BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Oleh: Denni Meilizon
sumber ilustrasi dari dailymail.co.uk |
PADA hakekatnya puisi
bukan hanya terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk formal itu penting.
Hakekat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Puisi bebas
atau puisi modern tidak terikat pada bentuk formal.
Ada pendapat di kalangan umum bahwa
menulis puisi terkait dengan bakat namun hal tersebut tidak sepenuhnya benar
sebab sejumlah sastrawan lahir dengan pengaruh bakat yang sangat kecil. Mereka
berkarya misalnya dengan menulis puisi yang diperoleh melalui proses belajar
dan berlatih.
Remaja merupakan wilayah pembelajaran.
Sebuah ruang yang seharusnya kaya dengan proses melahirkan kreatifitas. Remaja
bukanlah generasi yang berdiam diri melihat perubahan sosial. Remaja juga mampu
menyuarakan ketimpangan – ketimpangan sosial. Di samping mengungkapkan dunia
remajanya yang ditandai dengan permasalahan cinta, kasih sayang terhadap lawan
jenis, putus cinta, misalnya. Namun, puisi remaja bukanlah puisi yang an sich ditulis kalangan remaja tetapi
puisi remaja merupakan puisi yang ditulis terkait dengan tema – tema dan ide –
ide yang ditampilkan selaras dengan pikiran, emosi, cita –cita, hasrat, dan
sikap kalangan remaja. Puisi remaja tidak berarti memiliki nilai rendah dari
puisi para penyair yang sudah terkenal/mapan. Dengan demikian, puisi remaja
tetap memiliki nilai sastra.
Dalam edisi kali ini (Minggu 19 Juli
2017), redaksi Budaya Haluan menurunkan 4 (empat) puisi pendek yang ditulis
bertema remaja. Mia Karneza dengan puisi berjudul Defenisi Menunggu tampil
dengan puisi pendek (hanya satu bait) dengan frasa pembuka bergaya menjelaskan
sesuatu. Puisi ini mungkin saja bukan
puisi yang seutuhnya bila dikaji menurut fungsi estetika. Puisi ini (apabila
disebut puisi) ditulis dengan lugas, dengan mengabaikan hakekat puisi lainnya
yakni, kepadatan. Namun demikian ia tetap mengandung hakekat sebagai puisi
terkait dengan fungsinya yang mengekspresikan gagasan penyairnya secara tidak
langsung. Menunggu memang terasa membosankan apalagi bagi manusia yang memang
disifati akan ketergesa-gesaan. Akan tetapi, Mia Karneza menyatakan bahwa
proses panjang harus tetap dijalani. Hal-hal yang rumit, batasan-batasan dan
ketidakberdayaan harus dihadapi. Agar kemudian berbuah menjadi kelezatan
kemenangan. Proses demikian mari kita sebut saja dengan kesabaran.
Dalam puisi “Sekeping Biskuit” karya
Rokhmansyah Dika yang ditujukan kepada seseorang bernama Ihdina Sabili kita
diberikan sebuah imajinasi tentang persahabatan. Sebuah perjalanan barangkali.
Di sebuah tempat di mana malam begitu panjang dan penuh kebosanan, beban berat
yang bisa kita korelasikan pada larik terakhir (salah satunya) di sini sendiri tanpa keluarga. Rokhmansyah
berusaha mengungkapkan bahwa segigit biskuit yang dimakan bersama dalam ruang
persahabatan akan membuat rasa bahagia dan (barangkali) hadir pula keajaiban.
Begitulah terkadang hidup harus bisa kita tertawakan. Bahkan dalam tidurpun
sedapatnya bisa bermimpi sedang bernyanyi gembira.
Mari sedikit kita bicarakan mimpi. Mungkin “Jembatan Mimpi” karya M. Ardi Jesra yang juga siswa SMK Penerbangan ini bisa menjelaskan kepada kita bahwa mimpi merupakan penghubung antara dua dimensi. Di dalamnya boleh kita bangun dunia, dunia mimpi tentu saja. Padanya tersembunyi dengan dalam buhul harapan juga ingatan. Di alam bawah sadar kita diajari untuk menikmati mimpi hingga ketika terbangun kita lebih siap menyongsong hidup di dunia nyata.
Bermimpi
adalah baik. Ibarat telepon selular, tidur dan mimpi sama halnya dengan proses
merecharge. Mengisi daya dan energi
untuk melanjutkan hidup. Dari mimpilah peradaban di dunia ini dibangun.
Ketidakmungkinan menjadi kemungkinan.
Dan puisi berjudul “Surat untuk Ibu”
buah pena Antoni Putra dapat kita baca sebagai kelabilan dunia remaja belaka.
Ia mungkin pernah memberontak, mencoba lari dari campur tangan Ibu dalam
kehidupannya (sebagai remajakah?). Ia malu atau mungkin ungkapan emosi yang
lain. Namun, tidak ada tempat yang lebih baik dan layak untuk mengembalikan
kehilangan akan kasih sayang, rasa sakit yang butuh rawatan tangan yang
terampil kecuali ke haribaan Ibu. Dalam marahnya pun termaknai sebagai cinta.
Maka, Ibu/Bila sempat dan bila mau/Marahilah aku!
Sebagai penutup, bagi para remaja yang
sedang menekuni penulisan puisi disarankan untuk memperkaya metafora dan majas
agar puisi yang ditulis lebih indah dan menarik pembaca. Biasakan saling
mengapresiasi sesama teman, sahabat dan komunitas. Saling mengkritik dan
memperbaiki. Kita hidupkan puisi di tiap tempat dalam suasana apapun. Dengan puisi
hidup akan lebih bisa dimaknai dengan lapang dan bahagia.
Salam bahagia, salam SULAM EMAS!
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.