Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Sedikit Membaca Tiga Puisi Penyair Refdinal Muzan




Foto koleksi pribadi

Oleh Denni Meilizon


HALUAN Minggu ini mempersembahkan kepada pembaca 3 (tiga) puisi karya Penyair Refdinal Muzan. Adalah sebuah kebanggaan bagi redaksi mengingat Refdinal Muzan selain produktif menyair dan dikenal sebagai Deklamator sajak ternyata juga berprofesi sebagai Guru sebuah sekolah menengah di Kabupaten Agam Sumatra Barat. Pada kesempatan kali ini, kita akan mengupas 3 (tiga) buah puisi itu satu persatu dalam ruang yang terbatas.


Kita membaca puisi “Menjadilah Aku Angin”. Mari sejenak kita tampilkan sebuah layar di dalam kepala kita. Visualisasikan efek angin yang menderu-deru. Ada lautan, ada menara, ada karang, ada pepohonan dan ada langit. Apa lagi yang belum kita visualkan? Ya, kita harus menghadirkan “…selembar kain putih tak berajut” agar puisi ini bisa kita pahami dengan baik. Di sini, kita bicara sebuah wujud dalam diri kita. Sebuah jiwa yang menghidupi kita untuk menjadi manusia. Sejatinya kita tidak paham betul dengan wujud jiwa kita sendiri. Namun, menyimbolkannya dengan “angin” memang sangat pantas dan setidaknya mendekati sudut pandang keterbatasan kita sebagai manusia fana. “angin mengantarkan hasrat-hasrat yang kau pacu/ Mengendus segala aroma ada dan tiada/ bahkan sebatas layang menepis seruak sesat/angin meredam luah-luah yang tak kekang/ yang mengibaskan segala debu segala dendam kesumat/dalam palung-palung waktu yang berkarat”. Angin, angin dan angin. Dan dialog sunyi itu kembali tercipta hingga”… angin sekabar darimu/kujemput datang”. Kita membaca dalam Alquran : “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Untuk melakukan pendekatan kepada puisi “Di Perbincangan Sebuah Kafe” terlebih dahulu kita pahami dulu perbedaan dari “sunyi”,“sepi” dan “hening”. Ternyata ada perbedaan latar dan situasi mendasar untuk ketiga kata itu. “Sunyi” paling tepat digambarkan untuk situasi tidak ada bunyi atau suara apa pun, seorang diri dan benar-benar kosong. Sedangkan “sepi” menggambarkan situasi dianggap tidak ada apa-apa; tidak dihiraukan sama sekali. Dan “hening” situasi yang diam, jernih, tafakur dan bersih dari suara-suara. Nah, kata mana yang pantas untuk memahami puisi “Di Perbincangan Sebuah Kafe” ini? Bukan kata “sunyi” dan “hening” tetapi lebih kepada suasana “sepi”. Sebuah kafe adalah sebuah tempat yang ramai, ada beragam aktifitas berlangsung di sana. Penyair sangat jelas menggambarkan hal tersebut dalam puisi ini. Namun kalau kita jeli, maka kita bisa melihat bahwa puisi di atas menggambarkan dua sisi suasana lahir dan bathin antara ruang dan waktu yang membentuk kafe dengan perasaan hati. Keramaian yang hiruk pikuk namun sekaligus juga ada sepi. Simak larik-larik berikut ini : “Tak seorangpun menyimak di gelaran hati yang berbagi/Lalu ia hinggap di gelas-gelas kosong,/di ruang-ruang hampa/sebagi penyaksi atau pemberita yang tak punya masa/Mungkin ada gelak tawa tergeletak di atas meja/juga seiris sepi yang masih sembunyi di antara kepingan roti dan mata pisau/Di sini mungkin keasingan itu perlahan turun merisau/bersandar diam di sudut ruang meregang erang”.

Sepi itu sesungguhnya sangat menyakitkan bila dibandingkan pula ketika didera kesunyian malah suasana hening sekalipun. Hening masih lebih suci dan baik, biasanya digunakan untuk membangun suasana semedi, beribadat dan upaya pembersihan jiwa. Tetapi sepi mendekat kepada keterasingan, keterpanaan dan akhirnya menimbulkan dialog dengan diri sendiri. Puncak dari perasaan kesepian itupun kemudian menjadi seperti dalam larik berikut : Menggapai untuk setapak kaki berdiri, sehela napas tersengal, dan secarik wajah tak dikenal/Riuh itu menjadi gemuruh, tak ada lagi kata/tersimak makna dalam perbincangan sebuah kafe”. Sangat terasa sakitnya “sepi” dengan ungkapan pada larik… tak ada lagi kata itu.
Dalam puisi “Bram”, Penyair mengajak kita mengenal seseorang yang mungkin menjadi inspirasi dari puisi ini. Seseorang itu kiranya sudah sangat dikenal oleh Penyair. Hal ini bisa kita tangkap dari bait pertama puisi ini: Puluhan tahun serasa kemarin/begitu aura kutangkap sejenak disaat yang sempit/tidak akan pernah tahu, di situ dia berawal/panggung dan waktu yang belia. Dan pada bait kedua kita tangkap sebuah kesan jikalau seseorang itu agaknya seorang seniman, orang yang menghidupkan sebuah panggung di mana si Penyair selalu ingin menyaksikan dan mendengarkan sebentuk ngiang saat anggun nan tongga gemakan rindu gandoriah. Kita menjadi saksi betapa hubungan persahabatan antara Penyair dengan “Bram” ditegaskan dalam bait rancak berikut ini: puluhan tahun serasa kemarin/di keagungan renta yang tak dapat kita tahan/ahimsamu sesederhana kau lekat menyaring mata tak jalang/tumpahanku semakin menekur tunduk/rangkaikan sebait doa /dan puisi selamanya abadi di dada.
Sebetulnya selain ketiga puisi itu, ada beberapa puisi lagi yang dikirimkan ke meja Redaksi yang tentunya sangat pantas untuk kita baca lalu dibahas panjang lebar di sini. Namun, untuk memuaskan ekspektasi kita bagaimana Penyair Refdinal Muzan dalam menghormati kata maka ketiga puisi yang dimuat dalam edisi hari ini semoga dapat mewakili keingintahuan kita itu. Sedikit yang dapat disampaikan untuk keseluruhan puisi karya Penyair ini, puisi dari tangan Refdinal Muzan sebuah contoh bagaimana kata yang lahir dari kesunyian nan tafakur dapat mewujud menjadi bentuk keindahan, sebuah muara dari seni itu sendiri. Demikianlah. Sebagai penutup marilah kita ucapkan selamat kepada Refdinal Muzan dengan terbitnya buku kumpulan puisi “Dandelion” (Pena House, Agustus 2016) dan teruslah menyair hai Penyair! Salam.
Padang, 28 Agustus 2016



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.