Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Warung Kopi, Majelis Budaya di Akar Rumput




Oleh: Maulana Afwan
Tokoh Pemuda Pasaman Barat, Aktivis Tinta Pena

Maulana Afwan
DALAM berbagai pengamatan penulis, ngopi bukan sekedar aktifitas mencari tempat untuk belanja minuman bernama kopi, seperti membeli jus buah atau minum bermerk. Ngopi di warung bukan tentang kopi yang sedang diminum, melainkan sebuah realitas budaya yang memiliki nilai sosial dengan berbagai agenda penikmat warung kopi itu sendiri.

Entah sejak kapan kopi begitu identik dengan budaya orang Melayu. Warung kopi agaknya sudah menjadi entitas budaya masyarakatnya. Warung kopi merupakan majelis tinggi setelah badan kemakmuran mesjid di sebuah daerah komunitas orang Melayu. Begitu pentingnya duduk di warung kopi, anak dan bini saja bisa dinomor duakan. Apakah ada bedanya kopi bikinan istri di rumah dengan adukan kopi bikinan istri pemilik warung kopi? Hanya penikmat kopi sajalah yang tahu jawabannya. Namun tentunya kita boleh mengira-ngira.
Menurut pengamatan penulis lagi, sebetulnya ini bukan tok soal kopi dan rasanya. Takaran kopi, air dan gula sebetulnya bisa jadi sama saja. Soal berapa kali air kopi itu diaduk dengan tangan juga tidaklah terlalu penting, setidaknya dalam konteks budaya Melayu. Ini betul-betul hanya persoalan sosial belaka. Bahwa bagi orang Melayu, berkumpul bersama, bersendagurau bersama, bercerita, melebih-lebihkan cerita, menertawakan kepedihan hidup dan lain-lain mendapat tempat di sebuah ruang yang bernama warung kopi. Dan orang-orang –terutama lelaki- penyendiri serta lalai bersosialisasi itu temannya setan, akan cepat diserang penyakit jiwa. Ada beberapa ungkapan yang tumbuh di tengah masyarakat perihal para penyendiri itu. Walau tidak dipungkiri, mungkin saja ada alasan lain seseorang tidak berkesempatan untuk duduk di warung kopi tetapi sekali lagi, dalam alam pikiran budaya Melayu hal demikian sungguh tidaklah baik.
Suasana diskusi warung kopi dibangun sangat demokratis dan egaliter, setiap orang berhak mengatakan apapun, dan berbantahan sedemikian rupa tanpa takut harus di usir oleh pemilik warung kopi. Di situ semua aspirasi dan unek-unek boleh disalurkan. tak jarang setiap warung kopi harus tutup sampai larut malam, karena begitu banyak yang dibahas oleh pengunjung. Biasanya pemilik tidak akan menutup warungnya sampai pengunjung benar-benar telah habis. Karena itu akan bersangkutpaut dengan reputasi bisnis perwarung kopian. Sejauh ini warung kopi menjadi sarang diskusi yang sangat kompleks dan jauh dari intervensi kepentingan politik manapun.
Ngopi menjadi kebutuhan interaksi, komunikasi sosial, dan wahana ekspresi diri. Karena itu saat ini banyak warung kopi melakukan pembaruan dengan melengkapi fasilitas warungnya dengan berbagai produk informasi modern, seperti televisi, koran, internet, dan lain-lain. Ini digunakan untuk membuat bahan ota di warung kopi tetap terus diperbarui, sehingga pengunjung merasa senang untuk berlama-lama di warung kopi.
Warung Kopi benar-benar telah menjadi brand dari berbagai praktik demokrasi. Ketika musim PILKADA atau Pemilu legislatif tiba, pemilik warung bermetamorfosis menjadi staf ahli bidang penggerak massa. Setiap calon petarung dalam PEMILU mencoba merebut massa warung kopi dengan melakukan pendekatan emosional kepada pemilik warung. Warung kopi menjadi sebuah ruang yang sangat ampuh untuk menarik massa, walau jarang ada warung kopi yang mau hanya memasang satu baliho Kepala Daerah saja, karena akan mengurangi independensi warung kopi tersebut. Tak jarang melalui warung kopi terjadi gerakan politik sebagai stimulus perbaikan atau dasar gerakan masif pengacau. Menyenangkan memang menghabiskan waktu bergumul di warung kopi. Walau kadang kesan sinis dari orang-orang yang tidak suka datang, yang mengatakan pengunjung warung kopi adalah orang yang malas berusaha dan gadang ota. Sungguhpun begitu warung kopi tetap menjadi simbol perekat keragaman bagi pengunjungnya. Bayangkan, warung kopi dapat dijumpai di setiap sudut daerah di Sumatera Barat, sampai ke pelosok.
Pada akhirnya warung kopi sebagai produk budaya ikutserta membentuk sejarah kesuksesan dan kegagalan seseorang. Misalkan Anda ingin mengubah hidup menjadi orang birokrat maka mulai saat ini aktiflah duduk di warung kopi. Bangunlah pendukung loyalis Anda dari majelis warung kopi itu.
Segelas kopi bagi rakyat kebanyakan adalah sesendok dua bubuk kopi, sekian cc air panas dan sedikit atau banyaknya butir gula. Ia diminum pelan-pelan. Sedikit seruput di mulut, dihirup aromanya. Ia mengantarkan kebebasan berbicara, melagakkan diri. Anda boleh saja sedang berbohong, bercerita muslihat. Tetapi di warung kopi, orang akan tetap mendengarkan, sesekali bakal menyanggah. Sampai kopi itu tinggal ampas di dalam gelas.
Salam warung kopi![]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.