Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Lelaki Sunyi, Kemeriahan Cinta dan Pembentukan Teks Puisi



(Membaca puisi-puisi Julham Effendi dalam buku puisi Filosofi Secangkir Kopi)

Oleh: Denni Meilizon*

I

MENURUT Aristoteles (384 SM – 322 SM) penciptaan puisi (diambil dari judul karyanya “Poetica” yang kemudian menjadi cabang ilmu pengetahuan) umumnya didasari oleh dua hal, yaitu pertama, adanya insting untuk merepresentasikan sesuatu yang sudah melekat pada diri manusia sejak kecil dan kedua kesenangan manusia terhadap karya-karya representasi itu. Dibanding makhluk lain, manusia justru cenderung memandang sesuatu itu dengan detil dan tidak menyukai bentuk asli dari suatu gambaran tertentu. Kecenderungan demikian ini, termasuk kemudian upaya peniruan bentuk-bentuk, warna-warna, bunyi dan tingkah polah melalui media tertentu menghasilkan apa yang kini kita ketahui disebut dengan seni.
Sastra bukanlah hal yang remeh – temeh belaka, bukanlah pula sesuatu kemewahan duniawi. Sastrawan mendapatkan tempat di dalam sejarah peradaban dunia. Raja-raja, panglima perang, para jenderal, dan menteri-menteri semua hilang dan lenyap digilas waktu tetapi lihatlah dalam sejarah manusia, Homeros, Plato, Aristoteles, Kalidasa, Dante, Al Farabi, Prapanca, Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, Chairil Anwar dan lainnya hidup terus lewat karya-karyanya. Menjadi pokok kebahagiaan dan perselisihan puluhan, ratusan hingga ribuan tahun lamanya (A.Teeuw, 1984:10).
Pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan. Kata meniru benda, bunyi meniru keselasaran ilahiah, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal dan manusia yang saleh meniru Utusan Pembawa Ajaran. Sejatinya yang kita lakukan adalah mendekati ide di antara tarik menarik kutub idealisme dan realisme. Ada yang kemudian tegak sendirian dalam hirarki bayang-bayang atau awang-awang dan ada pula yang memilih untuk berbaur dengan kenyataan dan perwujudan yang tampak mata. Kedua kutub ini menggali lahan yang sama, sesuatu makna hakiki bayang-bayang atau kenyataan.
Menulis merupakan upaya alih media dari perkataan yang penting, sebagian sederhana dan sebagian penggabungan ke dalam teks. Penggabungan ini sendiri bisa berupa pernyataan dan bisa pula berupa bukan pernyataan. Ada kesempurnaan dan ada ketidak sempurnaan sedangkan penyataan puitik menyelidiki sepenuhnya sifat dasar keduanya. Teks diciptakan dengan tujuan untuk dibaca. Salah satu bahan baku pembentukan teks adalah Puisi. Puisi merupakan sebuah wadah pergumulan malih rupa dari sunyi kepada bunyi dan bunyi kepada bahasa. Bahasa, sebab itu lalu dibagi ke dalam dua jenis pengucapan, bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dalam perjalanannya Puisi sendiri banyak macamnya, dan beberapa orang pakar dapat mengelompokkan menurut pendapatnya masing-masing dengan argumentasi yang bisa berbeda-beda juga. Dalam salah satu eksiklopedia, Illustrated World Tncyclopedia, Vol. 16 yang diterbitkan oleh Bobley Publishing Corp. 1965 mencantumkan ada tiga macam puisi, yaitu: Lyric Poetry, Epic Poetry dan Dramatic Poetry. Ada lagi pendapat yang dikemukan oleh Roger Cherman Loomis dkk. Dalam buku Modern English Readings mencantumkan ragam puisi lebih terperinci, lepas kita setuju atau tidak atas pengelompokkan mereka, yaitu: Puisi Narasi, Ballada, Soneta, Ode, Elegi, Satire, Sajak, Puisi Dramatik, Puisi Spontan, dan Puisi Pamflet. 
Puisi dibangun di atas tiga pondasi utama, bunyi, rima dan majas. Bunyi terkait dengan daya ungkap, bagaimana sebuah kata dituliskan sebagai simbol ketika menyusun larik. Sedangkan rima menuntut adanya keindahan susunan kata itu, enak dibaca, diucapkan dan didengar. Terakhir, majas berfungsi untuk membaluri puisi dengan penggunaan bahasa yang universal, ambiguitas, hingga mencapai hati dan pikiran tiap orang (pembacanya).
Tidak ada yang mengharuskan kita menulis puisi dengan indah. Penuh bunga-bunga dan semacamnya. Menulis puisi ialah pekerjaan mengempang kata, demikian kata penyair Rusli Marzuki Saria. Kata-kata akan datang menyerbu penyair. Seni menulis puisi terletak kepada kejelian kita memilah kata dan merautnya menjadi larik dengan diksi ataupun ungkapan mengandung metafora.


II
Upaya Julham Effendi (selanjutnya dalam pengantar ini dipanggil dengan Joel) mengumpulkan puisi yang ia tulis dalam kurun waktu belakangan ini kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku sejatinya patut diapresiasi. Pendokumentasian naskah bagi seorang penulis (dan penyair) tentu sangatlah penting. Sebab itulah dikemudian hari ia tetap hidup walaupun fisik fananya sebagai manusia sudah mati.
Ada 74 puisi termaktub dalam buku ini. Semua puisi agaknya menjadikan cinta dan keindahan hidup berkasih sayang sebagai tema. Tema cinta bukan tema yang berat. Ia juga tidaklah muluk-muluk. Memang Raine Marie Rilke pernah menulis jika penyair muda jangan hanya berkutat pada persoalan cinta belaka tetapi siapa pula yang bisa melerai luapan keinginan penyair untuk menangkapi keliaran kata di sekitarnya? Penyair tentu memelihara kepekaan dalam indera. Ia mendekati objek puitik untuk merepresentasikan. Mari kita pilih beberapa puisi dalam buku ini dan kita baca sebagai pintu masuk yang memungkinkan kita memperoleh gambaran bagaimana Joel mengelola daya ungkap, imajinasi dan kepekaannya di dalam puisi.
Kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, pulang. Bacalah puisi yang berjudul “Rindu, Apa Kabar” secara utuh.
Hari kesekian di lembar kedelapan
Rindu, apa kabarmu di sana?
Semoga masih seperti semalam

Di sini, mendung masih
enggan beranjak dari tatap.
Kelabu, tiap kali kucoba tengadah
‘Tuk yakinkan rela; pasrah

Lukaku masih basah
seperti Agustus
Seperti puisi yang lahir
di antara rinai
Ini hari kedua puluh tujuh,
ingatkah?
Rasa itu tetap mencoba tegap
Menyambangimu kala lelap

Lalu dalam rasian
ia mengajakmu pulang

Bait pertama puisi harus terbangun dengan baik. Pada bait pertamalah pertaruhan sebuah puisi melewati pencapaian estetikanya. Ibarat pintu, berikan pembaca jalan masuk ke dalam puisi dengan jalan yang lapang, terbuka dan mudah. Kita baca bait berikut,

Pada bentang sayap sepasang
Liuk meretas segala bimbang
Di antara deru badai,
Hujan adalah basah pelecut gersang
Kita sepasang!
                                    (Kita Sepasang, Hal. 40)

Puisi juga acapkali dimaknai sebagai perayaan sesuatu. Dan sesuatu itu bagi Joel melalui puisi Kepada Istriku (Hal. 45) adalah cinta yang berbunga-bunga. Sebab “bunga akan layu, gugur. Tapi, putik akan tumbuh sebagai ganti.” Bagi penyair, dibutuhkan upaya keras untuk membiarkan bunga layu dan gugur sebagaimana takdirnya yang memang tidak bisa melampaui batas kehidupan. Yang hidup pasti mati. Begitu hukum asalnya. Hanya bagi pecinta yang sedang kemaruk, kematian (karena itu layu dan gugur) merupakan waktu bagi putik baru untuk tumbuh. Selengkapnya kita baca bait ini,

Janji bukan selamanya
Setia hanya selagi ada
Seperti katamu,
“Bunga akan layu, gugur. Tapi,
putik akan tumbuh sebagai ganti.”

Bicara siklus bunga sebagai tumbuhan kiranya perlu dicermati bahwa kehadiran putik merupakan keniscayaan dari pengorbanan bunga untuk layu dan gugur. Bahwa ia memang harus gugur agar hakikat keberadaannya di alam bisa memberi manfaat bagi sekelilingnya. Ia telah dijanjikan atau lebih tepatnya ditakdirkan untuk demikian. Sampai tiba batas waktu  dan bunga setia memenuhi janji itu. Sebagaimana dapat kita baca dalam penggalan bait berikut,
Kita dua tetes air hujan.
Sama terlahir dari rahim awan.
Kepada hitam bentala
Terempas badan ‘tuk lalui gersangnya fana

Pada puisi Pergantian Musim (Hal. 48) kita temukan larik-larik yang bermakna sama, tentang ketabahan, setia dan motivasi diri lainnya. Puisi ini ditujukan kepada seseorang bernama Vhie, bisa jadi orang yang istimewa bagi si penyair sehingga ia jadikan sebagai inspirasi penciptaan puisi ini.
Selain soal tema dan makna, puisi tersebut cukup baik dalam mengolah rima. Penyair menjaga bunyi dengan rima berpola a-b-a-b pada setiap akhir larik. Kita bisa membaca kata rekah, langkah, parau, risau, cerita, kita, linu, dulu. Namun, agaknya si penyair gagal dalam mengekplorasi kata demi kesempurnaan puisi ini dengan kata baramu yang disanding dengan kukuh atau letih dengan janji. Jelas, apabila bicara soal irama dan rima (persajakan) hal-hal seperti ini harus diperhatikan jika dari awal dimaksudkan untuk menuliskan puisi berpola a-b-a-b. Bait pertama sudah cukup baik, tetapi sayangnya hal tersebut tidak diikuti dalam bait-bait berikutnya.
Selain hal di atas, kita menemukan juga beberapa puisi yang tersusun rancak. Bermain-main dengan kata seperti ini,
Embus mengendus
Lena kelopak terbuai sajak
Pada telaga rasa,
Mengendap belaian tanpa rupa

Kuntum harum nan ranum
Pesona netra penyejuk sukma
Mari berdansa!

                         (Mantra Angin, Hal. 51)
Bersama denyut paling nadi
Bisik menghujam bertubi
Kamulah isyarat dari Ilahi
Dalam diri; suara hati
                       
                        (Itu Kamu, Hal. 55)

Tidak semua puisi yang termaktub dalam buku ini kita bahas, bukan berarti menutup ruang pembacaan puisi lainnya. Namun satu hal dipesankan kepada penyair Joel, puisi tidak melulu soal cinta dan kasmaran. Puisi bisa menjadi pisau untuk mengingatkan penguasa agar tidak bertindak semena-mena. Puisi juga berfungsi untuk membersihkan kekotoran dunia perilaku misalnya dalam dunia politik. Dan terakhir, puisi berfungsi untuk merekam ingatan, perjalanan, kunjungan dan keindahan sebuah tempat, sama halnya dengan seni kreatif lainnya. Berlayarlah terus, menanamlah terus. Bibitkan kata, tanam dan pupuk ia dengan pupuk terbaik. Endapkan, renungkan dan empanglah derasnya. Salam puisi![]

Padang,  September 2017


Denni Meilizon lahir di Silaping Pasaman Barat 6 Mei 1983. Berkhidmat di jalan dunia kepenulisan kreatif. Ia menulis puisi, cerita, essai dan lagu. Suka menanam bunga dan memasak. Menyenangi silaturahmi dan pertemanan. Mencintai buku dan seperangkat penambah gizi lainnya. Saat ini diamanahi sebagai Redaktur Tamu pengasuh ruang Budaya SKH Haluan Padang. Blogger tingkat adiktif melalui http://dennimlz.blogspot.com. Bergiat pada Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat, FAM Indonesia dan Kelas Kreatif Indonesia. Tinggal di Kota Padang.

Komentar

  1. salam kenal, nama saya hanif, saya tertarik untuk bergabung dengan fam padang. saya mesti kontak kemana y? saya arsitek, tapi saya hobi menulis dan diskusi.. trm ksih.. :)

    BalasHapus
  2. salam kenal, nama saya hanif, saya tertarik untuk bergabung dengan fam padang. saya mesti kontak kemana y? saya arsitek, tapi saya hobi menulis dan diskusi.. trm ksih.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.