Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Merisak, Merundung dan Mem-bully




Oleh: Denni Meilizon


ilustrasi dari google.com


Bullying (Bully) merupakan kata asing yang saat ini sangat akrab diucapkan oleh orang Indonesia. Merujuk kamus Bahasa Inggris, kata bully dijelaskan berarti; kb. (j. -lies) penggertak, orang yang mengganggu orang lemah. -ks. Inf.: baik, bagus, kelas satu, nomor wahid. -kkt. (bullied) menggertak, mengganggu. Jika kita telusuri daftar kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka akan ditemukan dua buah kata yang memiliki makna yang sama  dengan kata bully (bullying) yakni kata risak (merisak) berarti; risak/ri·sak/ v, merisak/me·ri·sak/ v mengusik; mengganggu: mereka tidak putus-putusnya ~ ku dengan berbagai-bagai olok-olokan. Lalu ada kata rundung (merundung) yang berarti [v] , me.run.dung v (1) mengganggu; mengusik terus-menerus; menyusahkan: anak itu ~ ayahnya, meminta dibelikan sepeda baru; (2) menimpa (tt kecelakaan, bencana, kesusahan, dsb): ia tabah atas kemalangan yang telah ~ nya. Selanjutnya, sebab kita cinta bahasa Indonesia maka kita akan memakai kata risak dalam tulisan ini.

Begitu buruknya dampak merisak orang lain. Merisak identik dengan kekerasan. Keagresifan perilaku yang dilakukan berulang-ulang itu niscaya menimbulkan kekerasan multidimensi baik fisik maupun mental kepada individu ataupun kelompok. Menarik pula jika ternyata pelaku risak atau rundung ini bisa dilakukan oleh siapa saja dan dari segala usia. Kedekatannya dengan kecenderungan diri untuk menunjukkan hegemoni, kekuasaan, kelebihan, dan lainnya menjadikan perilaku ini bisa jadi merupakan sifat dasar manusia, kebinatangan yang eksklusif. Demi keeksklusifan itu, manusia mampu mengorbankan akal sehat. Mengenyampingkan logika dan nurani.  
Dalam cerita pendek karangan Gusniati Malay berjudul “Cahaya yang Redup” yang dimuat hari ini (Minggu, 23 Juli 2017) terbentang contoh bagi kita bagaimana dampak keberulangan dan keagresifan mempertahankan pola (yang ternyata salah!) akhirnya berdampak tragis, korban meninggal dunia dalam keadaan memilukan. Yang miris ternyata pelaku risak atau rundung tak lain adalah orangtua si tokoh utama sendiri. Kesan yang tidak peduli kepada anak, tak mau tahu bagaimana anak menjalani hidup sehari-hari dan pemahaman yang keliru jika dengan uang dan materi selesai urusan merupakan akumulasi sikap yang menyulut kekerasan fisik dan mental. Bacalah dan lihatlah begitu kompleks beban psikologis Fanny, sang tokoh utama. Ia merupakan representasi ke-akuan yang kemaruk. Tak ada yang lebih hebat dari dia. Dalam paragraf awal dan kedua tersirat hal demikian.
Dunia anak-anak dan remaja seharusnya diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan membahagiakan. Bukan gembira yang maya atau bukan pula bahagia yang semu. Selain contoh yang kita peroleh dari cerita tersebut, di dunia nyata sendiri banyak Fanny-Fanny yang lain. Misalnya, sosok remaja yang viral karena kasus (konon) plagiat itu, Afi Nihaya. Afi ternyata terkucilkan oleh lingkungan teman-teman sekolahnya. Ia tumbuh menyendiri dan asyik dengan gadget, dengan sosial media. Sama seperti tokoh Fanny, dalam diri Afi kemudian tumbuh eksklusifisme sebagai topeng dan bungkus kemalangan jiwanya. Untuk menyangkal perisakan yang terpola sistematis itu, ia melakukan hal-hal menyimpang dari nilai dan etika. Dan menariknya tak ada rasa bersalah. Dari posisi sebagai korban, jika ada kesempatan ia berubah menjadi sosok yang berkemungkinan besar memiliki peluang menjadi pelaku.
Serentetan tayangan video bertema bullying, perisakan dan perundungan yang disebar oleh netizen akhir-akhir ini merupakan lonceng tanda bahaya bagi masyarakat kita, khususnya bagi generasi muda Indonesia. Jangan sampai kesalahan yang terus menerus dilakukan secara berulang-ulang dan sistematis menjelma menjadi semacam kebenaran (pembenaran) umum. Kalau itu terjadi maka bahaya besar telah kasat di depan mata. Jika kelak menjelma ia menjadi air bah besar, habislah kita sebagai sebuah bangsa.
Perilaku perisakan merupakan tingkah laku yang kompleks. Anak-anak tidak dilahirkan untuk menjadi seorang perisak. Tingkah laku demikian juga tidak diajarkan secara langsung kepada anak-anak. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi seorang anak berkembang menjadi perisak. Faktor-faktor tersebut termasuk faktor biologi dan temperamen, pengaruh keluarga, teman, dan lingkungan. Penelitian membuktikan bahwa gabungan faktor individu, sosial, resiko lingkungan, dan perlindungan, berinteraksi dalam menentukan etiologi perilaku bully (Verlinden, Herson & Thomas, 2000).  
Masih ada waktu untuk mengubah keadaan. Kita mulai dari diri sendiri. Hentikan perbuatan merisak dan merundung mulai sekarang.
Salam Sulam Emas Indonesia!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.