Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Yusril Katil, Doktor Teater dari Sumatera Barat



Oleh: Denni Meilizon
 (Diatunes Art. & Managements)



Di sebuah ruang yang lapang, di halaman terbuka. Sekelompok orang terlihat disibukkan dengan perkakas-perkakas yang kalau kemudian dilihat lebih dekat ternyata adalah gentong-gentong berisi air, ember-ember perlengkapan kamar mandi dan gayung. Adakah pula sabun mandi, shampoo, odol dan sikat gigi kaulihat? Oo, ada ternyata. Ini kamar mandi! Mandi ramai-ramai di hadapan mata khalayak umum!

Pertunjukan naskah teater berjudul “Kamar Mandi Kita” pada medio September 2016 yang lalu merupakan salah satu karya kreatif paling anyar besutan Yusril Katil, Sutradara yang bergiat di Komunitas Seni Hitam Putih, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dan peraih gelar Doktor bidang Penciptaaan dari Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jawa Tengah. Belum banyak seniman yang bergelar Doktor di Sumatera Barat ini. Apalagi dibidang Teater.


Yusril Katil dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, 5 September 1967. Ayahnya, Ilyas Yusuf (1930) dan ibunya, Ramani (1942). Masa kecilnya selalu berpindah-pindah, karena harus mengikuti bapaknya yang tentara. Dia hidup dari asrama ke asrama di Payakumbuh, Solok dan Sawahlunto. Keadaan itu pula yang membuat dia dibesarkan dalam tradisi yang meliteristik, dengan disiplin dan aturan yang tak boleh dilanggar.
Pada satu waktu Yusril kecil berkenalan dengan orang-orang Korea, para profesional yang mengerjakan proyek jalan. Bapaknya yang telah pensiun bekerja sebagai pengawal alat-alat berat, waktu itu disebut Polisi RCA, sebuah proyek pembangunan jalan dari Solok sampai Sungai Dareh, Sumatera Barat mengenalkan mereka kepada Yusril kecil. Saat itu pula ia berkesempatan menonton TV, sesuatu yang langka ketika itu.
Kadang kita memang tidak tahu dititik mana nasib dan takdir diri akan bersinggungan. Bagi Yusril Katil, agaknya tontonan televise dan perkenalan dengan orang-orang Korea itulah yang membuat ia ingin tahu dengan kesenian popular. Ia kemudian berkesempatan menonton Kuda Kepang, Reog dan layar Tancap di Sawahlunto.
Tetapi nilai-nilai tradisional Minangkabau tetaplah menjadi pengaruh yang besar bagi proses kehidupan Yusril Katil selanjutnya. Ia terlambat masuk sekolah sebab kondisi ekonomi keluarga yang susah manakala kemudian tinggal di Kabupaten Limapuluh Kota, kampung Ibunya. Lulusan SMPN 1 Payakumbuh ini mengenal sandiwara di kota Payakumbuh. Sandiwara pada saat itu dapat kita saksikan hampir di setiap kampung. Dipertunjukkan dengan seni lainnya seperti musik dan tari.


Ketika di SMAN 1 Payakumbuh, Yusril tertarik kepada syair dan puisi. Ketertarikan itu bermula dari syair-syair lagu Iwan Fals, Ebiet G Ade, Leo Kristy, Doel Sumbang dan Papa T Bob (Wanda Chaplin). Dia tertarik dengan cara mereka melakukan kritik sosial melalui syair. Di SMA itu pula, dia meninggalkan kelas Fisika dan pindah ke kelas sosial. Tidak puas juga, dia bolos sekolah setiap Sabtu, agar bisa ikut mata pelajaran Kajian Budaya di sekolah lain. Di sanalah dia mengenal Iwan Simatupang, Budi Darma dan Danarto, lewat bacaan.
Pertemuannya dengan Wisran Hadi pada tahun 1989 di Taman Budaya saat menjadi Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas menariknya untuk ikut belajar teater di Bumi Teater. Yusril  belajar banyak hal, terutama yang berkaitan dengan kerangka filosofis, konsep dasar dan budaya Minangkabau. Dia bahkan sempat bergabung dengan kelompok Randai di Blanti, Padang, dan belajar sekitar satu setengah tahun. Selain mempelajari randai dan silat, di Bumi Teater pula dia melakukan riset, mempelajari mitos, folklore dan berbagai kesenian tradisional Minangkabau.
Sebab kecintaan kepada teater, Yusril Katil sudah menjelajahi dunia dan bertemu banyak orang. Belakangan ini kreatifitasnya semakin menggila. Kematangannya dalam mengolah dan mencipta produk budaya dan kesenian sudah tidak diragukan lagi. Tahun 2016 ini ia meraih gelar Doktor dari Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sebuah jalan yang terbentang untuk melanjutkan berbagi ilmu, memberikan manfaat kepada generasi berikutnya, mengokohkan Yusril Katil sebagai tokoh teater Nasional yang diperhitungkan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.