BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Oleh Denni Meilizon
PADA
HARI ITU sekelompok orang dari berbagai usia duduk mengobrol.
Obrolan itu adakalanya nampak serius namun pada lain kesempatan terdengar gelak
tawa. Sesekali mereka menyeruput cangkir-cangkir kopi. Beberapa di antara
mereka bahkan juga menyantap makanan yang terhidang di meja-meja kayu. Kepulan
kretek mengiringi pembicaraan dan diskusi mereka. Beberapa orang yang agaknya datang kemudian
ikut bergabung. Kelihatan mereka sudah saling kenal mengenal satu sama lain.
Yang pasti, sekumpulan orang di dalam kafe itu memiliki sebuah hobi dan
kecenderungan yang sama. Mereka dikumpulkan oleh dunia yang sama, Sastra dan
Budaya. Tidak semua yang hadir itu
secara resmi belajar sastra pada perguruan tinggi. Beberapa di antara mereka
ada yang belajar psikologi, filsafat, bahkan ada pula yang belajar sastra
secara otodidak. Akan tetapi, mereka semua memilih sastra sebagai sebuah jalan
hidup. Secara periodik mereka akan berkumpul dan berdiskusi perihal sastra,
sambil menikmati secangkir kopi dan kretek dalam negeri.
Sejak
dahulu, warung atau kafe memang sudah menjadi sebuah pemberhentian yang asyik.
Tempat menguji diri sampai di mana mampu bersosialisasi dan menjalin jaringan
komunikasi dengan orang lain. Barangkali, tidak semua orang yang datang ke
sebuah kafe menjadi serius. Adakalanya cuma sebagai pengisi senggang dan
mencari hiburan. Aktifitas demikian lalu berkembang dengan munculnya gagasan,
ide dan pemikiran. Lambat laun menjelmalah komunitas-komunitas sesuai
kecenderungan diri, bisa hobi atau pekerjaan atau nasib dan adanya kepentingan
yang sama.
Baru-baru
ini, bertempat di Rimbun Café yang berada di jalan Mangunsarkoro Padang telah
digelar diskusi dan bincang buku. Dua buku yang dirayakan kelahirannya pada
hari itu, kumpulan cerpen “Penjual Bunga Bersyal Merah” karya Cerpenis Yetti
A.KA dan buku kumpulan puisi “Baromban” karya Penyair Iyut Fitra. Acara yang
dilangsungkan dari sore hingga malam itu banyak dihadiri berbagai kalangan.
Terlihat Papa Rusli Marzuki Saria, Sastrawan Indonesia yang walau sudah berumur
80 tahun tetapi tetap selalu energik dan penuh semangat menguarkan kegairahan
kepada generasi setelahnya, notabene dulu ketika menjadi Redaktur Budaya di SKH
Haluan ini selama 30 tahun sebahagian pernah ia bina. Ada juga Nasrul Azwar,
pernah pula menjadi Redaktur Budaya SKH Haluan yang bisa mengangkat nama
suratkabar ini hingga selalu menjadi perbincangan. Syarifuddin Arifin, pernah
Wartawan SKH Haluan yang kini lebih memilih sebagai hidup sebagai Sastrawan.
Ada beberapa nama lainnya, Penyair Ramon Apta, Pinto Anugrah, Rio Sy Fitra,
Asril Koto, Denni Meilizon, Cerpenis Alizar Tanjung, Boy Candra, Endut Ahadiat,
Pegiat Teater S. Metron dan lainnya.
Budayawan Sudarmoko bersama-sama dengan Prof. Hermawan AN dan Rozidateno
Putri Hanida bertindak selaku pembicara. Malam harinya, sebuah backdrop dipasang. Giliran buku puisi
teranyar “Baromban” karya penyair Iyut Fitra yang diselebrasikan. Pada pagi
harinya, dengan pembicara Sastrawan Damhuri Muhammad dan Sudarmoko, Baromban
juga dibahas dan di diskusi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Maka,
malam itu acara lebih didominasi apresiasi berupa pembacaan dan musikalisasi
puisi. Tampil pula Komunitas Seni Nan Tumpah dan Kelompok Teater Ranah.
Rimbun
Café bukanlah satu-satunya tempat minum, makan dan kongkow yang didapuk menjadi
ruang diskusi sastra dan budaya Tara Cafe, Payakumbuh. Dan, bukan sekali dua ini saja
kafe seperti Rimbun dan Tara mendapat kehormatan menjadi ruang diskusi
intelektual. Rutinitas demikian agaknya sudah menjadi budaya. Walaupun misalkan
ada ruang lapang terbuka seperti Taman Budaya dan pihak perguruan tinggi
membuka tangan lebar-lebar untuk membedah ataupun membicarakan hasil kerja
kebudayaan, tapi toh duduk di sebuah kafe sambil bebas merokok, memesan minuman
kesukaan, mengunyah makanan cemilan dan mengobrol lebih intim sesama pegiat
budaya tetap selalu menjadi pilihan. Artinya, ada atau tidaknya Taman Budaya
ataupun tersedianya program di perguruan tinggi, agenda di kafe favorit akan
masuk dalam list kegiatan.
Tentang
posisi kafe dalam bilah proses kesusastraan dan kebudayaan menarik menyimak
ujaran Sudarmoko, Dosen Universitas Andalas Padang yang juga budayawan yang
masih betah numpang belajar di Leiden, Belanda itu mengatakan bahwa di kota-kota
benua Eropa, acara diskusi demikian dapat berlangsung sengit dan serius. Memang
kita mungkin pernah membaca bahwa di Paris terdapat kafe-kafe bersejarah tempat
diskusi Picasso, Victor Hugo, Pascal, Descartes, Camus, hingga Foucault. Ada
kafe Deux Magots dan de Flore tempat Sartre, Hemingway, dan Simone de Beauvoir
berdialog melahirkan filsafat eksistensialisme. Begitu pula dengan apa yang
dikatakan oleh Muhammad Guntur Romli dalam sebuah tulisannya tentang sebuah
kafe di Mesir, Kafe El-Fishawi. Kafe itu mengoleksi sederet tandatangan dan
catatan tokoh besar yang pernah berkunjung, seperti Jean-Paul Sartre, Simone de
Beauvoir, Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad ‘Abduh, Saa’ad Zaghlul,
Mustafa Kamil, Abbas Mahmud Akkad, Ahmad Amin, Thaha Husein, dan Ahmad Syauqi. Aliansi tokoh Kristen Koptik dan ulama
Al-Azhar sempat tergalang di Kafe El-Fishawi. Para ulama dan darwisy sufi juga
punya pangkalan maqha tersendiri. Bahkan kafe-kafe (maqha) yang bertebaran di
seluruh Mesir bukan sekadar tempat santai. Dari sanalah titik revolusi rakyat
kemudian menyebar. Belasan karya sastra utama juga lahir dari sana.
Kita
kembali kepada pemanfaatan kafe sebagai ruang (atau panggung?) diskusi sastra
dan budaya di Sumatera Barat. Syarifuddin Arifin yang masa proses
kepenulisannya dimulai dari warung kopi atau ruang kreatif di Taman Budaya
Padang itu suatu saat menyelutuk bagaimana memesan dan membayar kopi di kafe
Rimbun. Ada nada kegamangan berupa gap
antara di sana. Peralihan dari generasi tua kepada generasi muda. Generasi
sastra warung kopi ke generasi sastra kafe kopi. Kegamangan akan sebuah wujud
persepsi selama ini bahwa diskusi yang asyik (apalagi dalam wilayah kebudayaan
di Sumatera Barat) identik dengan kretek, kopi, cemeeh, caruik dan
kemerdekaan berpikir. Membayangkan keidentikan demikian di dalam ruang ber-AC sebuah
kafe pada hari ini membuat kita menyeruput kopi dan tersenyum simpul dengan
angguk-angguk sok paham.
Apakah
di sekitar kantor Dinas Kebudayaan Sumatera Barat nanti ada kafe buat pegiat
Kebudayaan berdebat dan bacaruik
dengan merdeka?
Semoga.[]
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.