5 - 7 - 5 tetapi hanya 17 patah kata (dalam bahasa jepang sama dengan suku kata gak ya?)

  Hehehe... menyusun haiku dalam bahasa lain termasuk bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sudah tentu sangat sulit karena dalam bahasa tersebut sulit menggabungkan dua kata benda atau lebih menjadi sebuah kalimat tanpa menggunakan kata hubung atau kata kerja sebagai perantaranya. Apalagi menggunakan rumus 17 patah-kata (atau suku kata?), bisa jadi ketemunya malah puisi dengan tipologi mirip genre-nya Sutardji Calzoum Bachri "o amuk kapak".

Dikutip dari Catatan laman Facebook Driya Widiana M.S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.