Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Memelihara Percik Sejarah Diri



Pembacaan atas puisi-puisi Eddy Pranata PNP
Oleh Denni Meilizon

 
Eddy Pranata PNP



Kubiarkan engkau keluar dari diriku. Yang keluar dari diri dengan demikian berarti menjadi percik sejarah. Menggenangkan kenangan. Ada api yang nyalanya dari kayu bakar itu sepanjang jalan. Melahirkan puisi-puisi dalam sajak yang pedih. Melantun ia keluar dan di tebing-tebing karang, di sepanjang pantai kemudian mencebur ke laut. Kita melihat bagaimana puisi ini dapat saling membelitkan perbedaan, kepentingan sebab akibat  dan menjadi satu sebab pertemuan dan perpisahan  dalam kurun masa kehidupan seorang manusia adalah asap kenangan, ombak yang menghempas di runcing karang. Ketika kembali kepada diri maka selalu saja ada rasa sunyi dan perih. Sebuah lembaga penyatuan itu tak lain sebagai buah dari jikalau garam di laut, asam di gunung/bertemu dalam belanga.

Eddy Pranata PNP dalam puisi dengan jiwa mengajak bicara tentang pemaknaan diri. Sesuatu bisa mengisi ruang kosong dengan kegunaan untuk sebuah tujuan. Kemungkinan suatu ketika dipersatukan, dilain kesempatan kemudian dipisahkan. Begitulah hidup.
Dalam puisi yang lain, “Ingin Rasanya Kutinggalkan Kepalaku” kita diajak mengenal sosok lain diri. Bisa saja ia berbentuk binatang sebuas harimau. Dalam keterhimpitan dan ketidakmampuan menalar sangat sering sekali logika sebagai keunggulan menjadi manusia hilang begitu saja. Memetik rembulan/menjilat runcing karang, katanya. Tetapi puisi seperti diungkapkannya dapat menjadikan manusia bisa mengendalikan harimau dalam dirinya. Menjinakkan hujan dan langit apabila ia berputar-putar. Hiduplah pada jalan yang lurus bukan pada perjalanan yang berliku dan jauh. Hidupi kepala dengan puisi agar tidak bebal, agar bukan hanya menjadi berkas dan catatan sejarah belaka.
Salah satu larik menarik dalam puisi “Áku Ingin Masuk ke Dalam Dirimu Lagi” adalah ungkapan  enak begini pagi pecah dengan kabut yang mengapung. Sebentuk semangat baru dimulai dari sebuah pagi. Melihat semburat langit pagi. Hijau tumbuhan, suara burung. Apalagi dalam udara dingin dan sejuk menguar tubuh berkeringat dan bergejolak sebuah rindu yang berkarat. Apabila semua kenikmatan yang tersaji  di depan mata tentu jalan satu-satunya untuk bisa utuh menghayatinya adalah keluar dari lingkaran. Tetapi menahan datangnya godaan untuk masuk lagi ke dalam kemapanan itu sungguh sebuah pekerjaan yang sulit. Kata Penyair, aku ingin masuk ke dalam dirimu lagi. Lagi, bersamamu weisku! Menyelam dan sesekali kutuliskan puisi ditubuhmu dan sesekali kukecup keningmu! Ahai, indah bukan main.
Pada akhirnya, mari kita kembali melongok ke dalam diri. Jauh, jauh kekedalamannya. Jika hari-hari lalu telah menjadi percik sejarah tentang seberapa sering lidahmu menjadi pisau atau seberapa sengit tanganmu memukul debur ombak/kakimu melangkah ke bukit pelangi, maka “kuatkan nyalimu, selesaikan perjalananmu”. Jika kekuatan diri hanyalah sebentuk nyawa (yang bahkan bentuknya kita tidak tahu itu) sesungguhnya kehidupan itu hanyalah pekerjaan menanam saja. Surga kecil di tengah kebun apel. Untuk mencapainya mesti mendaki bukit. Tikungan tajam, menurun dan mendaki/di kanan jalan tebing/di kiri jalan jurang. Menanam benih tentu butuh hujan. Hujan dalam dirimu mengekalkan rindu-dendam!.
Sebab hidup ini sebuah tiket sekali jalan. Percikilah dengan sejarah. Goreslah dengan jejak. Sebelum sampai ke stasiun pemberhentian akhir.
Salam bahagia dan teruslah menyair, hai Penyair!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.