Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Puisi - Puisi dalam Musik Tanah Air




Oleh Refdinal Muzan 
(Penyair dan Penikmat lagu)



Ilustrasi dari artmusictoday.org


MUSIK adalah bahasa universal yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Dari seorang pemangku jabatan hingga seorang pengangguran, dari kaum berpunya hingga rakyat jelata, dari yang tua-tua hingga yang masih balita. Musik sepertinya menjadi sebuah kebutuhan untuk selingan di ruang nalar otak kita yang biasanya terisi dengan berjubel persoalan tentang hati, angka, dan realita kehidupan yang harus bergulir. Semacam refreshing sebelum melanjutkan semua rutinitas itu.

Dari masa ke masa selalu saja ada kenangan yang bisa menjadi penanda dalam satu peristiwa. Masa muda, masa ketika ingatan dan memori kita masih segar dan kuat untuk merekam sesuatu yang didengar dan tertangkap panca indera. Wajar bila kita sebut lagu favorit seseorang tergambarlah di era mana ia pernah muda.

 
Bicara soal lagu, ternyata ia juga bagian dari sastra. Karena lagu juga merupakan kumpulan kata-kata yang dirangkai secara indah yang dinyanyikan dengan iringan musik. Lagu dibuat berdasarkan komposisi musik dan memiliki irama serta tempo agar para pendengar ikut terhanyut perasaannya kedalam makna lagu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh JeanMarie Bretagne (via Smith dan Fauchon, 2001:287 dan 289)“La chanson est une littérature très particulière, car son tempo interdit toute profondeur. Les paroles des chansons sont douces parce qu’elles s’envolent, parce qu’elles glissent, légères et naïves”. Lagu adalah sastra yang sangat istimewa, karena tempo lagu  menunjukkan setiap kedalaman  makna.  Lirik-  lirik pada lagu bersifat manis, sehingga dapat membuat orang-orang merasa terbang, tergelincir, ringan dan naif.

Puisi dan lagu merupakan dua bentuk karya sastra. Secara etimologis, kata puisi berasal dari bahasa Yunani yaitu poeima atau poesis yang berarti pembuatan atau poetes  yang berarti pembuat, pembangun, pembentuk. Puisi sebagai nilai karya sastra mutlak mengikuti kaidah estetika dan unsur-unsur yang mewajibkan keindahan pada bentuk karya sastra. Puisi adalah karya sastra yang dibangun dengan titik tekan nilai estetika dan pesan yang hendak disampaikan oleh si penyair (http://www.anneahira.com/puisi).

Menyimak perkembangan dunia hiburan khususnya lagu yang berkembang pesat saat ini adakah juga kita sempat menyimak nilai estetika dan keindahannya selayaknya sebuah karya sastra? Begitu banyak lagu-lagu yang booming dengan sangat cepatnya, hingga sang penyanyi yang dianggap pendatang baru di blantika musik dengan cepat ia akan menuai popularitas disebabkan lirik-lirik lagu yang fenomenal tersebut yang notabene disesuaikan dengan selera pasar di masyarakat kita. Secara jujur tidak juga lagu-lagu itu bisa bertahan lama atau dengan kata lain mudah terlupakan atau hanya sesaat saja. Apakah ini berarti genre sastra tidak lagi berfungsi dalam bait dan lirik-lirik lagu? atau lagu telah meninggalkan unsur susastra selayaknya sebuah karya ?

Kita tentu masih ingat beberapa puisi yang telah dijadikan nyanyian. Sebut saja seperti lagu-lagunya Ebiet G. Ade dengan album Camelia nya, Bimbo yang banyak menyanyikan puisi Taufiq Ismail seperti Panggung Sandiwara, dengan puisi  Aku, Sajadah panjang, God Bless dengan vokalisnya Ahmad Albar yang telah mengeluarkan hits Huma di Atas Bukit, Kla Project dengan  Yogyakarta,  Letto dengan Ruang Rindu dan Sandaran hati dan Padi dengan Mahadewi. Jelas lagu seperti tersebut di atas memberi kesan yang dalam bagi pendengarnya, memberi refleksi seni yang cukup mengesankan bila kita simak dan ikuti makna diksi dan alunan nadanya.

Letto merupakan sebuah grup band yang tergolong baru di dunia permusikan Indonesia. Pentolan band ini adalah Noe, anak dari Emha Ainun Najib (Cak Nun). Beberapa postingan di beberapa blog memberi makna atas lagu-lagu Letto. Spiritualitas dan beberapa kata yang menjadi khas dan selalu ada dari lagu-lagu Letto. Cinta, kesunyain dan kerinduan. Seringkali Letto mengidentikkan hidupnya dengan kesunyian. Terkadang dia merasa ragu dalam perjalanan itu. Kadang dia meraba, mencari arah tujuan. Lihat saja lirik, Yakinkah ku berdiri/di hampa tanpa sepi/Bolehkah aku mendengarmu/Terkubur dalam emosi, tanpa bisa sembunyi/Aku dan nafasku merindukanmu. Terpurukku di sini/teraniaya sepi/Dan kutahu pasti kau menemani… yeah/Dalam hidupku, kesendirianku (Sandaran Hati).

Menurut saya, Padi mempunyai kualitas lirik yang sangat puitis namun lugas. Lagu-lagu Padi  memiliki lirik yang bermakna dan sulit untuk dipahami. Namun karena itulah banyak yang menyukai lagu-lagunya apalagi gaya puitismenya.  Dan lagu inilah salah satu contohnya: Bukankah hidup ada perhentian/Tak harus kencang terus berlari/Kuhelakan nafas panjang/Tuk siap berlari kembali (Sang Penghibur).

Musisi yang sudah menelurkan 42 album dan 14 single-nya baik solo maupun berkolaborasi dengan beberapa band dan penyanyi terkenal di indonesia dari tahun 1975 sampai saat ini itu disebut sebagai legenda hidup musik Indonesia. Masyarakat Indonesia sangat mengagumi kualitas lirik-lirik lagu beliau lihat saja lagu berikut; kuatnya belenggu besi/ mengikat kedua kaki/tajamnya ujung belati/menujam di ulu hati/sanggupkah tak akan lari walau akhirnya pasti mati (Sumbang).

Pada awal baitnya lagu ini tidak bernada, bahkan seperti pembacaan puisi. Dari awal lirik berikut, kita mungkin sangat sulit mencerna maksud lagu tersebut yang sangat kontras dengan penggalan refrain-nya berikut, setan-setan politik kan datang mencekik/walau dimasa paceklik tetap mencekik/apakah slamanya politik itu kejam?/apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam?/ataukah memang itu yang sudah digariskan?/menjilat, menghasut, menindas/memperkosa hak-hak sewajarnya.

Masih banyak lagi lirik-lirik lagu yang puitis yang telah pernah ditulis oleh musisi kita di beberapa tahun silam dan begitu membekas untuk dinikmati sebagi karya seni. Sebut saja lagu Huma di Atas Bukit (God Bless) yang ditafsirkan oleh sebagian orang penuh dengan perlambangan seksualitas. Lagu-lagu nyastra itu tentu hadir sebab pencipta lagunya berbakat sebagai penyair atau mungkin saja arranger musiknya pun juga memang memiliki jiwa kepenyairan sehingga membuat lagu-lagu itu kemudian mendapat tempat di hati penikmat musik.

Jelas, Puisi dan lagu sebenarnya bernapas dalam jantung yang sama sejauh keduanya tergali dari inspirasi yang dalam akan cerminan hakiki kehidupan yang bermuara pada rasa ‘ketuhanan’. Telah sangat amat banyak puisi-puisi yang diciptakan penyair tetapi sangat sedikit sekali yang digubah menjadi sebuah nyanyian. Kalaupun di beberapa sanggar seni telah mencoba ‘menadakan’ puisi dengan musikalisasinya, tapi masih sebatas penikmat puisi atau sastra saja yang bisa menikmatinya. Apalagi alat musik yang mengiringi sangat terbatas dengan akustik saja misalnya, sehingga musikalisasi puisi ya kita anggap puisi yang dimusik-musikan saja belum menjadi sebuah nyanyian yang bisa didendangkan disembarang tempat.

Ada beberapa usaha yang telah dirintis oleh para penulis dan penyair di Sumatra Barat ini agar puisi dapat mudah diterima dengan melapisinya menjadi sebuah nyanyian.
Mereka telah mencoba merekam puisi yang dinyanyikan dan mempostingnya di youtube.
Sebuah bentuk kerinduan pada warna musik yang bernuansa sastra. Tinggal lagi mengemasinya dengan unsur musikalitas yang kuat agar mudah diterima oleh khalayak ramai. Misalnya, Pinto Janir dengan konsep Puisi Musik yang menurutnya beda dengan Musik Puisi itu.***








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.